SOLOPOS.COM - ilustrasi razia PGOT (JIBI/Dok)

Solopos.com, SOLO -- Jumlah gelandangan dan orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ yang ditemukan dan terjaring razia di jalanan Kota Solo lebih dari 700 orang pada 2020. Jumlah itu meningkat dua kali lipat daripada tahun sebelumnya.

Pemkot Solo sedang merancang peta lintas fungsi penanganan orang terlantar. Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan Bappeda Solo, Sumilir Wijayanti, menjelaskan jumlah rata-rata gelandangan dan orang terlantar yang ditangani 300-400 orang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jumlahnya meningkat saat pandemi Covid-19. “Kalau bukan warga Solo kami assessment lalu kami kembalikan [ke daerah asal]. Tapi kalau orang Solo dengan indikasi miskin harus diintegrasikan dengan basis data. Penanganannya lintas sektor,” katanya kepada Solopos.com, Jumat (26/3/2021).

Baca Juga: Bersih-Bersih Keraton Solo, Putri Raja Ikut Nyapu Dan Ngepel

Menurut Sumilir, penanganan gelandangan, ODGJ, maupun orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terlantar di Kota Solo selama ini ditangani lintas organisasi perangkat daerah tapi belum menyeluruh dan berkelanjutan.

Sejumlah pihak berkepentingan, antara lain Satpol PP, rumah sakit, dinas sosial melakukan pertemuan sejak awal 2021. “Tantangannya Pemkot belum punya rumah kesejahteraan atau selter yang bisa menampung. Orang dari rumah sakit sebelum diantarkan ke daerah asal harus ada assessment atau pemulihan di selter,” katanya.

Ia mengatakan lokasi selter bisa memanfaatkan bangunan atau infrastruktur peleburan sekolah yang tidak dipakai. Sumber daya manusia bisa kolaborasi dengan sukarelawan yang sudah bergerak mandiri.

Baca Juga: Belasan Warga Positif Covid-19, Wilayah 1 RT di Jombor Klaten Lockdown

Operasi Khusus

Arif Darmawan menjelaskan Satpol PP Solo mengamankan satu sampai dua orang pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) setiap hari meskipun tidak ada operasi khusus selama pandemi Covid-19. Operasi khusus PGOT berhenti karena tempat penampungan tidak menerima jika tidak ada bukti negatif Covid-19.

“Biasanya tunawisma kami masukkan ke selter dan yang ada alamatnya kami kembalikan ke rumahnya. Ada Covid-19 tempat penampungan enggak berani jika tidak ada surat bebas Covid-19. Biaya tes terlalu tinggi dan kami enggak ada anggarannya,” paparnya.

Menurutnya, jumlah PGOT yang turun ke jalan banyak pada Kamis dan Jumat dengan modus sebagai tukang becak. Mereka muncul di jalan protokol dan pusat keramaian, antara lain Jl Slamet Riyadi, Jl Jenderal Sudirman, dan kawasan Coyudan.

Baca Juga: Ke Solo, Kapolri Nostalgia Di Loji Gandrung hingga Kangen Gudeg Mbak Yus

“Kalau kami boleh imbau untuk sedekah bisa disalurkan melalui lembaga resmi yang lebih terukur, misalkan Baznas dan Lazismu. Dengan cara itu jumlah orang menggelandang bisa turun,” paparnya.

Ia mengatakan PGOT yang terjaring Satpol PP merupakan orang yang sama atau pernah terjaring Satpol PP. Mereka mengulangi perbuatan dengan turun kejalan salah satu sebabnya memperoleh pendapatan. Arif pernah menjumpai satu orang memperoleh sekitar Rp500.000 pada saat Car Free Day.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya