SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekeringan. (JIBI)

Solopos.com, BOYOLALI – Pemerintah Kabupaten Boyolali akan mengevaluasi status darurat kekeringan yang ditetapkan pada pertengahan September lalu. Evaluasi ini digelar lebih cepat mengingat kondisi keikliman mengarah pada terjadinya kemarau basah.

Maya Kurnia dari Dinas Pertanian Buleleng menyebutkan kemarau basah merupakan fenomena anomali. Hal ini ditandai dengan tingginya intensitas curah hujan pada musim kemarau.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ini berkebalikan dengan musim kemarau yang umumnya terjadi ketika suatu daerah menerima curah hujan dengan intensitas di bawah rata-rata.

Baca Juga: Alhamdulillah, GOR Gelarsena Klaten Kini Tanpa Pasien Isolasi

“Musim kemarau adalah periode bulan atau tahun ketika sebuah wilayah mengalami kekurangan pasokan airnya. Umum, terjadi ketika suatu daerah menerima curah hujan di bawah rata-rata. Hal ini berdampak besar pada ekosistem dan pertanian dari daerah yang mengalaminya,” tulis Maya, seperti dikutip dari distan.bulelengkab.go.id, 5 September 2014.

Di Boyolali, musim kemarau memicu terjadinya kekeringan di sejumlah kecamatan. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali menunjukkan ada enam kecamatan yang mengalami kekeringan tahun ini yakni Juwangi, Wonosegoro, Wonosamudro, Musuk, Tamansari, dan Kemusu.

Pemkab Boyolali menetapkan status kedaruratan kekeringan dengan menerbitkan SK Bupati Boyolali Nomor 360/593/2021 tentang penetapan siaga darurat kekeringan pada awal September lalu. SK ini menanggapi seringnya terjadi kekeringan yang melanda setiap tahun di Kabupaten Susu ini.

Baca Juga: Tamu Cari Celah Bawa Anak-Anak Ngamar di Hotel di Wonogiri

“Pada perkembangannya nampaknya tahun ini berdasarkan informasi dari BMKG [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika] merupakan tahun kemarau basah. Kemarau tidak panjang,” kata Kepala Pelaksana Harian BPBD Boyolali, Widodo, saat ditemui Solopos.com di kantornya, Jumat (1/10/2021).

Kemarau basah ini membuat Pemkab Boyolali akan mengevaluasi kembali apakah status darurat kekeringan akan dilanjutkan atau dicabut. Apabila di daerah terjadi banyak hujan khususnya di wilayah rawan kekeringan, artinya wilayah tersebut mendapatkan air tanah. Maka status darurat kekeringan bisa dicabut.

Meski demikian, hujan yang terjadi belakangan ini bukan lantas serta merta bisa dikonsumsi. Wilayah Boyolali utara yang cenderung berkapur membuat air hujan ini menjadi keruh. Agar air bisa dikonsumsi, warga harus menunggu beberapa waktu hingga kandungan kapur mengendap dan air menjadi laik konsumsi.

Baca Juga: Waduh! Banyak Anak di Bawah Umur di Wonogiri Mencoba Ngamar di Hotel

 

Survei

“Jadi droping air bersih akan tetap dilakukan hingga air di dalam tanah bisa dikonsumsi masyarakat,” ujar dia.

Data BPBD Boyolali per 30 September 2021, menunjukkan total distribusi air bersih ke wilayah kekeringan mencapai 57 tanki atau setara 302.000 liter air yang bersumber dari APBD. Selain itu, ada pula bantuan 4 tanki atau setara 23.000 liter air bersih yang berasal dari CSR.

Air bersih ini didistribusikan kepada sejumlah kecamatan seperti Selo, Wonosamudro, Juwangi, Wonosegoro, Kemusu, dan Tamansari. Di Kecamatan Wonosamudro, beberapa desa mendapatkan bantuan air bersih yakni Gunungsari, Garangan, Kalinanas, dan Repaking.

Baca Juga: Boyolali Dapat 220.000 Dosis Vaksin dari BKKBN

Widodo menambahkan guna mengatasi kekeringan secara permanen di wilayah, BPBD berencana menggelar survei potensi sumber air pada 2022. Apabila ditemukan, sumber air bisa dibor menjadi sumur dalam.

“Kami juga membuat DED untuk penampungan air di Wonosamudro. Di sana ada sendang walau kecil tapi bisa dimanfaatkan. Kegiatan nanti pada 2022,” sambung Widodo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya