SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, MADIUN — Anak terpidana mati kasus narkoba Merry Utami, Devy Christa, hidup bersama ayah serta kakaknya di salah satu desa di Kecamatan Barat, Magetan, Jawa Timur. Devy kecil mendapatkan perlakuan diskriminatif di lingkungannya.

Kabar mengenai ibunya yang menjadi narapidana kasus narkoba tersebar luas melalui berbagai media pemberitaan. Tetangga Devy Christa di Magetan pun mendengar kabar tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan secara langsung berdampak pada kehidupan sosial Devy. Ia kerap menerima perlakuan tak mengenakkan. Perundungan demi perundungan terus dilakukan orang dewasa terhadapnya padahal  kala itu Devy masih belum tahu permasalahan yang dihadapi ibunya.

Beranjak remaja, Devy juga masih mendapatkan tindakan diskriminatif karena persoalan latar belakang ibunya. Perempuan yang kini telah memiliki dua anak itu mengaku sudah lupa berapa banyak temannya yang meninggalkannya karena latar belakang keluarganya.

Ekspedisi Mudik 2024

Devy mencoba untuk tetap tegar dalam menghadapi perlakuan diskriminatif dan perundungan terhadap dirinya itu. Ayahnya yang selalu menguatkan dirinya untuk tetap tegar dalam menghadapi perlakuan tetangga dan teman.

Ayahnya menjadi satu-satunya tumpuan dari berbagai persoalan yang dihadapinya. Sejak kecil, Devy tinggal bersama ayahnya bersama kakaknya di Magetan. Tetapi sejak kakaknya meninggal dunia, ia hanya tinggal bersama ayahnya seorang.

Sejak saat itu, Devy lebih selektif untuk memilih teman. Ada kalanya ia menerangkan latar belakang keluarganya sebelum seseorang akan menjalin pertemanan dengannya. Hal ini supaya tidak ada omongan yang mendiskreditkan dirinya saat menjalin hubungan pertemanan.

“Saya masih ingat ada teman dekat saat masih SMP. Itu ibunya sampai melarang anaknya berteman dengan saya. Ya bilangnya kalau ibu saya dipenjara karena narkoba atau apalah. Dengan bicara jujur tentang latar belakang keluarga saya, banyak teman yang mau menerima apa adanya, tetapi ada juga yang menjauh. Tapi itu lebih baik dari pada ngomongin saya di belakang,” terangnya.

Ayahnya memiliki peran besar dalam kehidupannya. Saat diterpa tindakan diskriminatif dari para tetangganya, ayahnya selalu ada di samping Devy. Ayahnya kerap memintanya untuk tidak meladeni perundungan yang dilakukan orang-orang. Tak jarang Devy dibawa ayahnya ke tempat rekreasi untuk melupakan tindakan diskriminatif yang diberikan para tetangga.

Seiring berjalanannya waktu, perundungan dan label negatif terhadap dirinya sebagai anak terpidana hukuman mati kasus narkoba semakin surut. Kehidupan sosialnya mulai normal, setamat menempuh pendidikan, Devy kemudian bekerja dan menikah. Dari pernikahannya dengan seorang pria yang mau menerima apa adanya tentang dirinya itu, kini Devy dikaruniai dua anak.

Untuk melindungi kehidupan privasi suaminya, Devy sengaja tidak pernah menunjukkan sosok suaminya dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan kasus ibunya. Seperti saat diwawancarai wartawan maupun kegiatan di depan publik lainnya. Dia tidak ingin suaminya terlibat jauh dalam kasus yang membelit ibunya.

Sejak ibunya dipenjara, ayahnya, Juwariyanto, menjadi single parent bagi Devy. Seluruh kebutuhan hidup dan kasih sayang sepenuhnya dicurahkan oleh sang ayah. Apalagi setelah kakaknya meninggal dunia, tanggal Devy seorang anak satu-satunya.

Ayahnya juga selalu memberikan izin kepada Devy untuk menjenguk Merry Utami di LP Wanita Tangerang. Namun, keberadaan ayahnya untuk mendampingi hidupnya terhenti pada tahun 2017. Ayahnya meninggal dunia pada 1 Agustus 2017.

“Kayak nyeterika, masak makanan, itu semua ayah yang ngurusin. Ayah saya meninggal tanggal 1 Agustus 2017. Itu satu tahun setelah mama tidak jadi dieksekusi. Itu pukulan bagi saya. Karena saat itu mama tidak jadi dieksekusi, justru malah ayah saya yang meninggal,” kenang Devy.

Keterlibatan Merry Utami dalam kasus narkotika dan vonis mati oleh pengadilan juga membuat ayah kandung Merry, Siswandi terpukul. Awal-awal penangkapan dan proses persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, Siswandi bolak-balik ke Tangerang untuk mengikuti proses persidangan. Berdoa dan berjuang untuk membebaskan putrinya.

Namun, sejak penyakitnya mulai menggerogoti tubuhnya, Siswandi hanya bisa mendengar kabar Merry dari jauh. Biasanya, ia mengetahui kabar Merry dari cucunya, Devy. Meski tidak bisa bertemu secara langsung, doa terbaik untuk anaknya terus didengungkan.

“Saya sangat kangen sekali. Sebagai seorang ayah pasti kangen karena ga pernah ketemu. Saya tidak tahun kondisi Merry sekarang seperti apa. Karena dulu biasanya yang memberikan informasi itu cucu saya, Devy,” kata Siswandi.

Siswandi saat ini masih berjuang untuk melawan penyakit stroke yang dideritanya. Kondisi psikisnya semakin terguncang saat anak perempuannya, Merry Utami, akan dieksekusi mati pada Juli 2016. Kala itu, ia tidak bisa berbuat banyak untuk anaknya, hanya doa terbaik yang dipanjatkan untuk kebaikan Merry.

Ia juga punya kenangan buruk terhadap wartawan. Saat kabar eksekusi mati Merry tersiar, banyak wartawan yang ingin menemuinya untuk mencari berita. Dalam kondisi badan yang semakin lemah ditambah kondisi psikis yang semakin tertekan, akhirnya Siswandi memutuskan untuk bersembunyi.

Makanya tak heran saat Solopos.com mendatangi rumah Siswandi di Rusunawa Semanggi, Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (11/5/2019), Siswandi terlihat kurang berkenan.

Siswandi yang berjalan dibantu dengan tongkat walker menemui Solopos.com di depan rumahnya. Ia tidak mengizinkan wartawan untuk masuk ke rumahnya dan hanya memberi waktu beberapa menit saja untuk keperluan wawancara singkat.

Sejak enam tahun lalu Siswandi hidup seorang diri di Rusunawa Semanggi. Ia menempati ruangan berukuran 36 meter persegi. Kebutuhan hidupnya selama tinggal di rusunawa dicukupi oleh anak-anaknya yang tinggal di wilayah Solo.

Tetangga Siswandi di rusunawa, Adi Wibowo, mengakui Siswandi sosok yang optimistis dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Para tetangga juga sering menyemangati pria lansia itu untuk tetap sehat dan tidak memikirkan persoalan hukum putrinya.

“Dia selama ini tinggal sendiri di rusunawa. Katanya, Siswandi tidak mau ikut anaknya yang lain karena lebih suka hidup mandiri di rumah sendiri,” terangnya.



Adi menuturkan Siswandi hampir setiap pagi berjemur di luar rumah supaya kondisi badannya semakin sehat. Selain itu, aktivitas Siswandi berada di dalam rumah. Tetangga di rusunawa sudah berkomitmen untuk ikut menjaga pria lansia itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya