SOLOPOS.COM - Rudi Supriyadi, pengelola kedai jamu tradisional Jamu Ginggang yang juga merupakan generasi penerus kelima. - Harian Jogja/Lajeng Padmaratri

Solopos.com, JOGJA — Masyarakat Kota Jogja memang terkenal kuat dalam mempertahankan tradisi atau warisan nenek moyang. Hal itu dilihat dari banyaknya makanan atau minuman khas Jogja yang resepnya berasal dari warisan nenek moyang, salah satunya adalah Jamu Ginggang.

Jamu Ginggang tak berbeda dari jamu tradisional pada umumnya. Minuman ini diracik dari aneka rempah-rempah seperti kencur, kunyit, temu lawak dan lain-lain

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun yang membedakan jamu ini dari jamu lainnya adalah racikannya. Resep asli Jamu Ginggang berasal dari racikan seorang abdi dalem yang biasa menyajikan jamu untuk keluarga Pura Pakualaman.

Baca juga: Jamu Gendong AntiCovid-19 Asal Wedi Klaten Laris Manis di Pasaran

Ekspedisi Mudik 2024

Di Kota Jogja ada satu warung yang menyajikan jamu racikan abdi dalem Pura Pakualaman ini. Warung itu terletak di sebuah kios di sebelah barat Pura Pakualaman, tepatnya di Jalan Masjid Nomor 32, Gunungketur, Pakualaman, Kota Jogja.

Untuk menemukan warung ini tidaklah sulit. Warung ini ditandai dengan sebuah bangunan klasik menghadap utara, dengan papan bertuliskan “Ginggang”. Untuk menikmati Jamu Ginggang pun pengunjung tidak perlu membayar mahal. Satu gelas jamu Ginggang dibanderol Rp4.000.

Warung jamu itu buka sejak pagi hingga malam hari. Pengunjungnya pun bermacam-macam kalangan, mulai dari tua hingga muda.

Seabad

Beberapa tahun lagi, Jamu Ginggang akan mencapai usianya yang seabad. Kendati demikian, jamu yang disajikan masih sama seperti dulu, yakni jamu yang biasa disajikan untuk keluarga Pura Pakualaman.

Pengelola Jamu Ginggang, Rudi Supriyadi, 57, mengatakan resep jamu Ginggang berasal dari kakeknya yang merupakan abdi dalem Pura Pakualaman, Mbah Joyo.

Mbah Joyo, kata Rudi, sudah sejak 1927 meracik jamu untuk keluarga Pura Pakualaman karena bertugas sebagai tabib.

“Saat itu, simbah saya meracik jamu hanya untuk keluarga Kadipaten. Lalu KGPAA Paku Alam VII memperbolehkan menjual ke masyarakat umum. Jangan dibayangkan warung seperti sekarang, dulu hanya emplek-emplek di pinggir jalan. Tapi dulu malah yang minum banyak dari kalangan sinyo-sinyo [orang Belanda] itu,” ungkap Rudi.

Baca juga: Pengembangan Wisata Kuliner Jogja, Pemkot Gandeng Kemenpar

Rudi mengatakan nama Jamu Ginggang berasal dari istilah “tansah renggang”, yang artinya tidak ada jarak. Hal ini untuk menggambarkan hubungan masyarakat dengan bangsawan Keraton Yogyakarta yang tidak ada jarak. Hal itu terwujud dari diperbolehkannya masyarakat umum di luar keraton untuk mengonsumsi resep ramuan tradisional tersebut.

Kini, kedai jamunya yang buka setiap hari itu dikunjungi oleh berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga orang tua. Sebelum pandemi, pemandangan bule datang ke Jamu Ginggang menjadi hal yang biasa. Kini, hal itu tidak ada lagi.

“Sekarang yang datang lokalan saja. Malah semenjak pandemi ini yang datang banyak anak mudanya. Saya mengapresiasi mereka sudah paham manfaat jamu tradisional,” kata anak keenam dari 7 bersaudara itu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya