Solopos.com, JAKARTA — Keluarga besar mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso meluncurkan buku berjudul Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan yang ditulis wartawan senior Farouk Arnaz.
“Ide penulisan buku ini muncul dari Pak Komisaris Jenderal (Purn) Drs. Nanan Soekarna dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Komjen Arief Sulistyanto,” kata anak kedua Hoegeng, Aditya Hoegeng di sela-sela peluncuran buku tersebut di Jakarta Selatan, Minggu (7/11/2021).
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Pada saat ia bertemu dengan kedua orang tersebut, Aditya disarankan menulis buku yang berisi tentang sosok Kapolri kelima itu dari segi humanisnya. Saran itu dilatarbelakangi karena sebelumnya sudah ada buku-buku tentang Hoegeng tentang kedinasan.
Setelah itu, Nanan Soekarna dan Arief Sulistyanto mengenalkan Aditya dengan seorang wartawan senior yakni Farouk Arnaz. Selama kurun waktu empat bulan dan beberapa kali revisi, buku berjudul Buku Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan berhasil diterbitkan.
Baca Juga: Setelah Kapolsek Parigi, Giliran Polisi Medan Terjerat Kasus Pencabulan
Selepas itu, lanjut dia, tepat 14 Oktober 2021 atau 100 tahun Hoegeng, keluarga besar dan penulis mendatangi istri Hoegeng yakni Meriyati Roeslani di daerah Depok Jawa Barat untuk menyerahkan buku yang telah diselesaikan tersebut.
Sekilas isi buku tersebut menceritakan tentang sosok Hoegeng Iman Santoso yang meninggalkan warisan mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi.
Kapolri kelima yang berkisah tentang keteguhan menjabat mulai 1968 hingga 1971 itu adalah sosok langka yang sulit dicari padanannya mulai dulu hingga kini.
Tak hanya sendiri, Hoegeng juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesungguhnya tak pernah mudah itu. Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebatilan.
Baca Juga: Ealah! Tergiur Masuk Akpol, Warga Jatim Kena Tipu Rp2 Miliar
Ia menjaga nama baik dan sumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata. Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para “tuan besar” sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.
Ia bahkan bergabung dengan Petisi 50 pada tahun 1980 yang lantang mengkritik penguasa saat itu yang dianggap mulai melenceng.
Buku tersebut juga berisi testimoni orang-orang terdekat Hoegeng dari dapurnya Hoegeng yang tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengertian mereka.
Perjuangan sosok Hoegeng sangat berat. Sebab, Hoegeng adalah seorang suami, Hoegeng adalah ayah, dan Hoegeng adalah kakek.
Selain itu, buku tersebut juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karier Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan-kebijakan Hoegeng semasa menjadi Kapolri yang terekam dalam berbagai media massa.