SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Ada paralelisme historis antara krisis global yang terjadi tahun 2020, saat ini, dengan krisis dunia yang terjadi pada 1930. Beda sebab tetapi dampaknya sama, yaitu krisis di semua sektor kehidupan.

Tahun 2020 dan tahun 1930 sama-sama zaman meleset. Kata ”meleset” adalah pelesetan dari kata bahasa Prancis malaise yang berakar dalam istilah medis untuk menyebut keadaan sakit atau lesu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Istilah ”zaman meleset”  menjadi idiom domestik untuk menandai krisis dunia pada 1930. Kosakata ”zaman meleset” dipakai sebagai jargon untuk menggambarkan kesengsaraan rakyat.

Pada 1930 krisis dipicu oleh rontoknya harga saham di bursa saham New York yang menjalar ke Eropa dan akhirnya sampai ke Hindia Belanda (Indonesia pada waktu itu). Sedangkan krisis yang terjadi sekarang dipicu oleh pandemi yang disebabkan virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok, dan menjalar ke seluruh dunia.

Dampak dari dua peristiwa bersejarah yang beda sebab itu paralel, yaitu krisis dasyat di sektor perekonomian, sosial, politik, dan kemanusiaan. Alexander Claver (2007) dalam Economic and Finance in Indonesia menjelaskan dari 1929 hingga 1932 stok industri Wall Street kehilangan sekitar 82% dari nilainya, disertai dengan penurunan dalam output industri Amerika Serikat tidak kurang dari 54%.

Tingkat keparahan dari kecelakaan itu mengguncang kepercayaan orang pada ekonomi riil, memanifestasikan diri dalam penurunan pesanan dan investasi. Imbasnya sampai ke Hindia Belanda yang pada awal 1930-an harga komoditas benar-benar hancur.

Penyebabnya adalah dependensi yang tinggi ekonomi Hindia Belanda terhadap ekspor komoditas. Dari 1928 hingga 1934 harga ekspor turun hampir 20% setiap tahun. Tidak ada pertumbuhan produksi untuk menyeimbangkan perbedaan karena volume ekspor turun sebesar 3,9% selama tahun-tahun itu.

Krisis ekonomi juga terlihat pada jumlah uang yang beredar karena menurun 2,2%. Fakta itu mencerminkan berkurangnya jumlah transaksi di Hindia Belanda. Indikator-indikator ini menunjukkan penurunan umum output ekonomi.

Imbasnya, banyak pekerja di perkebunan dan perusahaan Belanda yang kemudian menjadi werkloos alias pengangguran. Dampak negatif yang sama terjadi pada saat krisis dunia akibat pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia.

Sebagaimana data-data yang dirilis secara resmi bahwa kontraksi hebat terjadi setidaknya di delapan sektor ekonomi mulai dari pemutusan hubungan kerja besar-besaran, industri penerbangan berhenti, okupansi di sektor perhotelan di bawah 50%, prediksi pertumbuhan ekonomi di bawah 5%, serta defisit anggaran sampai Rp1.000 triliun. Benar-benar kita ada di zaman meleset.

Aktualisasi

Lantas apa yang dapat kita pelajari dari sejarah krisis 1930? Sejarah selalu aktual. Pasti ada pelajaran yang dapat dipetik dari masa lalu, misalnya tentang kearifan yang tumbuh di masyarakat pada masa krisis.

Ada satu fenomena kearifan yang menarik pada  1930, yaitu kembalinya aktivitas pertanian tanaman pangan yang berkinerja baik seperti halnya petani kecil menghasilkan tanaman komersial yang penting. Fenomena kembalinya kinerja pertanian itulah yang pada waktu dulu menjadi strategi survival di tengah krisis.

Jadi, sangat mungkin kearifan untuk kembali ke aktivitas pertanian sebagaimana terjadi pada masa krisis 1930 itu dijadikan model social safety mengatasi krisis masa sekarang. Banyaknya pengangguran saat ini yang ”pulang kampung” tentu menjadi modal utama untuk mengembalikan kinerja pertanian.

Sebagaimana dilukiskan dalam editorial Boomgard dan Brown (2000) yang berjudul Weathering the Storm, The Economics of Southeast Asia in the 1930s Depression yang menggambarkan pulihnya sektor ekonomi di Hindia Belanda pascazaman meleset karena faktor yang pertama adalah kinerja pertanian yang kembali bangkit.

Konsep hilirisasi sumber daya pertanian menjadi penting karena mengandalkan ekspor komoditas faktanya mudah roboh, terutama menghadapi krisis pandemi seperti saat ini.

Memberdayakan para pengangguran yang ”pulang kampung”, misalnya, dengan skema insentif prakerja bidang pertanian adalah bentuk kearifan yang diperlukan saat ini. Kita masih menyimpan  warisan kearifan peradaban Nusantara di bidang pertanian sebagai gen generasi bangsa sehingga lebih familier untuk reorientasi kinerja pada era kenormalan baru ini.

Kearifan Politik

Para pejuang dan kaum pergerakan pada 1930 menjadikan kata malaise (meleset) sebagai propaganda politik untuk menggambarkan penderitaan rakyat kecil akibat krisis ekonomi kala itu. Artinya, zaman meleset adalah bahasa propaganda yang agitatif terhadap penguasa.

Bersamaan dengan zaman meleset tahun 1930 itu praktik kekuasaan yang ditampilkan oleh Belanda menjadi keras. Bung Karno ditangkap dan dipenjara hingga tahun 1931. Pada tahun 1934 saat krisis masih belum selesai, giliran aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru, termasuk Bung Hatta dan Sjahrir, dibuang ke Digul.

Mereka dibuang sebagai konsekuensi pembatasan, terutama pembatasan hak untuk berkumpul dan berserikat. Pemerintah kolonial Belanda pada masa krisis saat itu memang tidak menghilangkan pergerakan politik di Hindia Belanda tetapi pergerakan politik itu dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul).

Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia banyak yang ”dimasukkan karantina” alias diasingkan sehingga ruang gerak mereka dan ruang pengelolaan organisasi menjadi sempit.      Tentu pada suasana zaman meleset kearifan politik sangat diperlukan.

Zaman sekarang kita tidak lagi menghadapi kekuasaan Belanda. Setiap kekuasaan yang dipegang dalam suasana yang tidak terkontrol secara baik akan berdampak negatif pada tata kehidupan politik yang disepakati.

Jika pemegang kekuasaan kurang arif dalam membuat kebijakan, segala hal akan dijadikan hidden transcript yang berupa olok-olok protes sosial tersembunyi dengan memelesetkan istilah-istilah yang akrab pada di masa krisis ini.



Misalnya, pada beberapa hari lalu ini ada sebuah forum yang diberi nama Rumpi Hukum yang digelar oleh sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Jogja yang salah satu tema pembiacaraannya dari memelesetkan akronim PSBB menjadi Penyesatan Soal Bansos dan BPJS. Mungkin hal itu didasari kegusaran pihak tertentu yang melihat fakta munculnya kebijakan pemerintah yang tidak punya empati pada zaman meleset yang serba susah ini.

Belajar dari kearifan masa lalu sebagaimana pada 1930 itu tidak ada disparitas bantuan sosial bagi rakyat yang menderita. Krisis pada 1930 juga melahirkan gelandangan dari kalangan orang Eropa dan Tionghoa di Batavia yang faktanya bercampur menjadi satu dengan gelandangan bumiputra.

Tentu kearifan pendistribusian bantuan sosial pada zaman meleset tahun 2020 ini harus lebih baik lagi daripada yang terjadi pada tahun 1930 karena kita tidak lagi hidup pada zaman kolonialisme.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya