SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Kamis (21/1/2021) merupakan hari istimewa bagi putra sulung Presiden Joko Widodo. Gibran Rakabuming Raka bersama Teguh Prakosa resmi ditetapkan sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah 2020.

Penetapan dilakukan dalam rapat pleno terbuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo. Di jagat politik, ia pendatang baru laiknya ayahnya belasan tahun silam. Kemenangan Gibran dalam arena politik lokal mengikuti jejak bapaknya duduk di “dhampar kencana” Balai Kota Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gibran bertarung dalam pemilihan kepala daerah direstui ibundanya Ny. Iriana. Joko Widodo kala itu tentu juga mengantongi pangestu dari ibundanya Ny. Sudjiatmi. Bagaimanapun doa ibu adalah kekuatan ampuh.

Ibu adalah “jimat sakti”. Bukan hanya melahirkan ketenteraman batin. Doa perempuan yang melahirkan kita juga memantapkan langkah atas pilihan kita. Kenyataan itu bisa kita tilik dari lelaku ibunda Presiden Joko Widodo.

Ekspedisi Mudik 2024

Lembar kalender menunjuk angka 15 Februari 1943. Setengah bulan sebelum pasukan Jepang menguasai tanah Jawa, kelopak mata Sudjiatmi melihat terangnya jagat. Ia lahir dari rahim keluarga wong cilik.

Ayah dan ibunya, Wirorejo dan Sani, sehari-hari tinggal di pelosok desa di Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Mereka menjalani laku hidup dengan sederhana. Perempuan ini tumbuh menjadi remaja desa.

Permainan tradisional gobag sodor mempunyai sumbangan berharga dalam dirinya. Dolanan bocah itulah yang menyebabkan dirinya berjumpa dengan tambatan hati, Widjiatno, yang kelak menjadi suami dan bersalin nama menjadi Notomihardjo.

Lelaki berumur 19 tahun, berparas halus, dan bertubuh gagah ini mempersunting perempuan berusia 16 tahun itu. Kedua keluarga bertemu. Disepakati pesta pernikahan digelar pada 23 Agustus 1959.

Untuk ukuran wong desa, perayaan pernikahan itu meriah diukur dengan menyembelih sapi sebagai jamuan tamu serta nanggap pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.

Di kursi pelaminan, senyum kedua mempelai terus mengembang. Perempuan yang menjadi “ratu sehari” dan hatinya berbunga-bunga itu, bernama Sudjiatmi, adalah ibunda Presiden Joko Widodo.

Kota Solo menjadi saksi perjuangan keluarga undhagi (tukang kayu) ini. Bermula dari ayahnya membuka usaha kayu di Srambatan, Solo, dan membangun rumah di situ.

Pasangan muda tersebut mengontrak tak jauh dari rumah orang tuanya. Di bilik kecil tersebut, Sudjiatmi mengandung Joko Widodo. Seturut pengakuannya kepada Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti (2014), melahirkan Joko Widodo bukan perkara mudah.

Dia mengalami kesakitan, kecemasan, serta sendirian ditikam sepi. Usianya baru 18 tahun tatkala rahimnya berisi nyawa janin berusia sembilan bulan. Di Rumah Sakit Brayat Minulyo tiada kerabat yang menungguinya, termasuk sang suami.

Seorang diri toh pati atau mempertaruhkan nyawa berjuang demi lahirnya janin ke dunia dan menghirup napas pertamanya. Manajemen rumah sakit itu melarang keluarga menunggui proses kelahiran.

Tangis pertama Joko pada 21 Juni 1961 itu hanya didengar oleh Sudjiatmi dan bidan. Kelahiran bayi Joko Widodo membuat keluarga gayeng. Sebagian wong Jawa meromantisisasi suasana somah yang bahagia dengan purwakanthi: regenging omah jalaran bocah atau kemeriahan rumah tangga disebabkan kehadiran anak.

Kebahagiaan itu sedikit terganggu oleh kabar buruk, yaitu keluarga Sudjiatmi harus hengkang dari rumah tempat tinggal mereka. Tanah dan rumah yang mereka tempati itu bukan milik perorangan, melainkan milik pemerintah yang akan digunakan sebagai pasar.

Lembaga pelat merah memberi ganti di sisi utara sungai, namun ia tak menempati. Peristiwa penggusuran tersebut sangat membekas dalam diri Joko Widodo hingga memengaruhi kebijakannya yang tidak semena-mena dalam merelokasi warga pada kemudian hari.

Ringkasnya, keluarga Sudjiatmi tidak diajari memelihara dendam, namun sebagai refleksi hidup. Peran sebagai ibu diuji. Joko Widodo pernah mogol atau kecewa berat sewaktu duduk di bangku SMA.

Raganya berada di sekolahan, namun hatinya tidak ikut lantaran sekolahan tersebut bukan pilihannya. Joko Widodo sering mengurung diri di kamar, jika tidak membolos. Kekecewaan itu menggerogoti jiwanya hampir selama setahun.

Sudjiatmi lekas menyadari buah hatinya menderita penyakit jiwa, bukan fisik semata. Sang ibu harus menjadi teman bagi jiwa yang patah. Membiarkan Joko Widodo melakukan yang digemari, tanpa mengintervensi sepenuhnya.

Naluri Sejarah

Setelah mau sekolah, Sudjiatmi menjemput Joko Widodo naik motor. Teman-temannya berkali mengolok-olok: kowe dipethuk mbakyumu (kamu dijemput kakakmu). Sudjiatmi tak mudah meliuk dengan kahanan susah dan ujian itu.

Pokoknya terus meniupkan optimisme kepada anaknya untuk bangkit dan meraih prestasi. Ia berketetapan hati menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, apa pun yang terjadi dan dengan cara bagaimanapun.

Membebat rapuh hatinya, tampil menjadi perempuan perkasa supaya kekuatan tersebut memancar dan terserap pada siapa pun yang ada di sekelilingnya, tanpa kecuali anak sulungnya itu.



Tidak cukup perjuangan fisik. Dimensi spiritual diperkuat dalam mendampingi suami beserta anak-anaknya. Berpuasa Senin dan Kamis jarang terlewat. Saat orang kebanyakan membetulkan letak selimut pada pukul 03.00 WIB dan enggan bangun, ia menggelar sajadah.

Selepas ditusuk dinginnya air wudu, dirinya sujud dan bersimpuh di hadapan Sang Penulis Skenario Kehidupan. Disambung zikir hingga tembang azan Subuh berkumandang. Doa untuk anggota keluarga mengalir bak aliran Kali Pepe di musim penghujan.

Perempuan ini bukan hanya “teman nyampah” (tempat mencurahkan isi hati atau curhat) anak-anaknya sampai mereka berkeluarga dan bercucu. Ia juga sandaran dan tiang pegangan yang bakoh kendati tubuhnya kecil.

Ibu adalah pengayom dan kekuatan untuk menjalani hidup bagi buah hati, sejak mereka lair ceprot. Emoh bergelimang harta sekalipun ada anak yang berpangkat wali kota, gubernur, sampai naik tangga menjadi presiden Republik Indonesia.

Hidup sederhana semasa tinggal di Boyolali dan bergeser di bibir Kali Pepe setengah abad silam masih diamalkan, tiada yang berubah. Memilih menjalani hidup apa adanya, tak hendak membebani anak-anaknya.

Maka, tak jarang anak-anaknya sering merasa kesulitan mencari ibunya. Pernah si anak membelikan telepon genggam untuk memudahkan komunikasi dengan sang ibu.

Tidak seperti manusia modern yang lazim sukar lepas dari telepon genggam atau gadget, Sudjiatmi malah membiarkan alat komunkasi itu sepi sendiri di dalam tas tangannya. Sangat jarang panggilan di telepon genggam itu dia respons. Ia berkeyakinan kuat terhadap laku hidup yang lurus.

Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti kepenak,” kata dia. Suatu ketika Joko Widodo mengutarakan maksud ingin maju ke gelanggang politik. Sudjiatmi berpesan pendek, jika ingin cari uang, sebaiknya berdagang saja, membesarkan perusahaan kayu.

Kalau mencalonkan diri sebagai wali kota, Joko Widodo harus jujur dan tidak boleh bertingkah macam-macam, apalagi memakai uang dari jabatan itu. Itulah sepotong kisah dari nenek Wali Kota Solo terpilih itu. Sekalipun tidak menangi (menyaksikan) cucunya dilantik sebagai wali kota, ia tuntas momong anak, putu, hingga buyut.

Ia juga berhasil mengantarkan anak sulungnya jadi orang nomor satu di negeri ini. Tanpa kekuatan ibu, Presiden Joko Widodo bisa dipastikan bernasib lain, demikian pula Gibran.

Sudjiatmi menyediakan teladan bagi perempuan-perempuan di Indonesia dalam mengasuh anak dan melakoni hidup tanpa berlumur kemewahan. Dia adalah sumber pendidikan karakter bagi tunas muda bangsa ini.

Ia bak punakawan yang siap menyemprit dan marah jika melihat para satria melenceng. Semoga Mas Gibran tidak lupa kepada neneknya yang juga berasal dari keluarga wong cilik. Inilah esensi merawat naluri sejarah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya