Anggota Red Squad, kelompok pecinta motor saat berada di Jl Kleringan beberapa waktu lalu.

PromosiChampionship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Hampir setiap malam, di Jembatan Kleringan, Gondolayu maupun Sayidan, selalu dijumpai sejumlah anak muda nongkrong. Mereka sengaja menghabiskan malam di tempat itu.

Meski berbahaya, mereka tetap nekad memilih tempat itu karena tidak perlu mengeluarkan sepeserpun uang dari dompetnya. Mereka juga sengaja memilih jembatan karena ruang publik di Jogja saat ini sangat terbatas.

“Nggak ada rambu larangannya juga kan? Lagian mau kemana lagi? Tempat-tempat yang lain seperti Alkid, Code, sudah padat dan terlalu crowded sehingga kurang nyaman,” ujar Wulan, 24, warga asal Jogja saat dijumpai di Jembatan Gondolayu, akhir pekan lalu.

Selain di Gondolayu, Wulan mengaku pernah nongkrong di Jembatan Kleringan. Menurut dia jembatan itu masih cukup sepi, sementara lebar jalan juga cukup luas sehingga saat memarkir kendaraan tak menyebabkan kepadatan lalu lintas.

Eri, mahasiswi perguruan tinggi kesehatan di Jogja mengungkapkan sengaja memilih Jembatan Kleringan karena sorot lampu dan konstruksi yang menawan membuat ia bersama teman-temannya sering refreshing di atas Sungai Code itu.

Dijelaskan Eri, nongkrong di jembatan layaknya di kafe. “Mau ke kafe tidak punya uang pilihannya di jembatan,” katanya.

Meski sering nongkrong di jembatan seperti Gondolayu dan Sayidan, ia tidak berlama-lama. Bila sudah terasa dingin, teman sepermainannya segera pulang. “Nggak lama-lama sih, bisa masuk angin dong,” imbuhnya.

Senada diungkapkan Ayuk, karyawan swasta ini memilih nongkrong di angkringan pinggir Kali Code. Meski tidak berbeda dengan angkringan lainnya, menikmati malam di pinggir kali punya sensasi yang berbeda. “Enak suasananya kalau tidak hujan,” ucapnya.

Baik Eri, Wulan dan remaja lainnya di Jogja memandang tempat hang out yang nyaman dan ramah dibutuhkan saat ini. Apalagi banyak masyarakat Jogja tinggal di indekos yang butuh ruang publik yang memadai. “Bosan di indekos terus,” ujar perempuan yang bekerja di bidang marketing tersebut.

Beberapa dari mereka yang kerap nongkrong di jembatan adalah klub-klub motor. Red Squad misalnya, tiap malam Selasa atau malam Jumat memilih jembatan itu untuk memajang motornya.

Joenalis, Ketua Klub Motor Red Squad mengatakan setidaknya ada 15-25 motor yang diparkir setiap berkumpul. Dengan berkumpul di jembatan, katanya, klub motornya bisa memperlihatkan eksistensinya. “Intinya karena tempatnya luas dan terang sehingga bisa eksis,”ujarnya.

Adapun Marsandi, 31, memilih berteduh di tepi jalur lambat setelah jembatan Gajah Wong depan Kebun Raya Kebun Binatang Gembiraloka, Sabtu (5/5). Bersama putranya, Radityo, 5, mereka menikmati minuman dingin yang dijual pedagang keliling.

Marsandi tinggal di wilayah Jalan Wonosari, ia terbiasa istirahat dan sekadar berteduh di siang hari di jalan dekat jembatan itu. “Kebetulan tempatnya kan tidak ramai, banyak juga yang suka mampir berteduh seperti saya, apalagi dekat angkringan, ada penjualan keliling juga,” katanya.

Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Arif Rahman Hakim mengatakan, jembatan dijadikan tempat nongkrong karena ruang publik yang terbatas. “Wajar saja kalau jembatan jadi tempat hang out,” ujarnya.

Fakta di lapangan, di Jogja tidak ada tempat berhenti. Akhirnya mereka berhenti di jembatan dan di tempat itulah menjadi ruang publik yang tumbuh begitu saja sampai sekarang.

Dewan meminta kepada pemerintah agar ada ruang publik yang memadai agar bisa tertata. Jembatan bukanlah tempat nongkrong, kalau ada tempat yang layak kemungkinan besar bisa dialihkan. Seperti mandala krida dan kridosono bisa dijadikan ruang publik yang cocok untuk masyarakat.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Rekomendasi