SOLOPOS.COM - Dhoni Zustiyantoro/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Dalam peluncuran program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyebut program studi tidak memiliki link and match dengan dunia industri.

Beberapa kebijakan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perlu didukung karena bisa menjadikan perguruan tinggi lebih produktif dalam hal riset, tapi ada satu hal yang berpotensi salah arah dan menjadikan kampus sekadar sebagai ”pusat pelatihan buruh”.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kebijakan link and match itu perlu disesuaikan dengan konsepsi pendidikan tinggi. Jika tidak, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan tak akan mendapatkan porsi memadai. Pernyataan ”kurikulum program studi yang sifatnya sangat teoretis” semestinya tidak keluar dari seorang menteri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan semestinya memahami tugas perguruan tinggi mengembangkan keilmuan dan, dengan demikian, teori sebagai bekal untuk mendalami menjadi dasar yang mutlak bagi mahasiswa. Pendapat umum di tengah masyarakat bahwa ”perguruan tinggi pencetak pengangguran” harus menjadi evaluasi bagi kampus.

Ada kesan bahwa kebijakan kampus merdeka ini berangkat dari asumsi masalah paling krusial yang dihadapi perguruan tinggi adalah rendahnya penyerapan lulusan di dunia kerja. Faktanya setiap tahun ada ratusan ribu orang sarjana yang menjadi pengangguran, tapi hal itu tidak semata-mata disebabkan buruknya link and match. Pengangguran lulusan universitas lebih disebabkan orientasi para lulusan adalah menjadi pencari kerja.

Jadi Pengusaha?

Orientasi ini yang kemudian menjadi salah satu alasan kampus memasukkan mata kuliah ”sapu jagat”, yaitu mata kuliah kewirausahaan di semua program studi. Bebarengan dengan itu, mata kuliah terkait filsafat yang mengajarkan dasar-dasar pemikiran dan berpikir kritis lenyap di sebagian besar perguruan tinggi.

Apakah ini berarti dunia ilmu dan pengetahuan pelan-pelan kehilangan legitimasi dan sekadar menjadikan lulusan sebagai ”pengusaha” dan bukan pengembang ilmu? Menurut data yang dihimpun Badan Pusat Statistik pada 2019, pengangguran terbuka justru didominasi lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), yaitu 8,63%.

Angka itu dominan dibanding tingkat pendidikan lain, seperti diploma sebesar 6,89% dan SMA sebesar 6,78%. Penggabungan pengelolaan perguruan tinggi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi kesempatan mengevaluasi kebijakan antardirektorat.

Kita juga perlu mengapresiasi dan mendorong kebijakan progresif menteri berusia 35 tahun itu. Empat program kampus merdeka, yakni kemudahan kampus mendirikan program studi baru; kelonggaran aturan akreditasi; percepatan perubahan status perguruan tinggi menjadi badan hukum; dan magang tiga semester buat mahasiswa tak semuanya buruk.

Program ini juga membuka akses mahasiswa agar dapat mengambil mata kuliah lintas program studi. Di Amerika Serikat kebijakan ini disebut sebagai liberal arts, mendorong mutu lulusan memiliki wawasan dan kecakapan lebih.

Dalam pemeringkatan perguruan tinggi dunia, setiap tahun rata-rata 50 perguruan tinggi teratas ditempati perguruan tinggi dari negara itu. Kurikulum liberal arts menyiapkan lulusan ketika menjalani beberapa karier atau berganti profesi.

Dosen Sibuk

Proses persiapan akreditasi selama ini menyita waktu dosen. Sebelum borang akreditasi dikirimkan ke Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), butuh waktu minimal dua tahun untuk menyiapkan. Pelbagai bukti fisik bahwa program studi telah dikelola optimal mesti disiapkan.

Beberapa bulan menjelang asesor datang, semua dosen di program studi sangat sibuk. Proses akreditasi yang panjang inilah, yang menurut Nadiem, menjadikan dosen sibuk sehingga membuat mahasiswa bertanya,”Dosen saya ke mana?” Program magang yang panjang dan tidak harus diisi dengan bekerja di perusahaan bisa membuka ruang eksplorasi buat mahasiswa yang kreatif.

Otonomi pendidikan bagi perguruan tinggi yang selama ini digadang-gadang dapat menjadi roh dari merdeka belajar di kampus. Otonomi itu berada pada konteks kampus punya wewenang penuh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi tidak boleh dikerdilkan menjadi pusat pelatihan buruh. Itu tugas pendidikan vokasi.

Hakikat universitas adalah pusat keunggulan (centre of excellence) ilmu pengetahuan. Kampus seyogianya menjadi institusi rujukan di bidang pendidikan, penelitian, serta penerapan ilmu dan teknologi. Kemerdekaan kampus harus dimaknai kemerdekaan untuk mengembangkan ilmu dan peradaban.

Kampus harus dikembalikan pada muruah sebagai ”kiblat kebenaran” ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi informasi mesti diimbangi basis keilmuan yang kuat. Tidak ada cara lain, pemerintah harus mengambil peran memperkuat, bukan sebaliknya: mengiris kewenangan kampus dan mengarahkan menjadi produsen buruh.

Tugas utama Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bukan menyiapkan sumber daya manusia siap kerja. Ia hendaknya tak sekadar mewujudkan link and match antara pendidikan dan industri seperti harapan Presiden Joko Widodo.

Nadiem harus berani membebaskan pendidikan dari indoktrinasi yang menyeragamkan pikiran. Ia harus mendorong tumbuhnya nilai-nilai kebaikan setiap individu, keberagaman, dan sikap demokratis. Itu jika benar-benar ingin memerdekakan kampus dan bukan justru mengekang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya