SOLOPOS.COM - Ilustrasi korban KDRT. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO — Belum reda sorotan publik pada kasus pemerkosaan mahasiswa yang berakhir dengan bunuh diri di pusara ayahnya di Mojokerto, Jati,. Kini, masyarakat digemparkan dengan kasus serupa yang menimpa sejumlah santri di pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat menjelang akhir 2021.

Sederet kasus memilukan itu menempatkan perempuan sebagai korban kekerasan seksual dan masih lemahnya penegakan hukum. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di lingkungan kerja, melainkan lembaga pendidikan, bahkan lingkungan rumah tangga.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Berdasarkan data dari LSM Solidaritas Perempuan untuk Perempuan dan Hak Asasi Manusi (Spek-Ham), kasus kekerasan terhadap perempuan level nasional pada 2018 mencapai 406.178 orang. Setahun kemudian, angka tersebut melonjak menjadi 431.471 orang.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Perempuan-Anak Karanganyar Tinggi, P2TP2A Turun Tangan

Ekspedisi Mudik 2024

Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan menurun yakni sebanyak 299.911 orang. “Khusus 2020, menurut saya, bukan angka sesungguhnya karena masih masa pandemi Covid-19,” kata seorang pegiat LSM Spek-Ham, Rahayu Purwa, saat jumpa wartawan di Hotel Red Chili, Solo, Sabtu (8/1/2022).

Rahayu menyebut penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan bisa karena beberapa faktor. Di antaranya korban sangat dekat dengan pelaku selama pandemi, korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam, persoalan literasi teknologi dan model layanan pengaduan yang belum siap.

Sebagian besar korban justru mengadu ke Komnas Perempuan yang tidak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan lantas menyerahkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan kepada instansi terkait di daerah termasuk Spek-Ham.

Baca Juga: Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Sleman Paling Banyak Terjadi di Rumah

“Belum ada model layanan seperti hotline yang beradaptasi dengan kondisi riil. Kasus seperti ini berulang kali terjadi,” ujar dia.

Catatan LSM Spek-Ham, kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Solo mengalami kenaikan signifikan selama periode 2017-2020. Kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017 sebanyak 43 kasus. Kasus kekerasan anak naik pada 2018 dan 2019 masing-masing 58 kasus dan 62 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan kembali melonjak tajam pada 2020 sebanyak 85 kasus.

Rahayu menyebut ada beragam jenis kekerasan terhadap perempuan seperti fisik, psikis, seksual, penelantaran, perdagangan manusia hingga eksploitasi. “Catatan kami, angka kekerasan dalam ruamh tangga (KDRT) konsisten tertinggi di Jawa Tengah,” ujar dia.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Perempuan-Anak Karanganyar Tinggi, P2TP2A Turun Tangan

Bentuk KDRT berupa kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit, kekerasan psikis yang mengakibatkan rasa ketakutan dan rasa tidak berdaya, serta kekerasan seksual. Korban kekerasan terhadap perempuan tak hanya mendapat perlindungan dan pendampingan mental melainkan aspek kesehatan dan sosial.

Selama ini, beragam kasus kekerasan terhadap perempuan kerap tidak tuntas. Penegakan hukum terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan kerap jalan di tempat. “Ancaman hukumannya maksimal empat bulan penjara. Rasa traumatik korban hanya sia-sia karena hukuman pelaku tidak berat,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya