SOLOPOS.COM - Mantan anak punk terlibat kegiatan produksi desain grafis dan videography di Rumah Kreatifmu Sragen, Rabu (18/12/2019). (Solopos/Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN - Selama 12 tahun menjadi anak punk, Anggar Triyono, 35, sudah kenyang mendapat pandangan atau stigma miring dari orang-orang di sekitarnya. Setelah memutuskan hijrah pada 2016, ternyata ia masih kerap mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari orang-orang di sekitarnya.

“Saat saya hendak berwudhu, saya menyingsingkan lengan baju sehingga tampaklah tato di kedua lengan saya. Saat itu saya mendengar ada orang yang berkata, bocah tatoan kok salat. Kalimat itu diucapkan dengan nada sinis," kenang Anggar saat ditemui Solopos.com di Rumah Kreatifmu di Kroyo, Karangmalang, Sragen, Rabu (18/12/2019).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Pernah suatu ketika mengikuti pengajian umum. Saat itu, ustaznya bilang bahwa orang tatoan itu salatnya tidak sah. Saat itu saya seperti dipermalukan di tempat umum hingga saya sempat menitikkan air mata,” lanjutnya.

Mendapat ceramah soal orang bertato salatnya tidak sah sudah kerap diterima Anggar. Pada awalnya, ia merasa sakit hati dengan ceramah yang demikian itu. Bukannya memberi dorongan motivasi, ceramah seperti itu justru berpotensi menjadi batu sandungan para mantan anak punk untuk bertaubat.

Lambat laun, Anggar mulai bisa menata hati dan perasaannya kala menghadapi ustaz dengan model ceramah yang menghujat pria bertato. “Saya selalu berusaha ambil sisi positif dari setiap peristiwa. Dari sana saya menyadari, berarti masih ada yang perlu diperbaiki pada diri saya,” ucap warga Gondangpanjen, Desa Jono, Tanon, Sragen itu.

Saat memutuskan berhijrah, Anggar sudah menghapus beberapa penanda identitas sebagai anak punk seperti potongan rambut mohawk, perhiasan pada hidung, lidah, pelipis mata, dan telinga yang membuat penampilannya terkesan garang.

Anggar sebetulnya sudah berniat menghapus belasan tato yang menghiasi tubuhnya. Ia bahkan sudah menghapal beberapa surat Alquran sebagai syarat mengikuti kegiatan hapus tato dengan sinar laser. Akan tetapi, niat menghapus tato itu ia urungkan karena ia punya riwayat penyakit dalam.

“Penyakit saya ini dikhawatirkan kambuh jika terkena sinar laser. Setelah berkonsultasi kesehatan, saya akhirnya tidak jadi menghapus tato itu. Biar ini menjadi pengingat akan masa lalu saya yang kelam,” ujar Anggar.

Anggar menyadari konsekuensi dari keputusan tidak menghapus tato itu. Salah satunya adalah masih adanya stigma miring yang dialamatkan kepadanya. Masalah salat bagi orang bertato, biar itu menjadi urusan antara Anggar dengan Tuhannya. Mau diterima atau tidak salat seseorang, Anggar percaya itu menjadi hak prerogatif dari Allah.

“Sisi positifnya, saya lebih mudah masuk ke komunitas atau kelompok anak punk ini untuk berdakwah. Nongkrong bersama mereka itu bagian dari silaturahmi. Mereka tidak perlu dipaksa untuk hijrah. Dengan ikut nongkrong bersama mereka, lama-lama mereka akan kepo dengan sendirinya,” papar Anggar.

Strategi Anggar itu terbukti ampuh. Dengan model dakwah yang demikian itu, Anggar bisa mendirikan Komunitas Sindrom yang beranggotakan 130-an mantan anak punk. Mereka kini sudah mengikuti kajian keislaman secara rutin di Sragen.

“Dulu saya adalah teman Mas Anggar ketika sama-sama menjadi anak punk. Saat itu, saya takjub melihat Mas Anggar yang rutin ke masjid. Akhirnya saya putuskan ikut hijrah. Setelah itu, saya lebih aktif mengikuti kajian keislaman dan mengasah kemampuan membaca Alquran,” beber Ulum M. Farhan, rekan dari Anggar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya