SOLOPOS.COM - Jalur alternatif ilustrasi (metrotvnes.com)

Jalur alternatif ilustrasi (metrotvnes.com)

“Ya ampun macete koyo (seperti) Jakarta, ” ujar Bayu Kusumo, 26, sore itu akhir pekan kemarin sesampainya di perempatan ring road Gejayan ketika hendak menuju kolam renang di daerah Babarsari sepulangnya kerja.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saban harinya, Bayu selalu mobile ke sana ke mari menawarkan space iklan untuk surat kabar nasionalnya. Dia adalah seorang marketing. Oleh karenanya, menembus jalan ramai saat jam padat di Jogja sudah menjadi rutinitasnya.

Biasanya mahasiswa lulusan UPN tersebut selalu ambil jalan alternatif untuk menuju satu tempat ke tempat lain. Hanya sore itu saking terburunya karena sudah janji on time sama temannya di kolam renang, ia tak berpikir panjang.

Bayu tetap memilih jalan utama,tapi justru terjebak macet.Rentetan mobil sudah mengantre panjang dari semua penjuru di perempatan tersebut. Tak ayal banyak sepeda motor mencoba menerobos melalui celah-celah di antara mobil. Adapula yang nekad menyerobot area pejalan kaki, trotoar. “Sampai-sampai lampu merah gak berlaku dan polisi harus turun tangan,” ujarnya kesal.

Sebetulnya hal ini bukan pertama kali dialaminya. Pernah untuk menuju Ambarukmo Plaza (Amplaz), Bayu melewati Jalan Taman Siswa kemudian tembus sampai Universitas Kristen Duta Wacana dan kemudian masuk ke Jalan Munggur hingga Jalan Solo.

Tapi belakangan jalan itu sudah terlampau padat karena kemungkinan sudah menjadi jalan utama.Saat ini, untuk menuju Amplaz, dia memilih Jalan Glagah Sari, lalu Jalan Raya Timoho atau Jalan Ipda Tut Harsono. Baginya jalan yang dilalui itu relatif singkat, walau dia tak mengelak jika sekarang ini jalan yang dipilihnya tersebut juga sudah banyak di lalui pengendara lain.

“Ya pastilah.Seiring perkembangan lingkungan sekitar seperti adanya kampus, tapi jalan itu relatif lebih cepat,” tandasnya.

Tak hanya sebagai marketing di perusahaan medianya sekarang, Bayu juga kerap diminta pakdenya untuk mengurusi galery lukisan di Kasongan, Bantul. Saat jam pulang kerja sekitar pukul 16.00, Jalan Bantul mulai dari Pojok Beteng Barat (Kulon) hingga perempatan Dongkelan juga kerap padat. “Kemungkinan bersamaan orang Bantul yang kerja dikota jadi seperti itu,” katanya.

Jalan-jalan alternatif memang jadi pilihan pengendara yang tak ingin terjebak macet dan ingin segera sampai tujuan. Selain yang telah disebutkan di atas, Harian Jogja juga mencoba meyelusuri jalan alternatif lain, seperti Jalan Jagalan dan Tegal Panggung. Dari dulu, jalan itu memang telah jadi jalan tikus bagi pengendara yang tak ingin terjebak macet di jalan sepanjang perempatan Gondomanan hingga Jalan Mataram untuk menuju daerah Kotabaru.

Dengan melalui jalan itu, pengendara beranggapan juga lebih cepat karena tak ada halangan traffic light. Tapi ketika siang itu Harian Jogja melewati jalan tikus tersebut, masih juga terjebak macet. Selain jalannya sempit, banyak kendaraan yang parkir di pinggir jalan. Akibatnya jalur alternatif itu  malah jadi macet. Apalagi ketika musim liburan tiba, jalan tersebut justru susah dilewati.

Jalan alternatif lainnya di Jalan Balirejo. Jalan itu menghubungkan Jalan Timoho Raya dengan Jalan Solo dan kawasan Jogja Expo Center. Hampir sama dengan jalan alternatif lainnya, jalan itu pun kerap padat merayap.

Apalagi di jalan tersebut terdapat Jembatan Sungai Gadjah Wong yang hanya dapat dilintasi oleh satu kendaraan roda empat. Pernah kejadian mobil dari arah timur lebih dulu masuk, sementara dari arah yang berlawanan tak mau mengalah.

Akhirnya ketika bertemu di atas jembatan, kedua mobil tersebut tak dapat bergerak. Maju tidak bisa, ke belakang sulit karena mobil lainnya dan sepeda motor terlanjur berada di belakangnya.

Menurut Bayu, yang pernah bekerja diJakarta, situasi lalu lintas di Jogja sudah hampir mirip dikotametropolitas, walau tak separah disana.”Di sini walau ada juga yang ugal-ugalan masih bisa ditolirer.

Suparjiono,warga Kota Jogja juga mulai gerah karena belakangan trotoar juga dijadikan pengendara sepeda motor sebagai jalan ‘alternatif’ untuk menembus kepadatan di lampu merah.

Kondisi ini sering ia jumpai di perempatan Gondomanan dan perempatan Tamsis dan persimpangan Umbulharjo dari arah timur.”Ini menunjukan situasi jalan sudah ruwet,sampai-sampai trotoar dilewati motor,”ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya