SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Sampai dengan masa awal abad ke-20 masyarakat Indonesia memasuki babak penting. Itu merupakan akhir masa pendudukan kolonial yang telah memberikan banyak pelajaran penting kepada para ulama untuk semakin penuh mengarahkan warga masyarakatnya.

Tantangan yang terpenting adalah beratnya menjaga budi pekerti atau akhlaq karimah di masa-masa keterbelakangan itu.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Wujud nyatanya ada di dalam bentuk rendahnya tingkat pendidikan. Akibatnya adalah ketidakberdayaan di kalangan rakyat, bahkan untuk menyuarakan aspirasi mereka sendiri.

Termasuk yang fokus memikirkan nasib rakyat di masa itu adalah Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari. Tokoh ini paling tekun dan sistematis menggugah kebangkitan para kiai.

Ekspedisi Mudik 2024

Bersama putra beliau K.H. Abdul Wahid Hasyim, para murid beliau seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullan, K.H. Bisyri Syansuri dan para kiai lainnya beliau sigap menanggapi situasi masyarakat.

Banyak sumber, terutama laman nu.or.id, dapat kita akses mengenai perjuangan kaum kiai ini menggugah rasa kebangsaan hingga bentuk perjuangannya akhir-akhir ini. Para penerus perjuangan Walisongo ini mulai terlihat semakin terorganisasi secara formal pada 1916 dengan berdirinya Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air.

Organisasi ini menyadarkan para warga, terutama generasi muda, untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Gagasan tentang Tanah Air yang bergema sejak Kebangkitan Nasional 1908 semakin mudah diterima oleh rakyat. Kedekatan bahasa para kiai dengan bahasa rakyat memudahkan perjuangan bervisi kebangsaan itu.

Kebangkitan kesadaran ber-Tanah Air meniscayakan bertambahnya generasi kaum literati yang lebih melek kepada gagasan keilmuan dan perkembangan pemikiran global.

Semangat generasi muda di bidang itu terwadahi dengan berdirinya Tashwirul Afkar atau Potret Pemikiran pada 1918. Bertambahnya kaum literati saat itu membuka kesadaran baru akan pentingnya kekuatan ekonomi kerakyatan. Saat itu urusan ekonomi praktis dikendalikan penuh oleh kekuatan kolonial.

Untuk itu Hadlratusysyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari menggulirkan Kebangkitan Kaum Pedagang atau Nahdlatut-Tujjar pada 1920.

Perdagangan merupakan bidang kehidupan yang meniscayakan adanya kerja sama luas lintas suku, agama, ras dan golongan. Perhatian utamanya adalah kemajuan kesejahteraan rakyat. Pergerakan di aras ekonomi ini membuka peluang lebih lanjut untuk merespons dinamika global saat itu, sehingga pada 1924 para kiai sepakat untuk membentuk Komite Hijaz.

Komite Hijaz ini merupakan panitia kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang memihak kepada aliran Wahabi menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925. Sejak itu aliran Wahabi bergerak mendominasi Arab.

Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang menjadi korban kekerasan. Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, dua Tanah Suci. Mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk kaum santri yang berasal dari Indonesia.

Komite Hijaz bertugas menemui Raja Ibnu Saud untuk menyampaikan pesan penting para kiai agar ada kemerdekaan bermazhab di kalangan umat Islam di Hijaz, tempat-tempat bersejarah yang diwakafkan dapat difungsikan dan dirawat sebagaimana mestinya seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran, kejelasan biaya haji agar semua jemaah haji dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik tanpa adanya pungutan di luar ketentuan Pemerintah, semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz itu ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadapnya, dan juga memohon agar balasan surat dari Yang Mulia diserahkan melalui ketua delegasi tersebut.

Baca Juga: Nahdlatul Ulama dari Lokal untuk Peradaban Dunia

Pada 1926 berdiri Nahdlatul Ulama. Dengan berdirinya Nahdlatul Ulama ini maka terbentuk serentetan wawasan yang diserap dari pengalaman perjuangan para Kiai itu. Nahdlatul Wathan yang berdiri pada 1916 menumbuhkan wawasan kebangsaan.

Tashwirul Afkar yang berdiri pada 1918 menguatkan wawasan keilmuan. Nahdlatut-Tujjar yang terbentuk pada 1920 menyemaikan wawasan ekonomi kerakyatan. Komite Hijaz pada 1924 memantapkan wawasan solidaritas dunia muslim di kalangan para Kiai dan pendukungnya.

Tahun 1926 merupakan tonggak penting bagi para kiai pendiri Nahdlatul Ulama. Di era itulah dimulai berkembangnya wawasan jati diri yang diikuti usaha-usaha untuk memajukan kehidupan rakyat Indonesia di bidang keagamaan, dakwah, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial dan kemanusiaan.

Yang khas adalah wawasan nasionalisme para kiai bertransformasi. Di awal abad ke-20 mereka teguh di nasionalisme tua atau protonasionalisme, yang fokus kepada gerakan antipenjajahan. Itu bertumbuh menjadi wawasan nasionalisme patriotis untuk mencapai kemerdekaan.

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menggerakkan kaum santri dan para kiai untuk membela kemerdekaan Indonesia hingga meletus Peristiwa 10 November 1945 yang legendaris itu.

Resolusi itu juga menggugah semangat semua elemen bangsa yang sedang berada di Surabaya dan sekitarnya untuk membela hak mereka sebagai warga bangsa merdeka.

Kebersamaan dengan semua kekuatan bangsa tampak selalu dikuatkan oleh para kiai Nahdlatul Ulama. Fokusnya adalah menjaga akhlaq karimah rakyat di dalam perjuangan mereka mencapai tujuan nasional.

Basis massa Nahdlatul Ulama adalah kaum santri. Mereka yang belajar di pondok-pondok pesantren itulah yang menyerap banyak gagasan keilmuan, kebangsaan, ekonomi kerakyatan, solidaritas dunia muslim dan tekad untuk hidup bermartabat dalam dinamika sejarah bangsa Indonesia.

Penggerak utamanya adalah para kiai pesantren. Mereka menyerap warisan dunia keislaman yang terekam ke dalam kitab-kitab mu’tabarah atau yang dapat dipertanggungjawabkan silsilah keilmuannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, salafus-shalihin, dan para ulama penerus mereka selama berabad-abad.



Baca Juga: Sejarah Hari Ini: 31 Januari 1926 Berdirinya Nahdlatul Ulama

Dari kalangan mereka lahir sejumlah ulama negarawan, satu istilah yang dimunculkan oleh K.H. Said Agil Siradj, untuk menunjuk kekhasan kaderisasi ulama di Nusantara. Sementara di banyak belahan dunia muslim banyak ulama bukan negarawan.

Untuk kesekian kalinya Nahdlatul Ulama memunculkan para pemimpin yang kuat intelektualitasnya dan bukan sarjana dari perguruan tinggi. K.H. Miftachul Akhyar yang terpilih sebagai Rais ‘Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode ini, lahir 30 Juni 1953, murni didikan pondok pesantren.

K.H. Yahya Cholil Staquf, lahir 16 Februari 1966, lulusan Madrasah Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, sempat kuliah di Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini berpengalaman kuat dari tataran lokal, nasional hingga di berbagai forum internasional.

Seratus tahun usia Nahdlatul Ulama akan dijangkau dalam periode ini. Konsolidasi pengetahuan, kearifan dan komitmen akan menjadi warna tersendiri pergerakan Nahdlatul Ulama pada tahun-tahun ini.

 

K.H. M. Dian Nafi’

Pengajar Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya