SOLOPOS.COM - Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Sigid Kurniawan)

Kasus BLBI kembali menyeruak, khususnya menyorot soal Inpres yang pernah diterbitkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta publik untuk tidak mencampuradukkan antara kebijakan dan pelaksanaannya. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Negara ketika menjawab pertanyaan wartawan mengenai kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seusai menghadiri pembukaan Inacraft 2019 di Jakarta Convention Center, Rabu (26/4/2017).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Bedakan, yang paling penting bedakan. Mana kebijakan dan mana pelaksanaan,” kata Jokowi.

Dalam konferensi pers penetapan tersangka mantan Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung yang terjerat kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mempersoalkan mengenai Inpres No. 8/2002 yang diteken dan dilansir pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Inpres itu menuangkan tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Presiden Jokowi menuturkan, baik Keputusan Presiden maupun Instruksi Presiden adalah sebuah kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan.

“Pelaksanaan itu wilayah yang berbeda lagi. Tapi detail itu, tanyakan ke KPK.”

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI pada 2004.

Komisioner KPK Basaria Panjaitan mengatakan tersangka diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim.

Sjamsul merupakan pemegang saham dan pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). “Atas penerbitan SKL tersebut negara dirugikan sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun,” paparnya, Selasa (25/4/2017).

Syafruddin Temenggung menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002. Pada bulan berikutnya mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk mengubah proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya