SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Din… din… din…! Suara klakson sepeda motor terdengar nyaring dari gang sebelah rumah. Itu terjadi beberapa waktu lalu. Saya lupa tanggal peristiwa itu.

”Ibu-ibu.., perhatian semua, ada kabar baru nih,” ujar perempuan 40-an tahun penjual sayur, si pengendara sepeda motor itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seketika saya hampiri si mbak tukang sayur yang selama ini memang tersohor seantero kampung sebagai pembawa berita yang sebagian besar berbau gosip dengan segmen khusus ibu-ibu.

”Mbak, saya baru dapat share-share-an di WA katanya ada bantuan langsung tunai loh,” ucap dia penuh semangat.

”Mbak, itu hoaks, jangan langsung percaya,” ucap saya sembari memperlihatkan berita dari media online yang menyanggah hoaks seperti yang dikemukakan penjual sayur tersebut.

”Waduh, iya, ta?  Walah tiwas sudah aku share ke mana-mana beritanya. Malah aku share di FB juga tadi,” kata dia. Kisah mbak pedagang sayur itu adalah sekelumit gambaran kebiasaan masyarakat mengolah informasi dan memanfaatkan media sosial.

Saat ini kita seolah-olah hidup pada ”era kekuasaan” dan cengkeraman media sosial.  Semua orang seolah-olah bisa menjadi wartawan, mendadak menjadi pencari berita lantas menyebarkannya.

Dengan mudah setiap orang  menulis atau mencari informasi sesuai keinginan lantas menerbitkan di akun-akun media sosial. Mereka juga menyebarkan informasi tersebut melalui pesan berjaringan seperti Whatsapp.

Saat terjadi peristiwa atau kejadian luar biasa seperti kecelakaan, kebakaran, atau bahkan bencana alam, orang-orang serta-merta merekam kejadian itu dan melaporkan melalui tulisan, foto, atau video ke akun media sosial.

Sering pula orang atau sekelompok orang sengaja mencari-cari informasi atau kejadian terkini untuk kemudian mengunggah secara berkala hingga muncul komunitas pencari dan pengumpul kabar-kabar terkini sesuai wilayahnya.

Bagi mereka yang punya kemampuan tampil di depan kamera saat ini juga bisa dengan mudah cuap-cuap bagaikan seorang news presenter atau reporter televisi lantas menayangkan di platform berbagi video seperti Youtube, Tiktok, atau Instagram Reels.  It’s so easy and simple!

Proses-proses yang mereka lakukan juga dilakukan para wartawan, mulai dari mencari berita, menulis, memfoto, merekam dengan video, mengolah atau mengedit, lantas menyiarkan atau menyebarkan kepada masyarakat.

Kita juga terbiasa menyaksikan youtuber atau podcaster yang mempunyai acara talkshow sendiri. Mereka melakukan wawancara khusus, mengundang tokoh berpengaruh sebagai narasumber dengan membedah tema-tema tertentu, bahkan mengkritik kebijakan publik yang sebelumnya hanya menjadi ranah jurnalistik.

Wartawan seolah-olah hanya jadi penonton! Apakah mereka melakukan kerja jurnalistik? Apakah mereka layak mendapat sebutan jurnalis atau wartawan? Meski sama-sama bertujuan memberi informasi kepada masyarakat, konten yang mereka produksi belum tentu sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

Meskipun punya kemampuan teknis, apakah mereka teruji dalam sertifikasi  wartawan muda, madya, atau utama? Dalam menyusun informasi menjadi berita apakah mereka melakukan verifikasi lapangan, verikasi data, atau meminta konfirmasi dari pihak terkait?

Apakah mereka memberikan informasi secara cover both side?  Apakah mereka bekerja di perusahaan media resmi yang terdaftar di Dewan Pers? Dengan kata lain, meksipun bisa disebut wartawan karena melakukan kerja jurnalistik, mereka bukanlah wartawan sebenarnya karena tidak terikat dengan Kode Etik Jurnalistik, UU Pers, maupun UU Penyiaran.

”Kebebasan” orang-orang memproduksi informasi seperti itu seolah-olah sah-sah saja saat mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik. Ironisnya, informasi-informasi yang diproduksi tanpa mengedepankan kaidah jurnalistik tersebut hampir setiap saat berseliweran di media sosial.

Inilah yang bisa menimpulkan efek negatif bagi masyarakat, termasuk makin masifnya persebaran hoaks. Sayangnya masyarakat sering mengabaikan itu. Teknologi digital seolah-olah memberi orang-orang kekuatan menghancurkan peran media/pers memilih informasi atau berita yang layak dilaporkan.

Media sosial, Internet, dan telepon pintar memungkinkan orang memilih berita yang ingin mereka konsumsi di mana saja dan kapan saja. Alih-alih mengejar berita dengan membaca koran lokal atau nasional pada pagi hari atau menonton program berita malam di televisi, kebanyakan orang sekarang duduk atau rebahan mencari kabar terkini dan informasi terbaru sambil berselancar di media sosial.

Saat ini orang semakin mengandalkan media sosial untuk memperoleh informasi atau berita daripada media konvensional. Persebaran atau distribusi berita melalui media sosial menjadi perhatian khusus peraih Nobel Perdamaian 2021 yang juga merupakan jurnalis asal Filipina, Maria Ressa.

Algoritma yang digunakan dalam distribusi berita oleh platform-platform media sosial dan news agregator dapat menciptakan perpecahan dan bahkan bisa mengancam perdamaian.

Dalam sebuah forum belum lama ini, pemimpinan media daring Rappler itu mengatakan kebanyakan platform media sosial menggunakan algoritma friends of friends dalam mendistribusikan informasi.

Setia kepada Profesi

Dengan algoritma seperti itu, informasi yang direkomendasikan terhadap seseorang mengacu pada yang biasanya diakses. Media sosial mendistribusikan informasi dengan algoritma dan bias algoritma.

Algoritma semacam itu menempatkan seseorang dalam gelembung. Di lingkaran itu, informasi yang diterima telah melalui filter tertentu sehingga dapat menciptakan bias dan pandangan yang terdistorsi.



Algoritma semacam itu bisa menumbuhkan perpecahan karena dapat menyulut kemarahan orang-orang yang mendapatkan informasi yang bias dan hal itu dapat membuat orang menjadi tidak rasional dan tidak logis.

Algoritma semacam itu merupakan “manipulasi yang berbahaya”. Di tengah remang-remang batas antara wartawan profesional dengan mereka yang mendadak  wartawan, tugas  the real wartawan sebagai penjaga atau gate keeper penyaji informasi yang kredibel kian berat.

Dalam menjalankan tugas, wartawan harus memperhatikan elemen-elemen jurnalisme (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2003). Elemen-elemen jurnalisme tersebut adalah berprinsip pada kebenaran, menempatkan loyalitas pertama jurnalisme kepada masyarakat, disiplin dalam verifikasi, dan menjaga independensi terhadap sumber berita.

Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan, menjaga berita komprehensif dan proporsional, serta jurnalisme memberi ruang untuk mengikuti nurani.

Inilah yang seharusnya terus dipegang para wartawan dalam menjalankan tugas agar berita yang dihasilkan tetap kredibel. Menurut Mana Treelayapewat, Dekan di University of the Thai Chamber of Commerce’s School of Communication Arts, kredibilitas dan kepercayaan adalah inti jurnalisme.

Meskipun pada era media sosial kini siapa pun dapat memproduksi atau membuat konten, jurnalis memiliki peran penting memverifikasi informasi dan data, menyelidiki cerita, mengatur pemeriksaan dan keseimbangan, serta bersikap adil kepada orang-orang dalam berita.

Jika wartawan tidak melakukan hal itu, orang akan merespons melalui media mereka sendiri—media sosial—sehingga bisa mengakibatkan kredibilitas dan kepercayaan kepada jurnalis berkurang. Bukan berarti media sosial harus dihindari.

Mana menyebut ada tiga tren utama dalam jurnalisme saat ini dan masa depan, yakni keterlibatan (engagement), penceritaan (storytelling), dan jurnalisme data (data journalism). Lebih banyak keterlibatan diperlukan jika jurnalis ingin mengembangkan hubungan dengan pembaca dan pemirsa.

Keterlibatan itu harus mengubah audiens menjadi bukan hanya sumber, tetapi mitra dalam melaporkan berita.  Mana juga menyebut mahadata (big data) yang diberdayakan oleh media sosial bisa dimanfaatkan dalam jurnalisme data.

Wartawan dapat menggabungkan mahadata dengan data hasil investigasi mereka untuk mengembangkan topik berita yang bermakna dan menarik bagi pembaca atau masyarakat.

Tugas wartawan semakin berat, rumit, dan kompleks. Tak ada pilihan lain bagi wartawan selain harus tetap melakoni tugas itu agar profesi dan perusahaan yang menaunginya tetap survive.

Rosihan Anwar pernah mengatakan wartawan bisa jadi bukanlah pilihan utama seseorang dalam menentukan jalan hidup atau lantaran keterpaksaan dan kondisi situasional, namun jika sudah menjadi wartawan dia harus setia kepada profesinya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Januari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya