SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Harga bahan bakar minyak (BBM) naik lagi. Beberapa alasan yang mengemuka adalah perang Rusia versus Ukraina yang mengganggu rantai pasokan energi. Harga minyak bumi dan produk turunannya naik tajam.

Pemerintah pun akan berargumen anggaran akan defisit dan bisa jebol karena anggaran untuk subsidi BBM makin besar. Wacana-wacana itu lazim kita baca dan dengar jika harga BBM akan dinaikkan.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Menurut saya, alasan yang paling mengganggu adalah pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi. Pernyataan ini bisa diartikan mobil-mobil pribadi banyak yang menggunakan Pertalite.

Apakah benar demikian? Berdasarkan Lampiran IV Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, total subsidi bahan bakar dan energi Rp208,9 triliun. Perinciannya, subsidi LPG tabung tiga kilogram senilai Rp134,7 triliun, subdisi jenis bahan bakar tertentu Rp14,5 triliun, dan subsidi listrik Rp59,5 triliun.

Ekspedisi Mudik 2024

Keluhan Presiden Joko Widodo ini salah besar karena lebih dari separuh anggaran subsidi bahan bakar dan energi merupakan subsidi LPG tabung tiga kilogram. Satu lagi yang pantas dicurigai adalah membengkaknya anggaran kompensasi kenaikan harga BBM dari Rp18,5 triliun menjadi Rp252,5 triliun. Meroket 1300%.

Anggaran kompensasi ini diberikan kepada PT Pertamina. Hal inilah yang sampai sekarang masih tidak jelas peruntukannya. Saya curiga sebagian atau seluruh anggaran kompensasi ini untuk membayar utang Pertamina. Basuki Tjahaja Purnama selaku Komisaris Pertamina pernah membeberkan utang Pertamina mencapai US$16 miliar atau setara Rp237,6 triliun (kurs Rp14.850 per dolar Amerika Serikat).

Faktor lain yang bikin saya getem-getem adalah asumsi-asumsi yang ditetapkan oleh pemerintah di APBN itu ketika meleset semua tiba-tiba alasan yang dikemukan pemerintah adalah subsidi BBM salah sasaran, tidak tepat, dan dinikmati oleh yang punya mobil pribadi alias orang kaya.

Salah satu asumsi meleset adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang meliputi pendapatan minyak bumi, gas bumi, kehutanan, panas bumi. PNBP paling banyak dari sektor sumber daya alam yang pengelolaannya—seperti kata banyak orang—dikuasai oligarki.

Di Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, PNBP ditargetkan Rp481,6 triliun. Sampai Agustus 2022 baru tercapai sekitar Rp281 triliun. Jika ini tercapai, Presiden Jokowi mungkin tidak perlu menaikkan harga BBM.

Terlepas dari melesetnya target pemerintah yang terperinci dalam APBN dan klaim-klaim yang tidak sesuai fakta, di kepala saya selalu timbul pertanyaan apakah pemberian subsidi harga BBM itu adil?

Anggaran subsidi BBM itu berasal dari APBN. Ada tiga sumber pendapatan, yaitu penerimaan pajak, PNBP, dan hibah. Salah satu sumber pendapatan APBN adalah masyarakat Indonesia dalam bentuk pajak.

Keadilan

Jika dikaitkan dengan pajak, siapakah yang pantas menerima subsidi? Masyarakat yang membayar pajak lebih banyak atau masyarakat yang membayar pajak lebih sedikit sebagai golongan paling berhak menerima subsidi agar tercipta keadilan sosial?

Apabila alasan subsidi selalu salah sasaran itu dimasukkan sebagai variabel, bisa diartikan juga masyarakat yang membayar pajak lebih sedikit sebagai golongan paling berhak menerima subsidi. Apakah itu adil bagi masyarakat yang membayar pajak lebih banyak? Jawabannya bisa tidak adil.

Oleh karena tidak adil, apakah sebaiknya subsidi BBM itu diberikan secara merata saja tanpa memperhatikan orang kaya atau orang miskin, kebutuhannya apa, dan kontribusinya apa? Perlu dipahami bahwa keadilan itu merupakan konsep moral.

Adil bisa diabstraksikan memperlakukan orang sesuai dengan haknya. Permasalahan dalam subsidi BBM ini adalah hak dan siapa yang menerima itu tidak diputuskan dalam konsep moral, tetapi lebih pada penalaran politik. Tidak aneh jika siapa yang berhak dan hak itu diputuskan oleh para elite politik.

Bagi Presiden Joko Widodo, siapa yang berhak menerima subsidi BBM adalah para pemilihnya pada tahun 2019 yang berjumlah 85 juta itu. Momentum kenaikan harga BBM ini ada anomalinya, yaitu sepinya demonstrasi. Mengapa hal ini terjadi?

Pertama, Presiden Joko Widodo sudah belajar dari kenaikan harga BBM pada 2015 yang saat itu hampir semuanya lari membiayai infrastruktur tanpa memperhitungkan dampak politiknya. Misalnya, dana untuk komunitas Islam yang pada pemilu 2014 berseberangan dengan Joko Widodo dipangkas atau dikurangi.

Buruknya, kebijakan ini tidak diikuti konsolidasi politik. Akibatnya, demo besar-besaran pada 2 Desember 2016 terjadi. Setelah “gerakan 212”, Presiden Joko Widodo mulai menggelontorkan dana konsolidasi politik berdampingan dengan anggaran infrastruktur, misalnya, pengembangan pesantren, pendanaan pesantren, pencetakan wirausahawan santri, pendirian bank wakaf mikro, pendirian balai latihan kerja di pesantren.

Kedua, konsolidasi politik ini relatif berhasil meskipun ada ongkos yang ditanggung, yaitu meningkatnya rasio utang dalam APBN yang sekarang mencapai 40%. Selain itu, para elite politik juga sudah tahu bahwa gejolak karena kenaikan harga BBM tidaklah lama.

Kenaikan harga BBM diharapkan membuka pintu transparansi mengenai penetapan harga keekonomian BBM. Jika Pertamina dan pemerintah punya nyali, lepaskan saja harga BBM itu mengikuti pasar, kemudian terbentuk harga pasar.

Harga pasar itu bisa lebih murah dari harga keekonomian BBM yang mungkin komponennya seperti harga dasar, jasa distribusi, kompensasi untuk direktur dan komisaris Pertamina, dan lain-lain. Dengan komponen harga keekonomian yang sebegitu banyaknya, saya berpikir pantas saja harga jual bensin di Vivo Rp8.900 sebelum dipaksa naik menjadi Rp10.990.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 September 2022. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo, Jawa Tengah)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya