SOLOPOS.COM - Mahasiswa yang mondok di Ponpes Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura sedang mengikuti kajian hadis, Minggu (29/7/2012) malam. Mereka berkomitmen untuk tinggal di pondok hingga akhir Ramadan. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Mahasiswa yang mondok di Ponpes Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura sedang mengikuti kajian hadis, Minggu (29/7/2012) malam. Mereka berkomitmen untuk tinggal di pondok hingga akhir Ramadan. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Tak seperti biasanya, Ramadan kali ini bertepatan dengan musim liburan di perguruan tinggi. Namun, sebagian mahasiswa tidak benar-benar libur, malah justru sebaliknya.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

“Memang kampus sedang libur, tapi di sini kami sudah berkomitmen untuk tinggal di sini sampai H-5 Lebaran,” ujar Ahmad Zainal Arifin alias Zafin, mahasiswa FKIP Biologi UMS 2009 yang juga Lurah Pondok di Al-Muayyad Windan, Minggu (29/7).

Bahkan rencananya Zafin masih akan berada di pondok saat rekan-rekannya berlebaran di kampung halaman. “Habis itu kami bikin shift sehingga selalu ada orang di sini.”

Hari itu, sekilas lingkungan pondok terlihat lengang menjelang siang hari. Bukan karena tidak ada orang, melainkan karena itulah waktu istirahat bagi sebagian besar santri. Selepas Zuhur, mereka harus bersiap-siap untuk kajian Tafsir Yasin di masjid dan malam harinya mereka punya kegiatan yang padat dari menjelang Magrib hingga Subuh.

Berada di pondok selama Ramadan memang sudah jadi tradisi mahasiswa yang nyantri di sana. Tidak seperti rekan-rekan mereka yang jauh-jauh hari sudah pulang kampung, kesibukan mereka justru bertambah meskipun libur kuliah. Di pondok, serangkaian agenda sudah menunggu dan tidak memungkinkan mereka untuk bersantai.

Selain agenda harian seperti tadarus Alquran, kajian hadis dan kitab kuning, ada agenda lain yang khusus dilakukan selama Ramadan. Setelah tarawih berjemaah, ada pengajian Hadis Arbain dilanjutkan dengan tadarus sampai subuh. “Di sini ada semacam PPL, jadi ada santri yang dapat tugas untuk ngimami dan mengisi kultum di luar. Salah satunya di Perumahan Puri Alam Asri, Colomadu,” kata Zafin.

Sejak 2004, kawasan tersebut memang sudah jadi tempat praktik bagi para santri mahasiswa ini untuk mengaplikasikan kemampuan yang diperoleh dari pondok. Awalnya pada 2004, warga setempat meminta bantuan ke pondok untuk mengirimkan imam yang bisa memimpin salat tarawih dan memberikan kultum saat Ramadan. Maka dikirimlah para santri untuk datang ke sana. Bertempat di salah satu rumah penduduk, santri ini menggelar salat tarawih berjamaah. Mereka bukan hanya jadi imam tapi juga mengajari anak-anak setempat membaca Alquran.

“Tapi ada syarat khusus bagi orang yang dikirim ke sana. Paling tidak mereka hafal surat-surat Juz Amma dan menguasai kitab fikih.”

Hingga saat ini warga setempat selalu meminta bantuan kepada pondok untuk mengirim santri tiap Ramadan tiba. Selain itu, para pengurus masjid di berbagai tempat juga minta bantuan santri “PPL” untuk datang ke masjid mereka.

Karena kelak semua santri harus melakukan tugas serupa, mereka pun selalu digenjot hafalan Alquran, minimal Juz Amma atau juz terakhir. Disaksikan langsung oleh pengasuh pondok, KH Dian Nafi’, para santri dicek perkembangan hafalan mereka. “Ada juga yang memang belum hafal, tapi kita bantu. Seusia kami ini kan sering malas, makanya kami genjot. Kalau tidak ada perkembangan ya malu sendirilah.”

Di luar gemblengan tersebut, mereka tidak lupa terus menghidupkan budaya diskusi di lingkungan pondok. Di sebuah forum bahtsul masail, para santri diberi sebuah masalah sosial. Dengan masing-masing pengetahuan yang dimiliki, para santri memperdebatkan masalah itu. Tidak tanggung-tanggung, mereka bisa membawa kitab-kitab mereka sebagai “senjata” untuk berargumentasi.

“Bagi kami yang baru saja mengikuti agenda di luar entah diskusi atau workshop, kami wajib untuk share atau presentasi di pondok,” ujar Zafin.

Masak

Padatnya agenda pondok tidak membuat mereka bisa meninggalkan kewajiban pribadi. Tak seperti mahasiswa di asrama umumnya yang mengandalkan jajan di luar, mereka harus memasak sendiri di pondok. Yang putri memasak sore hari untuk buka puasa, sedangkan santri putra memasak malam hari untuk makan sahur. Ini merupakan budaya yang sudah ditanamkan sejak lama oleh para pendiri pondok.

Repot? Mungkin saja. Tapi saat Ramadan, inilah kegiatan yang paling menyenangkan di mata para santri. “Jangan salah, ada banyak orang yang berterima kasih karena dididik untuk masak sendiri di sini,” kata pengasuh Pondok Al-Muayyad Windan, KH Dian Nafi’.

Menurutnya, ini menjadi pendidikan yang berharga buat para alumnus pondok yang merantau di berbagai kota dan luar negeri. Sejumlah alumnus yang kini kuliah di luar negeri sering berterima kasih kepada pondok karena kebiasaan memasak menjadi bekal berharga untuk bertahan hidup di negeri orang. “Di luar negeri kan tidak ada budaya pakai pembantu. Semuanya harus dilakukan sendiri. Apalagi mahasiswa kita di sana kebanyakan tinggal di rumah orang sana,” ungkap Dian Nafi’. Belum lagi di luar negeri mereka harus berhadapan dengan makanan yang diragukan kehalalannya. “Jadi ini penting untuk menjaga agama mereka,” katanya.

Di sini, memasaknya bukan menu sembarangan. Karena pondok terbiasa menerima tamu dari berbagai negara, para santri pun ikut terbiasa menyajikan menu untuk berbagai kalangan. Untuk itu, Dian Nafi’ sering mengundang ahli masak dari salah satu hotel di Solo datang ke pondok. Bukan untuk memasak tapi untuk mengajari para santri memasak berikut table manner standar hotel.

“Jangan heran kalau di sini terbiasa menemukan suguhan teh tawar dan kopi pahit karena gulanya ditaruh di tempat terpisah,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya