SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO -- Kekhawatiran tentang keberlangsungan hidup musik keroncong muncul dalam ujian terbuka promosi doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang saya jalani pada akhir September 2020 lalu.

Dalam nada yang gusar seorang penguji bertanya tentang apa yang akan saya lakukan untuk tetap mempertahankan keroncong agar tak sampai punah? Saya kemukakan langkah-langkah teknis dan taktis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada ujungnya saya katakan dalam nada berkelakar, bahwa sebagaimana sastra Jawa, musik keroncong tak akan mati sebab memang tidak punya kuburan. Sebagaimana kehidupan seni tradisional yang lain seperti wayang orang, ketoprak, ludruk, yang mulai ditinggalkan penggemarnya, rupanya keroncong turut dimasukkan ke dalam gerbong kecemasan itu.

Sebagai bukti, saat ini sudah sangat jarang terdengar ada orang yang mau nanggap grup musik keroncong asli yang menggunakan bas bethot segede kerbau itu. Yang lazim digunakan sebagai hiburan dalam acara-acara di kota atau di desa saat ini adalah keyboard, yang berpostur ringkas, praktis, dan hangabehi.

Artinya, alat itu bisa mengantarkan berbagai genre musik mulai langgam Jawa, keroncong, stambul, campursari, pop, rock, dangdut, country, piano, jazz, bahkan gending karawitan Jawa, karena kandungan programnya yang lengkap dan makin canggih: diatonik dan pentatonik.

Keroncong dalam wujud grup musik bisa saja mati atau setengah mati, tetapi musik keroncong akan tetap abadi, mengalir sampai jauh, seperti bunyi lirik langgam Bengawan Solo karya Gesang. Apa alasannya? Karena musik memiliki estetika bunyi (lihat: Machlis, 1977:4). Bukan hanya narasi lirik.

Orang Jawa bisa saja tak paham lirik lagu Es Lilin yang berbahasa Sunda dan Butet yang berbahasa Batak, tetapi sentuhan melodi kedua lagu itu sanggup membangkitkan rasa indah di telinga orang Jawa. Didi Kempot dengan lagu Suket Teki atau Tatu sanggup menghipnotis ribuan penonton walaupun mereka dari berbagai suku bangsa yang tak semuanya mengerti bahasa Jawa.

Bengawan Solo telah menjadi everlasting song, lagu yang sanggup melintasi segala zaman. Lagu yang diciptakan pada tahun 1940 itu telah menjadi ikon musik keroncong bersama penciptanya, Gesang. Itu pula yang diajarkan sebagai lagu daerah kepada anak-anak sekolah di seluruh penjuruu Nusantara.

Lagu ini dihafal dan dinyanyikan oleh orang yang tak mengerti seluk-eluk keroncong sekalipun. Lagu Pamitan yang diciptakan Gesang pada tahun 1970 dan Caping Gunung yang diciptakan pada tahun 1973 kenyataannya masih juga diperdengarkan setengah abad kemudian.

Salah satu kunci keabadian keroncong adalah gaya musikal. Penyanyi Sruti Maruti pernah menyanyikan Caping Gunung dengan gaya musikal yang berbeda dari yang lazim dilakukan oleh seorang penyanyi keroncong asli, penyanyi campursari, atau pesinden karawitan.

Hasilnya adalah estetika musik keroncong dengan sentuhan berbeda dan cita rasa baru. Itu pula yang dilakukan oleh Koko Thole dengan garapan arasemen-aransemen anyar yang mencoba menggarap lagu dari genre musik lain.

Benteng Terakhir

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah esai, saya pernah mengusulkan agar Kota Solo dinobatkan sebagai kota keroncong. Menurut pandangan saya, Kota Solo adalah benteng terakhir untuk pelestarian musik keroncong. Jika di Kota Solo sudah tak ada satu pun grup musik keroncong, bolehlah keroncong dianggap punah.

Kenyataannya, hingga kini pentas musik keroncong di Kota Solo masih ada di berbagai tempat dengan jadwal pentas yang rutin. Penggemar musik keroncong dari kota-kota lain yang kangen melihat pentas keroncong secara live bisa datang ke Kota Solo.

Sebuah pengalaman pantas dicatat. Seorang penggemar keroncong yang datang jauh-jauh dari Kabupaten Madiun merasa kagum bukan kepalang tatkala melihat peristiwa unik pada pentas musik keroncong di Joglo Sriwedari (dulu sebelum joglo ini dibongkar untuk membangun masjid).

Sewaktu sebuah grup musik utama yang pentas itu istirahat, ada jeda beberapa menit, seorang penonton bergegas naik ke panggung, mengajak penonton lain untuk memegang alat-alat musik  (gitar, bas, celo, cak-cuk, biola, suling) yang tengah menganggur itu.

Penunjukan personel yang terkesan sembarangan, juga penyanyinya, ternyata bisa menampilkan suguhan musik keroncong yang bagus, kompak, dan enak didengar. Tak kalah dengan pementas utama itu. Ini menandakan betapa warga Kota Solo banyak yang urat nadinya masih dialiri dengan darah keroncong yang segar.

Secara akademis, dalam disertasi saya yang bertajuk Estetika Lirik Lagu Keroncong Karya Gesang Martohartono memang dituntut untuk mengemukakan rekomendasi keilmuan tentang strategi pengembangan atau pelestarian musik keroncong setelah kepeloporan Sang Maestro, Gesang.

Saya melihat betapa masih terbuka lebar medan penelitian musik keroncong. Saat ini di Indonesia hanya ada satu disertasi keroncong, yaitu milik Victor Ganap berjudul Krontjong Toegoe (terbitan Badan Penerbit Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2011). Jika disertasi saya jadi diterbitkan sebagai buku akan menjadi buku kedua tentang keroncong yang berbasis disertasi.

Dalam penelitian saya secara formal maupun informal yang memakan waktu hingga 12 tahun, saya mendapati hampir 10.000 lagu keroncong yang terdiri atas keroncong asli, stambul, langgam keroncong, langgam Jawa.

Ambil contoh satu saja, Andjar Any. Pencipta lagu Yen ing Tawang Ana Lintang dan Nyidhamsari yang begitu populer ini telah menghasilkan 2.450 lagu (lihat: Any, 2001:68), padahal ada sederet nama lain pencipta lagu seperti Budiman B.J., Kelly Puspito, Mardjo Kahar, Abdulgani, Ismanto, Oetjin, S. Darmodjo, S. Dharmanto, dan seterusnya.

Mereka adalah pencipta lagu keroncong yang produktif pada zamannya. Di manakah karya-karya mereka tersimpan? Adakah ahli waris yang mendokukentasikan setidaknya dalam bentuk manuskrip partitur? Ini jelas menjadi kegelisahan di sejarah perkeroncongan di Indonesia.

Dari jumlah lagu keroncong yang begitu banyak belum ada 10% yang terdokumentasikan. Buku kumpulan lagu keroncong yang pernah laris semacam Irama Pusparagam dan Madah Pudjangga terbitan Liem Tiat Sien tahun 1950-an adalah buku-buku yang sangat langka dan tidak dilanjutkan oleh penerbit lain hingga sekarang.

Hal itu sangat bisa dimaklumi sebab penerbitan buku-buku semacam itu jelas tak menjanjikan keuntungan secara bisnis. Adalah tugas pemerintah mengambil beban pendokumentasian lagu-lagu keroncong yang telah dihasilkan oleh para pekerja musik keroncong itu sebagai warisan sejarah seni musik di Indonesia.



Literatur tentang dunia musik gampang didapat dari bangsa Barat karena mereka rajin mendokumentasikan semua musik. Sementara kita adalah bangsa yang abai alias cuek terhadap artefak warisan leluhur. Kiranya kita membutuhkan lebih banyak peneliti seni musik keroncong yang penuh kegairahan seperti Judith Bacher, Philip Yampolsky, Victor Ganap, Budiman B.J., dan Harmunah.

Kita membutuhkan lebih banyak lagi pemikir musik cerdas seperti Aaron Coplan yang bisa melahirkan buku Music and Imagination (1952). Seperti Carl Dalhaus yang buku karya dia, Aestethics of Music (1982), laris menjadi rujukan para peneliti musik sedunia.

Kita membutuhkan para pejuang dan pemikir musik keroncong yang penuh dedikasi tanpa henti. Itu jika tidak ingin bangsa ini kehilangan jati diri untuk kali kesekian. Semoga!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya