SOLOPOS.COM - Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri (JIBI/Bisnis Indonesia)

Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri (JIBI/Bisnis Indonesia)

Dalam sepekan terakhir ini rupiah bergejolak. Dari di Rp 8.900–Rp 9.000/ USD, rupiah tiba-tiba bergerak di luar batas itu, bahkan sempat melewati Rp 9.200/USD sebelum akhirnya ditutup di Rp 9.175 pda Jumat (25/11/2011).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bank Indonesia langsung memberikan pernyataan BI akan terus menjaga rupiah agar tetap stabil, bahkan dalam dua hari terakhir BI sudah menggunakan cadangan devisa sekitar Rp 1,5 trilun (belum termasuk intervensi pada Jumat) untuk menstabilkan rupiah.

Hasilnya rupiah sempat kembali ke Rp 8.900 sebelum akhirnya berbalik lagi di atas Rp 9.100-an. Sehingga dalam sepekan itu rupiah mengalami pelemahan (depresiasi) sebesar 2%. Bukan hanya rupiah yang terpuruk tetapi pasar saham dan obligasi kita juga selama sepekan lalu mengalami tekanan cukup dalam.

Di mana Indeks Harga Saham Gabungan  (IHSG) turun sebesar 3,1% ke tingkat 3.637 dengan asing mencatatkan total net sell sebesar Rp 965 milar. Sementara di pasar obligasi yield Obligasi Pemerintah jangka waktu 10 tahun mengalami peningkatan (atau penurunan harga) sebesar 53 bps menjadi 6,89% dengan net sell  asing sebesar Rp 1,3 triliun.

Ironisnya, fluktuasi yang terjadi di pasar kita justru terjadi pada saat beberapa pakar ekonomi menyatakan ekonomi Indonesia  merupakan salah satu ekonomi yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap goncangan krisis ekonomi global. Ini karena didukung oleh ekonomi domestik kuat.

Bahkan Kamis (24/11/2011) lembaga internasional Asian Development Bank (ADB) memperkirakan  perekonomian Indonesia masih akan tetap resilient dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,6% pada 2012, di tengah makin memburuknya perekonomian global.

Dengan demikian faktor utama yang diperkirakan mempengaruhi pergerakan pasar pekan lalu adalah makin memburuknya kondisi ekonomi dan keuangan di kawasan Eropa.

Hal ini membuat sentimen negatif menjalar ke negara lain, termasuk kawasan Asia, yang sebenarnya kondisi perekonomiannya jauh lebih baik dibandingkan perkonomian negara barat. Penurunan peringkat utang pemerintah di Portugal dan Hungaria hingga di bawah investment grade yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat Moody’s and Fitch menambah ketakutan pelaku pasar.

Faktor lain yakni adanya perbedaan pendapat antara tiga negara zona Eropa, yaitu Jerman, Prancis dan Italia, dalam mengatasi masalah utang pemerintah di kawasan Asia.

Ketakutan pasar

Ketakutan ini sebenarnya sudah tercermin di awal pekan lalu di mana yield obligasi pemerintah Italia dan Spanyol meningkat menembus 7%, tingkat yang dianggap sangat berbahaya bagi kondisi keuangan kedua negara tersebut.

Ditambah lagi kegagalan Jerman dalam menjual obligasi pemerintahnya sesuai dengan target karena minimnya peminat obligasi tersebut.

Keadaaan ini pada akhirnya menimbulkan ketakutan para investor akan masa depan kawasan Eropa yang dapat mendorong terjadinya krisis likuiditas global, seperti kondisi pada 2008.

Akibatnya mereka mengambil posisi aman dengan melarikan aset mereka ke safe haven asset, yaitu aset yang dianggap paling aman terhadap risiko terkecil, yaitu US dolar dan US obligasi (UST bond).

Dengan demikian koreksi pasar dan tekanan mata uang domestik yang terjadi dalam sepekan lalu bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara lain, karena dampak penularan (spill over effect) dari kondisi Eropa.

Apa yang harus diantisipasi oleh Indonesia ke depan?

Meski secara ekonomi keterkaitan antara Indonesia dengan ekonomi global relatif terbatas, namun tingginya eksposure dana asing di pasar obligasi dan saham serta masih rendahnya kedalaman sektor keuangan kita dibanding regional menyebabkan pasar Indonesia menjadi lebih rentan dibandingkan pasar regional.

Jadi tidak heran apabila terjadi koreksi, maka pasar Indonesia akan mengalami koreksi yang lebih dalam dibandingkan lainnya. Demikian pula apabila terjadi kenaikan, maka pasar kita akan meningkat lebih tinggi dibanding yang lain.

Artinya, volatilitas di pasar kita lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.  Implikasinya terhadap rupiah, yakni tekanan terhadap rupiah juga akan meningkat.

Pembalikan arus modal secara tiba-tiba dapat terjadi, seperti terjadi pada Agustus dan September. Di mana  sekitar Rp 60 triliun dana asing keluar dari saham, obligasi dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sehingga BI harus menjual sekitar US$10 miliar cadangan devisanya untuk mendukung rupiah.

Dalam kondisi ini apa yang dilakukan oleh BI adalah  tepat karena BI menjaga volatilitas rupiah walaupun dari sisi tren rupiah mengalami  pelemahan searah dengan pergerakan mata uang regional.

Pola kebijakan intervensi semacam ini harus terus dipegang BI. Melakukan intervensi rupiah di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, namun juga diupayakan searah dengan perkembangan regional lainnya, sehingga tidak bergerak secara anomali.

Seperti pengalaman saat krisis keuangan 1997/1998 dan 2008, pasar tidak dapat dilawan, tapi kita harus dapat bermain cantik untuk mengimbangi permainan pasar .



Intervensi

Kebijakan intervensi yang salah justru akan membuka peluang keuntungan bagi para spekulan yang melakukan posisi hit and run bahkan melakukan arbitrase di dua pasar rupiah kita, yaitu pasar domestik dan pasar offshore Non-Deliverable Forward (NDF) .

Ke depan yang perlu kita antisipasi yakni kondisi perekonomian dan keuangan Eropa yang diperkirakan makin memburuk, sehingga probabilitas terjadinya pelarian dana ke safe haven aset makin tinggi. Artinya tekanan terhadap mata uang regional juga akan meningkat.

Perkembangan rupiah saat ini jika dibandingkan dengan mata uang regional lain jauh lebih baik, dengan depresiasi sejak Januari–November hanya mencapai 2.8% dibandingkan dengan mata uang regional yang mencapai rata-rata 4% – 5%.

Bahkan jika kita lihat secara riil (dengan mengeluarkan unsur inflasi dan tahun dasar akhir 2009), rupiah mengalami apresiasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan apresiasi mata uang regional.

Artinya daya saing produk Indonesia tergerus secara relatif dibanding pesaing kita. Ke depan dengan mengantisipasi fenomena penguatan USD secara global dan masih tingginya nilai riil rupiah relatif terhadap mata uang regional lain, nampaknya secara teoritis ruang gerak bagi penguatan rupiah makin terbatas.

Dalam hal ini kita semua harus mencoba untuk berpikir secara realistis dan mulai merubah mind-set kita terhadap rupiah yang biasanya bermain di bawah Rp 9.000/USD untuk dapat menerima rupiah di atas Rp 9.000/USD.

Terlebih lagi dengan depresiasi rupiah terbatas akan membantu daya saing ekspor kita, khususnya untuk produk manufaktur yang selama ini mendapat tantangan hebat dari negara tetangga.

Namun demikian, peran BI di sini dalam menjaga volatilitas rupiah tetap akan sangat diperlukan, tentunya memperhatikan arah angin yang terjadi di pasar global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya