SOLOPOS.COM - Skema Jembatan Selat Sunda (manajemenproyekindonesia.com)

(Solopos.com) – Impian besar pembangunan jembatan yang melintasi Selat Sunda dan secara langsung menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatra tampaknya makin dekat menuju kenyataan. Perancangnya, Prof Dr Wiratman Wangsadinata, telah diminta sekali lagi mempresentasikan persiapannya di depan sidang kabinet sebelum Presiden menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) untuk pembangunannya.

Skema Jembatan Selat Sunda (manajemenproyekindonesia.com)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jembatan yang akan menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa itu disebutkan akan memiliki panjang total sekitar 29 kilometer dan berdiri 85 meter di atas permukaan laut untuk mengantisipasi kapal-kapal yang melaluinya. Gagasan soal jembatan ini, menurut Guru Besar jurusan Teknik Sipil ITB tersebut sudah cukup lama, berawal dari suatu seminar di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT pada 1992 ketika Menristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dipegang oleh BJ Habibie.

Saat itu ia mengungkapkan bahwa antara Sumatera dan Jawa sangat dimungkinkan untuk dihubungkan dengan jembatan, namun harus menggunakan teknologi jembatan gantung ultra panjang seperti yang sedang berkembang di Eropa, bukan lagi generasi I seperti Golden Gate San Fransisco, tetapi dengan teknologi generasi III seperti Jembatan Selat Messina di Italia yang menghubungkan daratan Italia dengan Pulau Sisilia.

Setelah terpendam selama lima tahun, pada 1997 gagasan tersebut kembali diangkat ketika dirinya diminta BJ Habibie menjelaskan lagi soal jembatan tersebut dan membuat studi tentang teknologi baru itu, ujar Direktur Utama Wiratman and Associates, perusahaan konsultan jasa konstruksi terkemuka itu. Sayangnya pada tahun itu Indonesia mulai dilanda krisis moneter dan hasil studi tentang jembatan tersebut tidak berlanjut serta tinggal sekedar rancangan di atas kertas. “Namun tiba-tiba pada 2005 Tommy Winata dari Artha Graha mengajak saya untuk menghidupkan kembali gagasan tersebut, alasannya jika ada jembatan tersebut ia menjadi bangga sebagai orang Lampung,” katanya.

Dari pertemuan itu, pihaknya bersama Tommy Winata kemudian melakukan kunjungan ke kedua Pemda yang bakal berkepentingan, Pemda Lampung dan Banten. “Mereka menyambut baik dengan segera merealisasikan penandatanganan nota kesepahaman MoU) pembentukan konsorsium yang bertugas membuat pre-study yang nanti digabungkan dengan studi kelayakan,” ujar pria berusia 76 tahun kelahiran Jakarta, 25 Februari 1935 itu.

Pada 2009 rencana Jembatan Selat Sunda yang diperkirakan bakal menelan dana Rp 100 triliun sampai Rp 250 triliun ini disambut oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Kepala Bappenas saat itu Paskah Suzetta yang kemudian dibentuklah tim nasional yang diketuai Menko Perekonomian. Jika Perpres sudah ada, menurut dia, studi kelayakan yang memerlukan waktu dua tahun itu bisa dimulai, sehingga diharapkan peletakan batu pertama jembatan dengan dua fungsi, jalur lalu lintas dan jalur kereta api itu, bisa dilakukan pada 2014, dilanjutkan pembangunan selama maksimal 10 tahun.

Dijamin Aman
Pakar teknik sipil yang telah membangun 4.100 gedung bertingkat, infrastruktur jalan dan jembatan hingga pembangkit listrik tersebut dengan yakin menyatakan bahwa jembatan Selat Sunda akan cukup aman dari berbagai kemungkinan tantangan alam seperti gempa, gelombang laut, angin, hingga letusan gunung Anak Krakatau.

Dalam pradesain, soal letusan gunung, gempa, ombak dan angin, menurut dia sudah dilihat. Letusan Gunung Anak Krakatau yang jaraknya ke jembatan sekitar 50 km misalnya, tidak signifikan pengaruhnya, apa lagi gunung ini tidak menyimpan energi besar. Begitu pula pengaruh gempa bisa diantisipasi, bahkan untuk dilalui tsunami, tiangnya juga terlalu tinggi, sedangkan angin dan ombak besar juga sudah diperhitungkan.

“Jembatan ini akan memiliki dua sistem, di bagian laut yang dangkal dibangun sistem beton konvensional, sedangkan di laut yang dalam dibangun dengan jembatan gantung ultra panjang untuk melangkahi palung laut yang lebar dan dalam,” kata peraih belasan penghargaan itu.

Ditanya soal untung-rugi pilihan pada jembatan yang melayang di atas laut dibanding dengan pilihan lainnya berupa terowongan bawah laut seperti terowongan Channel yang menghubungkan antara Inggris dan Perancis, ia menegaskan lebih memilih jembatan. “Dari segi keamanan, terowongan itu berbahaya karena ia harus dibangun di bawah palung Selat Sunda yang kedalamannya mencapai 150 meter. Jika retak sedikit saja akan menjadi malapetaka. Kalau jembatan di atas laut gempa hanya goyang, tapi kalau di bawah dasar laut bebannya sangat besar 150 ton per meter persegi,” kata Wiratman.

Jadi jembatan tidak peka terhadap pergerakan geoseismotektonik, sedangkan terowongan sangat peka terhadap setiap pergerakan yang dapat menyebabkan peretakan beton sebagai awal proses kebocoran. Jembatan menurut dia, juga lebih murah dari segi biaya karena jaraknya lebih diperpendek dibanding terowongan yang harus mengikuti alur di bawah dasar laut ditambah perlunya memenuhi syarat kelandaian lintasan sehingga menjadi sangat panjang dan memerlukan waktu pembangunan yang lebih lama pula.

Terowongan juga memerlukan biaya operasi yang besar untuk menjalankan sistem ventilasi, drainase, dan penerangan terus-menerus siang dan malam, sementara jembatan tidak memerlukan biaya operasi karena lalu lintas berjalan di udara terbuka. Alasan lain, terowongan sangat cepat padat dan jenuh karena kendaraan bermotor harus naik di atas formasi kereta api, seperti di terowongan Channel, berhubung karakter terowongan tidak bisa multi-moda seperti jembatan.

“Jembatan juga bisa ditumpangi berbagai utilitas seperti kabel listrik, telpon, fiber optik, pipa air baku hingga pipa gas, sementara jika melalui dasar laut biayanya lebih mahal,” kata bapak dua putri yang baru saja mendapat Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden RI itu.

Namun demikian ia juga mengingatkan, meskipun banyak investor khususnya dari China yang berminat membangun JSS, bukan berarti mereka akan tertarik jika pembangunan JSS ini tanpa konsesi. “Biaya pembangunan yang sangat besar tidak akan mungkin bisa dikompensasi dengan penetapan tarif tol JSS yang juga mahal, karena itu perlu ada konsesi di dua wilayah tersebut bagi investornya seperti pengembangan pemukiman, lokasi wisata atau pertambangan. Ini sedang dibicarakan,” katanya. Pembangunan JSS disebutkan juga, untuk mendukung akselerasi Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang sedang digadang-gadang pemerintah.

JIBI/SOLOPOS/Ant

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya