SOLOPOS.COM - Infografis Jejak Kopi di Soloraya (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO – Arabika merupakan jenis kopi pertama yang ditanam di Indonesia saat masih bernama Hindia Belanda pada 1697. Hingga pertengahan abad ke-19, kopi arabika asal Jawa termasuk salah satu kopi terbaik di dunia. Sejarah kejayaan kopi arabika di Jawa, khususnya di wilayah Soloraya, tak bisa lepas dari peran Mangkunagoro IV (1853-1881).

Karakter rasanya yang kuat dengan tingkat keasaman medium disertai sensasi rasa buah-buahan, membuat cita rasa kopi arabika selalu dirindukan oleh para pecinta kopi. Kenikmatan kopi arabika terasa alami pada after taste yakni ada rasa manis dengan sensasi rasa buah yang tertinggal di mulut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Karena karakter rasanya yang kuat itulah, kopi arabika kerap dijadikan bahan dasar berbagai resep kopi favorit dunia seperti espresso, americano, coffee latte, cappuccino dan lain sebagainya. Jadi wajar saja jika kopi ini selalu menjadi incaran beberapa pecinta kopi, tak hanya di Indonesia bahkan dunia.

Ijen Plateau melaporkan tanaman kopi arabika kali pertama dibawa seorang komandan asal Belanda, Adriaan van Ommen. Kala itu, dia membawa kopi arabika dari Malabar, India, menuju Batavia (sekarang Jakarta).

Di Batavia, kopi arabika itu kemudian dibudidayakan di lahan milik pribadi yang disebut Kedaung. Kini, kawasan itu dikenal sebagai Pondok Kopi di Jakarta Timur. Sayang, tanaman kopi arabika ini kemudian mati akibat dilanda banjir.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1699, semakin banyak benih tanaman kopi arabika yang dibawa ke Hindia Belanda. Budi daya tanaman kopi arabika itu menyebar di sekitar Jakarta dan kawasan Priangan, Jawa Barat, Jawa Tengah. Setelah itu, tanaman kopi arabika menyebar ke pulau lain seperti Sumatra, Bali, Sulawesi dan Timor.

Produktivitas kopi arabika kemudian meningkat signifikan. Hingga akhirnya Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda, mengekspor kopi asal Hindia Belanda ke mancanegara. Pada 1725-1780, Hindia Belanda dikenal sebagai negara raksasa eksportir kopi arabika. Ekspor kopi arabika dari Hindia Belanda kali pertama dilakukan pada 1711.

Di Soloraya, kebun kopi arabika juga pernah menghampar luas.  Berikut adalah jejak kejayaan kopi arabika di Soloraya.

Infografis Jejak Kopi di Soloraya (Solopos/Whisnupaksa)
Infografis: Whisnupaksa

Kultur menyesap kopi di Kota Bengawan selama ini boleh dibilang kalah populer ketimbang menyeruput teh. Tak heran terbit kultur jayengan alias menyeduh dengan jalan menubruk beberapa jenis teh untuk menghasilkan cita rasa mantab. Kendati bukan menjadi tradisi utama, sejarah perkebunan kopi tak bisa lepas dari jantung Kota Solo.

Sejarawan Heri Priyatmoko yang sempat meriset sejarah pakopen (perkebunan kopi di lingkungan desa) menuturkan persebaran kahwa Soloraya berutang nama pada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV (1853-1881). Raja waktu itu merintis budi daya kopi jenis arabika (dikenal juga sebagai kopi Jawa) dan liberika.

“Jejak kejayaan Mangkunegaran kerap kali cuma dikaitkan dengan gula. Padahal era Mangkunegor0 IV, kopi jadi komoditas kedua sebagai penyumbang pundi-pundi kerajaan,” ujar Heri dalam sebuah reportase di Solopos.com pada 2019 lalu.

Sedikit mengengok ke belakang, kahwa atau kopi menjadi minuman populer di Eropa pada abad ke-17. Komoditas ini lantas jamak dibudidayakan di Nusantara pada awal abad ke-18. Beberapa sentranya antara lain Bogor, Priangan, Cirebon, Kedu, dan Bondowoso.

Melihat gelagat moncernya bisnis kopi kala itu, kahwa dianggap salah satu jalan keluar dari kemelut krisis keuangan kronis. Pemantik krisis bermula dari kebijakan Belanda yang melarang penyewaan tanah lungguh (apanage) sehingga kerajaan minim pemasukan. Kondisi makin parah selepas meletusnya Perang Jawa yang menguras keuangan internal.

Penanaman kopi di wilayah Mangkunegaran mulanya dirintis sejak 1814 di wilayah Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Usaha tersebut dimulai selepas pemerintah kolonial memberikan lampu hijau hasil kopi istana setempat bisa dikembalikan kepada Belanda untuk membayar utang tersebut.

Dari kebijakan tersebut, Pangeran Arya Gandakusuma yang kala itu masih menjabat patih, terbuka matanya bahwa pembudidayaan kopi yang serius bisa mendatangkan manfaat ekonomi yang besar bagi kerajaan. Begitu naik takhta, raja bergelar KGPAA Mangkunegara IV itu memperluas penanaman kopi ke wilayah Hanggabayan, Keduwang, dan Karangpandan.

Dekade pertama perluasan penanaman kopi membuahkan hasil signifikan. Pada 1842, tercatat produktivitasnya mencapai 1.208 kuintal lantas meningkat drastis menjadi 11.1145 kuintal pada 1857.

“Hasil yang meningkat itu dianggap belum memuaskan oleh raja pada masa itu karena persentasenya baru 5% dari keseluruhan produksi kopi Surakarta. Raja lantas menelurkan kebijakan yang menjadi tonggak sejarah,” jelas Heri.

Mangkunagoro IV mendobrak tradisi dengan mengakhiri persewaan tanah apanage di wilayahnya. Kopi yang awalnya dikelola perkebunan swasta menjadi dikelola kerajaan.

Puncaknya, wilayah perkebunan kopi di lingkup Mangkunegaran tersebar di 24 wilayah, meliputi Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogoimo, Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari, dan Ngawen.

Keseriusan raja mengelola perkebunan kopi juga ditandai dengan kebijakannya mendatangkan ahli perkebunan kopi dari Eropa, Rudolf Kampff. Mangkunagoro IV juga menerapkan manajerial modern dengan menunjuk administratur bergelar panewu kopi dan mantri kopi.

Di setiap daerah didirikan sebuah gudang penampungan kopi. Setiap administratur bertanggung jawab kepada penilik atau inspektur.

Selain pengelolaan modern, Mangkunagoro IV juga berjasa dengan meninggalkan warisan berupa pedoman tata cara pengolahan kopi untuk masyarakat pekopen pada 1867. Pedoman agar menghasilkan buah kopi yang lebat itu ada 17 tahap.

Dimulai dari pemilihan lahan, tanah, pengolahan tanah, pemilihan dan pengolahan benih, pemindahan semaian, penyangkulan, pemanenan, penjemuran, menumbuk, penggantian tanaman, sampai mengantisipasi hama.

“Sesuai kesepakatan dengan Belanda, kerajaan tidak bisa menjual hasil produksi ke pasaran bebas. Semua hasilnya harus dijual kepada pemerintah kolonial. Pengiriman kopi sebelum ada jaringan kereta api dilakukan dengan kapal. Dari gudang, kopi diangkut ke dermaga di Beton lalu dikapalkan melalui Sungai Bengawan Solo,” jelas Heri.



Dikutip dari laman resmi Puro Mangkunegaran, dengan dukungan rakyatnya Mangkunagoro IV mampu menanam kopi sebanyak 6.056.203 pohon pada 1863. Dari jumlah itu, 5.037.356 pohon di antaranya telah berbuah.

Selama periode antara 1871-1881, Mangkunagoro IV berhasil menambah kas kerajaan dari hasil produksi kopi. Sebagai komoditi ekspor, harga komoditi kopi sangat dipengaruhi oleh harga pasar internasional.

Sayang, merebaknya serangan jamur karat daun (Hemeleia vastatrix) di seluruh penjuru Nusantara turut menggoyang produksi kopi di lingkup istana Mangkunegaran sejak 1878. Perkebunan kopi di Karanganyar dan Wonogiri terus menanggung rugi akibat gagal panen mulai 1879 sampai 1900. “Kondisi ini memukul telak keuangan Mangkunegaran,” pungkas Heri.

Selama kurang lebih 175 tahun kopi Arabika merupakan satu-satunya jenis kopi komersial yang ditanam di Hindia Belanda. Namun, pada akhir abad ke-19, budi daya kopi arabika mengalami kemunduran yang parah akibat penyakit karat daun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya