SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sidik Dosen IAIN Surakarta, Mahasiswa S3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang (ist)

Bagaimana seharusnya mengaktualisasikan Islam dalam konteks kehidupan bernegara? Atau dalam bentuk lain, bagaimana seharusnya menjadi muslim sekaligus warga negara yang baik di bumi Nusantara?

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Apakah menawarkan konsepsi Islam tanpa reserve; mengupayakan transformasi konsepsi Islam dalam konteks kebangsaan; atau melakukan sekularisasi? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka setidaknya sejak masa-masa pencarian identitas kebangsaan di awal kemerdekaan dan belakangan kembali menggeliat ke permukaan.

Dalam konteks ini, di awal perjuangan kemerdekaan dan pencarian identitas bangsa, selain Muhammad Natsir (1908-1993), tampil Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang kemudian biasa disapa Buya Hamka (1908-1981) sebagai salah satu tokoh muslim yang gigih memperjuangkan identitas Islam, namun di saat bersamaan membuka diri terhadap realitas kebangsaan.

Bagi ulama yang baru saja mendapat anugerah gelar pahlawan, Selasa (8/11) lalu, Islam adalah tatanan nilai yang harus mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dengan pandangan seperti ini tidak heran jika sosok ini pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, mendukung gagasan Negara Islam yang diperjuangkan M Natsir.

Setelah melalui proses musyawarah yang alot, akhirnya sidang menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Pada dasarnya, tokoh-tokoh muslim, termasuk Buya Hamka, bisa menerima hasil musyawarah tersebut.

Mereka umumnya menganggap kesepakatan itu sebagai kompromi terbaik bagi bangsa. Pancasila yang mengusung prinsip keyakinan pada Tuhan, nasionalisme, humanitarianisme, demokrasi dan keadilan sosial, bagi mereka dipandang telah sejalan dengan nilai-nilai keislaman.

Hanya saja, dalam perjalanannya, Pancasila yang memuat nilai-nilai religius ini ditarik oleh pemerintah ke arah konsep-konsep sekuler.

Ini setidaknya terlihat dari pembatasan simbol-simbol keislaman oleh pemerintahan Soekarno. Inilah yang mendorong tokoh-tokoh muslim bergerak untuk kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Hamka kembali menyuarakan hal ini melalui sidang-sidang konstituante pada 1950-an. Upaya ini digagalkan oleh pemerintah dengan membubarkan konstituante pada 1960.

Setelah pembubaran konstituante, Hamka memilih memperjuangkan idealismenya melalui habitat asalnya, dakwah dan kepenulisan. Namun, karena tuduhan makar, ia dipenjarakan oleh Soekarno pada 1964.

Selama di tahanan inilah ia berhasil menyelesaikan karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar. Tafsir Alquran ini adalah karya di antara ratusan karyanya yang gaungnya hingga ke mancanegara dan masih dijadikan rujukan di lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air hingga kini.

Pada 1966, Hamka dibebaskan karena tuduhan-tuduhan terhadapnya tidak terbukti. Ia kembali aktif berdakwah dan menerbitkan majalah Panji Masyarakat pada 1967.

Pada 1975, ia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Melalui MUI, Hamka berusaha mempertemukan kepentingan pemerintah dan masyarakat dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemandirian dan agama.

Pada Mei 1981, ia mengundurkan diri dari jabatan itu karena diminta mencabut fatwa tentang Natal Bersama yang dinilai berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Pada 17 Pebruari 1981, ia berhasil menerbitkan keseluruhan karya tafsirnya. Beberapa bulan setelah itu, 24 Juli 1981, Hamka mengembuskan napas terakhirnya.

Konsisten tapi moderat
Tiga puluh tahun setelah wafatnya Buya Hamka, dua hari menjelang peringatan Hari Pahlawan 2011, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan.

Lantas apa maknanya bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam? Memperhatikan sekilas fragmen kehidupannya, tidak berlebihan jika dalam konteks kehidupan bernegara, umat Islam Indonesia perlu merenungkan dan mempertimbangkan kembali model keberagamaan sebagaimana yang dicontohkan Buya Hamka.

Hamka setidaknya memperlihatkan bahwa konsistensi menegakkan nilai-nilai agama tidak harus direpresentasikan dalam bentuk-bentuk yang inkonstitusional dan radikal. Ia justru memperlihatkan upaya-upaya yang persuasif, konstitusional, kultural dan jauh dari aksi-aksi radikal.

Benar bahwa ia pernah secara serius memperjuangkan negara Islam. Namun, patut dicatat bahwa itu dilakukannya di tengah kekosongan dan pencarian bentuk dasar negara di awal kemerdekaan.

Sebagai muslim, adalah wajar jika ia terpanggil untuk menawarkan Islam. Apalagi saat itu ia melihat Islam pilihan yang paling kultural jika dibanding dengan ideologi yang juga tumbuh di sekitarnya, semisal sekulerisme, sosialisme, marxisme dan bahkan komunisme.

Tapi, yang menarik, pada saat musyawarah menghasilkan kompromi dan memutuskan Pancasila sebagai dasar negara, Hamka bisa menerimanya. Sikap demikian tentu menunjukkan kearifan dan kebesaran jiwa seorang tokoh muslim bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sikap-sikap demikianlah yang saat ini patut dikedepankan. Terutama di tengah munculnya kecenderungan sikap yang secara kaku memaknai konsepsi keagamaan di satu sisi dan sikap yang terlalu sekuler-liberal di sisi lain.

Kedua sikap keberagamaan demikian, hemat saya, malah menjadi kontraproduktif dengan realitas kultural dan kebangsaan. Sikap kaku dalam beragama akan mencukupkan diri pada warisan keagamaan ”klasik” dan abai dengan realitas sosial-kultural.

Sebaliknya, sikap sekuler-liberal yang keterlaluan juga akan mengabaikan sama sekali warisan keagamaan ”klasik” dan lebih berkonsentrasi pada realitas sosial-kultural.

Saat ini, sikap-sikap yang produktif jauh lebih dibutuhkan sebagai modal pembangunan bangsa. Sikap demikian bisa lahir jika konsistensi yang bersifat moderat sebagaimana ditunjukkan Hamka dijadikan pilihan.

Sikap demikian memperlihatkan konsistensi pada nilai-nilai agama di satu sisi, namun di sisi lain terbuka terhadap realitas.

Sikap
Dalam memaknai konsepsi negara, jihad dan kependudukan, Hamka mengedepankan konsistensi memperjuangkan nilai-nilai Islam di satu sisi, namun di waktu yang sama ia bersikap terbuka dengan kondisi sosial yang dihadapi.

Terkait konsep kenegaraan, ia misalnya, konsisten memandang bahwa relasi agama dan negara bersifat integral. Baginya persoalan agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bernegara.

Namun, ia juga tidak bersikukuh untuk memaksakan bentuk negara Islam. Baginya, bentuk negara tidak ditentukan secara rinci dalam Alquran. Itu bersifat sosiologis sesuai kadar perkembangan masyarakat. Yang penting negara itu memungkinkan bagi pelaksanaan syariat Islam.

Berkenaan dengan persoalan kepala negara, ia konsisten menunjuk pemimpin yang memiliki kapasitas dan idealisme keagamaan yang baik. Ini dimaksudkan agar masyarakat dan bangsa tidak digiring pada kekeliruan, kezaliman dan aniaya.

Namun, dalam soal teknis pemilihannya, ia tidak kaku untuk menerapkan syura (musyawarah). Baginya, teknis pemilihan bersifat lentur sesuai perkembangan masyarakat. Yang penting, dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip musyawarah. Ini dilakukan untuk mencegah otoriatarianisme.



Begitu juga dalam soal penegakan hukum (Tuhan) dan keadilan. Ia konsisten bahwa sebuah pemerintahan wajib menegakkannya. Namun, upaya itu dilakukan sesuai kemampuan dan kondisi yang berkembang.

Sementara, terkait pemaknaan jihad, Hamka konsisten mengusung nilai-nilai normatif (fikih) jihad. Ia menegaskan jihad bukan sesuatu yang bersifat revolusioner dan radikal.

Baginya, jihad adalah upaya membela agama Tuhan (defensif), khususnya ketika secara terang-terangan diserang dan didiskreditkan. Itu pun harus dilaksanakan dengan sejumlah aturan dan kaidah (norma) tertentu.

Semua itu dilakukan untuk mencapai keridaan Tuhan. Jihad tidak hanya bersifat fisik, tapi juga nonfisik. Bagi Hamka, segala upaya produktif yang dilakukan karena Tuhan (fisabilillah) adalah jihad.

Dalam soal kependudukan, Hamka mengajak pemerintah melihat dampak kebijakan Keluarga Berencana (KB) di masa mendatang. Ia menganggap KB memang baik bagi penurunan populasi. Tetapi, dampak negatif KB juga perlu dipertimbangkan.

Ia menilai KB berdampak negatif bagi kesehatan hormonal dan fisik. KB juga melahirkan problem sosial baru semisal seks bebas di kalangan remaja.

Lebih dari itu, jika tidak disertai peningkatan kualitas keluarga, hanya akan menciptakan penduduk yang berkualitas rendah sehingga mudah diintervensi oleh pihak asing.

Hamka menganjurkan pemerintah mencari alternatif lain dalam mengatasi problem kependudukan.

Mengatur pola migrasi, memaksimalkan potensi alam bagi pemerataan ekonomi, dan meningkatkan kualitas keluarga adalah di antara alternatif yang ditawarkannya.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya