SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Ada guyonan tentang orang yang keras kepala. Tiga orang yang paling susah dinasihati karena keras kepala adalah orang yang sedang jatuh cinta, suporter klub sepakbola, dan pendukung calon presiden (capres). Pendapat mereka susah diubah. Saat keliru, lalu dikasih tahu yang benar, mereka kukuh, pendiriannya sulit dibengkokkan.

Saya punya pengalaman menghadapi orang-orang seperti ini. Lebih khusus lagi pendukung capres. Kan 2023 tergolong tahun politik. Tahapannya sudah dimulai. Tahun depan, pemilu akan digelar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jadi pengalaman saya berhadapan dengan orang keras kepala itu terjadi saat pemilu 2019 lalu. Kita tahu, saat itu pertarungan antara capres Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo begitu sengit. Tak hanya saling serang dan menguliti kekurangan lawan, juga menyebarkan hoaks atau misinformasi dan disinformasi. Tak hanya di media sosial (medsos), juga di dunia nyata. Teman jadi lawan, saudara jadi musuh.  Saat ini, Jokowi dan Prabowo sudah dalam satu kubu.

Hoaks yang terkait capres pada Pemilu 2024 itu riil. Tidak hanya menyasar satu capres, tetapi keduanya. Kedua kubu (maksudnya pendukung, bukan tim kampanye resmi), saling lempar hoaks tentang lawan politik. Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencapat pada Pemilu 2019, sebanyak 133 hoaks menyerang pasangan Jokowi-Ma’ruf, sedangkan yang menyerang Prabowo-Sandiaga mencapai 93 hoaks. Total hoaks yang menyerang dua kubu 226 hoaks.

Hoaks politik itu memang seksi. Banyak orang yang percaya karena berbagai alasan. Pada tahun politik seperti sekarang, hoaks diperkirakan akan merajalela. Pada 2022, dari 1.698 hoaks yang beredar  di medsos, sebanyak 549 tergolong hoaks politik. Lainnya terkait agama, bencana, kesehatan, dan sebagainya.

Para pendukung capres ini sebagian bisa disebut keras kepala. Mereka percaya hoaks. Baik hoaks yang memuji capres yang didukungnya dan hoaks negatif tentang  capres lawan. Orang jenis ini ada di dua kubu yang berkontestasi dalam Pemilu 2019. Dalam pertarungan politik yang sedemikian dahsyat ini, hoaks mudah bersemi lalu menyebar dengan cepat.

Kenapa pendukung garis keras capres maupun partai mudah percaya hoaks? Dalam psikologi ada  yang namanya motivated reasoning atau penalaran termotivasi. Orang cenderung mudah percaya hoaks jika informasi itu sesuai dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya Fulan adalah pendukung capres X. Selama ini dia menganggap capres Y (lawan capres X) itu brengsek. Begitu mendapat hoaks negatif tentang capres Y,  dia langsung percaya. Informasi itu sesuai dengan apa yang diyakini selama ini.  Sebaliknya, Fulan percaya capres X itu orang baik, bagus, dan berprestasi. Begitu mendapat fakta bahwa capres yang didukungnya memiliki cacat atau kekurangan, Fulan cenderung tidak percaya.

Dalam situasi seperti itu, orang cenderung menyakini pendapatnya paling benar, sedangkan pendapat yang berbeda itu salah. Si Fulan juga cenderung menolak atau menerima informasi sesuai dengan keyakinan sebelumnya. Jika informasi itu sesuai dengan kepercayaannya,  Fulan akan menerimanya. Jika berbeda dengan kepercayaannya, Fulan akan menolaknya. Inilah yang disebut Confirmation Bias atau Bias Konfirmasi. Orang berupaya mencari pembenaran untuk mengonfirmasi atau memperkuat keyakinan. Informasi yang sesuai dengan keyakinannya akan dia ambil walaupun itu hoaks. Informasi yang bertentangan dengan keyakinannya takkan dipercayai walaupun itu faktual.

Di sinilah orang seperti Fulan itu mudah percaya hoaks. Lalu menyebarkannya. Saya sering mendapati orang-orang jenis ini. Saya yakin Anda juga sering bertemu orang sejenis itu. Mereka ada di WhatsApp group (WAG) keluarga, alumni, komunitas, tempat kerja, dan lainnya. Mereka juga menjadi teman kita di medsos.

Hla kalau ketemu orang jenis ini, yang mudah percaya hoaks, ya harus dikasih tahu. Begitu kan konsepnya? Kalau ada yang salah ya diperbaiki. Kalau ada yang bengkok, ya diluruskan. Kalau ada yang hobi membagikan informasi hoaks,  ya jangan digajuli. Kasih tahu konten yang dia bagikan itu hoaks.

Masalahnya, sering kita mendapati orang keras kepala saat dikasih tahu yang dia bagikan atau unggah itu hoaks.  Mereka ini beragam. Ada dosen, ibu rumah tangga, hingga aktivis. Sebagian dari mereka yang keras kepala itu berpendidikan tinggi. Saya ikut banyak WAG. Ada WAG  yang diikuti oleh para aktivis. Tak perlu disebut nama WAG-nya. Anggotanya berpendidikan tinggi, wong alumni perguruan tinggi. Namun, yang dibagikan ke WAG sebagian adalah hoaks dan fitnah. Kalau dulu kubu-kubuan itu menyangkut pendukung Jokowi dan Prabowo, kini antara pendukung pemerintah (baca:  Jokowi) dan oposannya.

Betul-betul njelehi istilah Jawanya. Bikin muak. Isinya postingan hoaks, fitnah, dan serangan-serangan lainnya. Semuanya dari dua kubu, pendukung maupun oposan pemerintah. Ketika mereka  berdebat soal konten  tertentu, lalu ada bantahan, klarifikasi, dan penjelasan. Namun, bantahan maupun klarifikasi itu tidak mengubah apa-apa.  Mereka kukuh memegang pendapat. Fakta dan argument yang kuat dianggap angin lalu.

Malah yang terjadi adalah resistensi atau perlawanan terhadap informasi atau argumen yang meluruskan. Ketika dikasih klarifikasi atau bantahan, mereka semakin kuat meyakini pendapatnya atau hoaks yang dipercayainya. Kok bisa? Ya bisa dong. Semakin dikasih tahu atau disanggah, semakin keras dia menolaknya. Inilah yang disebut Backfire Effect atau Efek Bumerang.

Saya pernah “ribut” dengan saudara sendiri di WAG keluarga. Saudara saya itu ibu rumah tangga. Dia pendukung  berat capres X. Perilakunya yang menyebalkan adalah membagikan hoaks yang dia dapatkan dari WAG sebelah ke WAG keluarga. Ketika saya kasih tahu faktanya atau hasil cek fakta yang menunjukkan konten itu hoaks, dia malah nyolot. Bukannya berterima kasih, kadang dia malah menentang bahkan gantian menuding hasil pengecekan fakta itu sebagai hoaks. Itulah backfire effect. Anda pernah mengalaminya hal demikian?

Kenapa orang cenderung resisten terhadap klarifikasi atau argumen yang benar? Salah satunya adalah orang memiliki lingkungan yang mendukung keyakinannya. Algoritma platform medsos mendukung situasi tersebut. Pendukung capres X di medsos akan disarankan untuk berteman dengan orang lain  yang juga pendukung capres X. Penggemar klub sepakbola A akan bertemu di medsos dengan pendukung klub sepakbola A juga. Pendukung capres X jarang berelasi dengan pendukung capres Y, suporter klub sepakbola A jarang bergaul dengan pendukung klub B. Mereka  hidup di lingkungan dengan kepercayaan dan kesukaan sama yang biasa disebut filter bubble. Ditambah dengan terpaan informasi atau pendapat yang memperkuat pendapat mereka (echo chamber). Info itu disampaikan terus-menerus. Wajar jika hoaks makin  tumbuh subur.

Di situlah kita akan menemukan banyak orang keras kepala. Tak mau mendengar pendapat orang lain. Siap-siap saja, setahun lagi pemilu berlangsung. Tahapannya sudah dimulai sejak tahun lalu. Makin banyak orang keras kepala yang bisa bikin pening kepala. Saat itulah kita hanya bisa bilang “Ah sudahlah!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya