SOLOPOS.COM - Ronny P. Sasmita (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Baik teman sekoalisi atau oposisi sebaiknya berhati-hati mengumbar tuduhan ambisi tiga periode kepada Joko Widodo. Jangan memberi umpan yang berisiko buruk pada masa depan Indonesia lantas dosanya dialamatkan kepada Joko Widodo.

Bukan kali pertama isu ”tiga periode” ini muncul. Politikus Asrul Sani pernah menaikkan isu yang sama pada akhir 2019 lalu dan ditepis dengan sangat tegas oleh Joko Widodo. Partai Golkar pernah membuka wacana Airlangga Hartarto sebagai calon presiden dan Joko Widodo sebagai calon wakil presiden.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Wacana yang dikemukakan Partai Golkar ini secara substantif sangat kentara bahwa partai politik ini ingin bergantung di balik popularitas Joko Widodo. Ide tersebut juga termasuk ide yang sangat murahan.

Termutakhir, Amien Rais mengatakan menangkap ada ambisi terselubung di balik koalisi supermayoritas pendukung Joko Widodo setelah Partai Demokrat ditimpa dualisme kepemimpinan. Kesan saya, jelas muncul sesuatu yang kurang baik atas tuduhan sembarangan itu.

Amien Rais harus benar-benar menganalisis dengan benar. Pertama, ada konstelasi politik koalisi yang sama sekali tidak monolitik. Ada banyak calon presiden dan calon wakil presiden dalam koalisi partai politik pendukung Joko Widodo yang akan menentang ide itu.

Kedua, ide tersebut bisa menjadi sugesti dan stimulan yang buruk untuk para politikus dan partai politik koalisi pendukung Joko Widodo. Awalnya boleh jadi tak ada dalam pikiran mereka, tapi karena didesak terus idenya ke ruang publik, bisa-bisa justru seperti umpan yang lantas dimakan.

Sejarah membuktikan para diktator tidak muncul begitu saja di puncak kekuasaan. Ada suara dan hasrat seperti yang pernah disuarakan Asrul Sani yang mendahului. Itu sangat bisa terjadi, meskipun konstitusi belum membuka peluang.

Dari berbagai pengalaman demokrasi di dunia, saya cukup yakin bahwa jaminan konstitusi tak cukup untuk mempertahankan keberlangsungan demokrasi dari waktu ke waktu. Justru yang paling berpengaruh adalah praktik-praktik, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan demokratis yang akan membuat nadi demokrasi tetap berdenyut.

Indonesia sebagai salah satu negara demokratis konstitusional belum terlalu memberikan pengalaman berdemokrasi yang signifikan. Parlemen pernah mendaulat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kemudian Soekarno sendiri pernah memberangus parlemen pada 1959 melalui dekrit presiden.

Setelah tragedi 1965, Soeharto memulai era nondemokratik baru dengan memfusi partai-partai,  mengadakan representasi fungsional di DPR (non elektoal),  mendorong ABRI (kini TNI) berpolitik (dwifungsi), menyikat berbagai macam kritik, memberangus media,  dan lain-lain.

Kemudian, setelah era reformasi,  Gus Dur  yang terpilih justru tak lagi dianggap layak  lalu dilengserkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Gus Dur digantikan Megawati Soekarnoputri  yang menyelesaikan sisa masa jabatan Gus Dur sampai 2004.

Pada era pemerintahan Megawati,  kesepakatan demokrasi langsung ditetapkan  dan hasilnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.  Dua periode di tangan SBY,  irama demokrasi cukup ritmik,  membuahkan harapan bahwa Indonesia sedang menuju fase konsolidasi demokrasi.

Awal Kehancuran

Saat pemilihan presiden 2014, watak dan sikap politik elite dan massa mulai bergeser.  Indikasi pembelahan ideologis mulai mencuat ke dalam berbagai isu.  Para kandidat tidak saja saling jual beli rencana kebijakan,  tapi juga mulai saling "meniadakan."

Kandidat pertama digambarkan sebagai sosok yang sangat kiri dan kandidat lainya ada di sisi yang paling kanan.  Tak pelak,  kata "komunis" sering kali berbalas "fasis" di ruang publik. Peran masif think tank dan buzzer, yang mecitrakan kandidatnya secara dikotomis terhadap kandidat lain,  menuai militansi (overpartisan) yang berlebihan di kedua sisi.

Walhasil,  kemenangan Joko Widodo pada periode pertama tak benar-benar diterima secara ikhlas oleh semua pihak.  Masih ada saja sisi-sisi ruang publik yang mendelegitimasi keterpilihan dia  dengan berbagai isu dan tuduhan. Isu tersebut berbalas dengan tuduhan radikalisme di sisi lain.

Laga kedua, yang diawali dengan kerasnya pertarungan pemilihan gubernur DKI Jakarta,  masih menggambarkan model perilaku elite dan massa yang dikotomis nondemokratis.  Isu dan tuduhan saling meniadakan, alias sikap tidak menerima pencalonan lawan,  masih terlihat.

Hal tersebut juga masih berjalin kelindan dengan tuduhan radikalisme yang menumpang di salah satu sisi. Isu tersebut menaikkan suhu peperangan terhadap radikalisme di dalam tubuh penguasa terpilih sehingga harus mendudukkan seorang mantan jenderal di puncak pimpinan Kementerian Agama dan mengalokasikan jabatan Menteri Pertahanan kepada Prabowo Subianto,  eks kompetitor yang juga mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus.

Terobosan di rumah pembantu presiden tersebut dianggap bisa meredakan ketegangan yang semakin dikotomis,  terlepas apa pun kesepakatan tak tertulis di belakangnya.  Sampai di situ,  politik nasional masih terlihat so far so good dalam perspektif demokrasi.

Konstelasi yang cenderung sangat dikotomis tersebut berpeluang dimanfaatkan oleh salah satu sisi untuk memberangus sisi yang lain secara permanen. Cara satu-satunya adalah mendaulat salah satu untuk duduk di pucuk kekuasaan selama  mungkin. Pintu pertamanya adalah isu ”tiga periode” itu.

Praktik sampai hari ini sudah ada dalam jalur  yang benar. Tak perlu diusik lagi, selama Joko Widodo juga bersedia ada dalam jalur tersebut. Praktik semacam ini yang kita butuhkan sebagai landasan teknis konstitusi yang telah terlebih dahulu mengaturnya.

Lihat praktiknya  di Amerika Serikat. Sejak presiden pertama  George Washington (1789) sampai Franklin D. Rosevelt terpilih untuk keempat kalinya,  (1933-1945), justru penjelasan masa jabatan presiden dua kali tidak tertulis dalam konstitusi Amerika Serikat.

George Washington secara sadar tidak lagi mencalonkan diri jadi presiden untuk yang ketiga kali karena tidak ingin meninggalkan preseden buruk dalam perpolitikan Amerika Serikat.  Praktik tersebut dipatuhi oleh semua presiden Amerika Serikat, sampai Franklin D. Rosevelt melampauinya.

Melihat norma konvensional demokratis tersebut mulai bengkok (Franklin D. Rosevelt terpilih empat kali),  akhirnya ketentuan tersebut diperjelas di dalam konstitusi Amerika Serikat dan bertahan sampai hari ini. Kongkres di sana berjuang menjaga denyut  demokrasi dari kegenitan kekuasaan eksekutif.



Beberapa dekade belakangan  kekuasaan tersebut semakin diperjelas keterujian representasinya dengan ditetapkannya midterm election.  Dua tahun setelah presiden menjabat, diadakan pemilihan anggota house of representative untuk menguji kadar approval publik terhadap ruling party,  apakah bertambah atau berkurang.

Hasilnya bisa menjadi bahan evaluasi kinerja bagi penguasa terpilih.  Sejarah telah membuktikan  pada awalnya elite-elite politik yang frustrasi dengan dinamika demokrasi pelan-pelan membuka pintu kepada elite-elite yang berpeluang menjadi diktator.

Soekarno didapuk menjadi presiden seumur hidup, sehingga pada tahun 1959 muncul dekrit presiden sebagai awal pemberangusan kekuasaan parlemen yang dipilih rakyat (demokrasi terpimpin/guided democracy). Di Italia,  Raja Vittoro Emanuel III mengundang Musolini ke panggung kekuasaan setelah insiden kemeja hitam yang terkenal itu dan buahnya adalah fasisme El Duce yang keji.

Keputusan tersebut bahkan didukung pula oleh elite seperti Giovani Giolitti dan Antonio Salandra.  Pola yang sama juga dilakukan Paul von Hindenburg II yang menganggap solusi stagnasi ekonomi dan kebuntuan demokrasi Jerman adalah sang Hitler yang masih dipenjara kala itu.

Begitu pula dengan keputusan seorang pendiri demokrasi Venezuela,  Rafael Caldera, yang menganggap Hugo Chaves sebagai solusi buat Venezuela. Buahnya tak jauh berbeda,  rusaknya tatanan demokrasi di negara tersebut.  Jadi berhati-hatilah dengan isu ”periode ketiga” itu.

Sejarah membuktikan peluang melonggarkan kekuasaan adalah sumber awal kehancuran demokrasi sebagaimana terjadi dengan Musolini,  Hitler,  Chaves,  Fujimori,  Saddam,  dan banyak lagi,  yang justru semuanya berawal dari  kotak suara. Sekali lagi, jangan memojokkan atau menggoda Joko Widodo dengan istilah ”tiga periode” itu.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya