SOLOPOS.COM - Ketua Takmir Masjid Al Hikmah, Moh. Nasir Abubakar (kiri), Pendeta Beritha Tri Setyo Nugroho (tengah), dan Jurnalis Solopos, Ayu Prawitasari, dalam kegiatan dialog tentang toleransi beragama di GKJ Joyodingratan, Jl. Gatot Subroto, Kratonan, Serengan, Solo, Sabtu (31/8/2019). (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Siswa SMPN 1 Sragen berkunjung ke sejumlah tempat ibadah di Kota Solo, Sabtu (31/8/2019). Dalam kegiatan yang digelar pihak sekolah, Harmoni Program, dan Solopos Institute, itu para siswa diajak berdiskusi tentang toleransi.

Lakum Diinukum Wa Liyadiin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku,” suara ketua takmir Masjid Al Hikmah Moh. Nasir Abubakar menggema di ruang ibadah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodingratan di Jl Gatot Subroto, Kratonan, Serengan, Solo, Sabtu pagi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Nasir yang mengenakan pakaian koko dan kupluk duduk di bagian depan ruang peribadatan itu. Pendeta Beritha Tri Setyo Nugroho di sebelahnya.

Puluhan siswa SMPN 1 Sragen yang duduk di kursi jemaat gereja memerhatikan sang takmir dan sang pendeta yang duduk berdampingan. Tak hanya siswa yang duduk di kursi ruang ibadah gereja. Ada pula guru pendamping, pendeta Nunung Istining Hyang, imam Masjid Al Hikmah, serta pengurus RT setempat.

Dialog tentang toleransi beragama yang merupakan bagian dari workshop jurnalistik perdamaian pun mengalir. Dialog tentang toleransi beragama merupakan kegiatan pada hari ketiga. Dua hari sebelumnya, Kamis-Jumat (29-30/8/2019), kegiatan digelar di sekolah.

Para siswa kelas VII hingga IX langsung mengambil gambar momen takmir masjid yang bersedia datang ke gereja untuk acara tersebut, bahkan duduk berdampingan dengan pendeta. Bagi siswa muslim, itu adalah kali pertama mereka menginjakkan kaki di gereja. Sementara itu, siswa nonmuslim dengan senang hati menjelaskan beragam hal tentang gereja kepada teman-teman mereka.

Para siswa itu kritis. Delapan orang secara bergantian melontarkan pertanyaan yang sering kali membuat para pemuka agama terdiam sejenak. Ada yang menanyakan soal derajat agama Islam dan Kristen, soal bagaimana jika Natal dan Idulfitri datang bersamaan sementara gereja dan masjid berdiri berdampingan, bahkan satu tembok.

Siswa lain menanyakan kemungkinan konflik-konflik kecil yang dihadapi para pemuka agama, bahkan ada yang bertanya tentang masa pemilihan presiden yang sarat konflik SARA, terutama di media sosial, serta mengapa Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodingratan tak punya bedug dan lonceng.

Nasir menjawab semua orang punya keyakinan sendiri saat memeluk suatu agama. Dan keyakinan itu, ungkap dia, pastilah keyakinan yang dirasa paling benar.

“Tapi adik-adik, inti dari setiap agama adalah mengajak umatnya melakukan kebaikan. Kebaikan itu adalah kebaikan yang ditujukan kepada semua makhluk. Dan saya yakin agama lain juga mengajarkan demikian. Jadi saya bayangkan kalau semua pemeluk agama di Bumi ini melakukan kebaikan, akan banyak lahir orang-orang yang baik,” kata dia.

Soal derajat agama mana yang lebih baik, menurut Nasir, tidak ada manusia yang bisa menilai kecuali Tuhan. Tuhan lah yang menciptakan manusia berikut agama-agama di Bumi sehingga hanya Tuhan yang berhak menentukan siapa yang derajatnya lebih tinggi.

“Dengan ajaran kebaikan yang diperintahkan agama, maka seharusnya yang paling banyak melakukan kebaikan menjadi makhluk yang paling tinggi derajatnya,” ungkap Nasir.

Penjelasan Nasir disambung pendeta Nunung. Menurut dia, agama Islam dan Kristen sudah pasti berbeda dalam hal keyakinan dan peribadatan. Namun, dalam berkehidupan perbedaan itu tidak seharusnya ditonjolkan. Yang perlu ditonjolkan justru kerja sama yang bisa dilakukan antarumat beragama agar masing-masing orang bisa beribadah dengan baik.

Dalam kesempatan itu, Nasir meminta para siswa menjadi agen toleransi dengan saling menghormati dan menyayangi mereka yang beragama lain. Tidak boleh muncul rasa memusuhi, seperti keinginan merusak tempat ibadah orang lain karena sangat tak beradab. Rumah ibadah adalah rumah suci, tempat semua makluk bertemu Tuhan. Merusak tempat ibadah sama halnya dengan menyakiti Tuhan.

Sementara itu, tidak adanya lonceng di GKJ Joyodingratan dan bedug di Masjid Al Hikmah merupakan bentuk toleransi selain juga karena perkembangan teknologi. Bedug dan lonceng, menurut Nasir dan Nunung, hanyalah alat untuk memanggil orang-orang untuk beribadah, bukan merupakan simbol khusus dalam sebuah agama.

Bedug itu kini diganti penanda digital waktu azan sementara lonceng digantikan bel yang memanggil umat Kristen menuju ruang ibadah. Kegiatan kunjungan gereja yang dijadwalkan selesai pukul 10.30 WIB akhirnya mundur beberapa menit karena siswa tak henti-hentinya bertanya. Seusai dari gereja, jadwal selanjutnya kunjungan ke Kelenteng Tien Kok Sie di dekat Pasar Gede Solo.

“Apa yang ada di bayangan banyak orang ketika melihat kelenteng?” Pertanyaan dari Ketua Kelenteng Tien Kok Sie, Sumantri Dana Waluya, kepada para siswa yang duduk di lantai ruang peribadatan itu membuat mereka saling pandang. Tak ada yang menjawab sampai Sumantri menjawab sendiri.

Tanpa microphone, Sumantri, yang juga duduk di lantai bercerita banyak tentang tempat ibadahnya itu.

“Banyak orang yang takut melihat kelenteng. Sejarahnya sangat panjang, terkait konflik politik di negeri ini. Orang-orang menganggap banyak setan di kelenteng karena tempat ini memang penuh patung. Pandangan itu sungguh tidak benar!” tegas dia.

Yang disucikan. Itulah sebutan Sumantri untuk sejumlah patung yang memenuhi kelenteng. Meski raganya patung, namun patung-patung itu hanyalah simbol yang memediasi umat Budha, Khonghucu, dan Taoisme berdoa kepada Tuhan mereka masing-masing. Tiga agama dengan satu tempat ibadah. Namun, menurut Sumantri, semua menjalankan ibadah dengan rukun, tak ada perselisihan.

Dewi Kwan In adalah tuan rumah kelenteng. Seorang Dewi Welas Asih bagi umat Budha, Khonghucu, dan Taoisme. “Jadi apa mungkin Dewi Welas Asih akan menyakiti kalian?” Para murid menggeleng.

Dipandu Sumantri, tanpa alas kaki para siswa dan guru mengelilingi bagian dalam kelenteng untuk belajar tentang tempat ibadah warga tiga agama, khususnya warga etnis Tionghoa. Seperti halnya di masjid, masuk kelenteng juga tak boleh memakai alas kaki karena proses berdoa menuntut jemaatnya dalam kondisi bersih.

Kamera tak bisa beristirahat di kelenteng. Para siswa terus memfoto patung, tempat dupa, lampion, dan banyak lagi lainnya. Mereka tak hentinya bertanya. Lembaran buku cepat sekali habis karena ada banyak hal yang perlu dicatat.

Tugas para siswa pada hari itu tak hanya berkunjung ke tempat ibadah, namun juga membuat tulisan tentang perjalanan mereka serta satu produk jurnalistik lagi bermisi perdamaian. Seorang siswa mewakili teman-temannya sangat senang dengan pengalaman pada hari itu.



“Sesudah acara ini saya berjanji bersikap lebih baik kepada umat agama lain. Toleransi itu penting agar manusia bisa hidup rukun. Dan tugas saya menjelaskan kepada teman-teman yang lain, khususnya mereka yang belum toleran, tentang pentingnya menghormati orang lain yang berbeda agama,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya