SOLOPOS.COM - Dua batu andesit hitam berbentuk kenong dan gong ada di gapura di bekas kediaman Mbah Balak di Kampung Karang RT 017/RW 005, Plumbungan, Karangmalang, Sragen, Sabtu (10/4/2021). (Solopos-Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Pohon beringin berumur ratusan tahun berdiri di pinggir Sungai Garuda, tepatnya di Kampung Karang RT 017/RW 005, Kelurahan Plumbungan, Karangmalang, Sragen. Pohon berukuran diameter 1,5 meter itu akarnya menjulur kemana-mana.

Dari tebing sungai terlihat jelas juluran akar pohon beringin berukuran sebesar betis orang dewasa yang seolah menahan tanah supaya tidak longsor ke sungai. Di sebelah pohon besar itu juga ada pohon asem Jawa yang umurnya juga ratusan tahun.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di bawah pohon asem itu terdapat struktur terbuat dari batu bata yang membentuk lubang tak beraturan. Struktur batu bata itu dikenal warga Karang sebagai sebuah sendang tetapi kini sudah rata dengan tanah. Sendang itu merupakan sendang Mbah Balak yang menjadi cikal bakal Kampung Karang.

Baca juga: 33 Desa di Sragen Minta Izin Isi Kekosongan 67 Perdes

Kemungkinan, nama Kampung Karang itu yang menamai Mbah Balak yang makamnya terletak di sebelah timur kampung itu dan menjadi satu kompleks dengan Hutan Kota Plumbungan. Tak jauh dari sendang yang mati itu terdapat kebun kosong, tepatnya di pinggir Jalan Dewi Sartika Karangmalang.

Tempat Tinggal Mbah Balak

Kebun itu dipercaya warga setempat sebagai tempat tinggal Mbah Balak. Namun, rumah itu hanya tersisa gapuranya yang masih berdiri. Gapura dari tembok itu unik karena di setiap gapura ada batu yang berbentuk menyerupai gamelan.

Tugu sisi barat terdapat batu berbentuk kendang dan gong. Gapura sisi timur juga ada batu berbentuk kenong dan gong. Dulu batu-batu itu kalau ditabuh Mbah Balak berbunyi seperti suara gamelan.

Baca juga: Walah! Cincin Kawin Tak Bisa Dilepas, Ibu Muda Sragen Dilarikan ke Satpol PP

Seorang warga Karang, Suwarno, 55, yang tinggal hanya beberapa langkah dari Sendang Mbah Balak tak mengetahui cerita tentang Mbah Balak. Dia meyakini sendang itu merupakan cikal bakal Kampung Karang.

“Kalau rumahnya itu dulu kali terakhir dihuni anaknya yang sekarang sudah meninggal. Tugu itu sempat tertabrak mobil kemudian jatuh. Anehnya, bangunan dulu yang tidak pakai semen itu hanya patah saja. Kemudian dikembalikan oleh warga yang menabrak. Selama belum diperbaiki, orang yang menabrak itu sakit-sakitan setelah dikembalikan orang itu menjadi sembuh,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (10/4/2021).

Kampung Karang merupakan kampung yang dihuni 200 kepala keluarga tetapi masih dalam lingkup satu RT. Kampung itu merupakan kampung paling ujung barat daya wilayah Kelurahan Plumbungan yang terpisah oleh Hutan Kota Plumbungan.

Baca juga: Perempuan yang Mengapung di Waduk Kembangan Sragen Ternyata Warga Mojorejo

Mbah Santo, 78, warga Ngablak, Kroyo, Karangmalang, Sragen, mengaku simbahnya, Mbah Kromo, yang juga teman baik Mbah Balak, pernah mengajaknya melihat batu berbentuk kendang, kenong, dan gong itu.

Teko dan Cangkir Tanah Liat

Mbah Santo menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat batu gelamen itu ditabuh Mbah Balak dan memang benar-benar berbunyi seperti suara gamelan.

“Mbah Balak itu kalau kemana-mana pun sering mampir ke rumah saya untuk bertemu simbah [Mbah Kromo]. Simbah khusus membuatkan teko dan cangkir dari tanah liat sebagai tempat minum Mbah Balak. Kalau dahar [makan], Mbah Balak itu menggunakan piring yang terbuat dari glugu atau kayu pohon kelapa yang khusus dibuatkan simbah. Mbah Balak itu meninggal saat saya belum sekolah sekitar berumur 6 tahun. Kalau Saya lahir tahun 1943 mungkin meninggalnya Mbah Balak itu pada tahun 1949-1950. Meninggalnya pada usia berapa tidak tahu,” ujarnya.

Mbah Santo menilai Mbah Balak itu sakti. Dia mengatakan Mbah Balak pernah menunjukkan kesaktiannya saat duduk bersila tahu-tahu duduknya menjadi melayang-layang. Mbah Balak itu juga kenal baik dengan bapaknya Mbah Santo yang bernama Mbah Pawira.

Baca juga: Kinyis-Kinyis… ODGJ Rambut Gimbal di Ngrampal Sragen Kini Tampil Klimis

“Mbah Balak pernah meminta bapak saya untuk membuat kendang tetapi hanya ditutup sebelah. Menjelang meninggal dunia, sebelah kendang yang belum ditutup itu supaya ditutup. Setelah kendang tertutup semua, selang 1-2 hari Mbah Balak meninggal. Artinya, sudah tutup kendang, sudah meninggal,” katanya.

Santo menerangkan pertemanan Mbah Balak dengan Mbah Kromo itu berawal saat Mbah Balak ingin membuat bangunan tingkat sembilan. Mbah Balak mengumpulkan semua tukang se-Sragen tetapi tidak ada yang bisa menerjemahkan. Hanya Mbah Kromo yang bisa membangunkan bangunan tingkat sembilan itu sesuai dengan keinginan Mbah Balak.

“Mbah Balak itu memiliki jenggot panjangnya sedada. Rambutnya terurai panjang dan putih semua. Kemana-mana membawa tongkat tetapi di bagian atas tongkat itu banyak barang-barang yang digantungkan. Barang-barang itu menjadi semacam pertanda alam. Bagi orang yang tidak kenal menilai Mbah Balak itu kurang waras,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya