SOLOPOS.COM - Ilustrasi persekusi (dailytimes.pk)

Youngers, kata “persekusi” belakangan ini marak kita baca dan dengar di berbagai media. Istilah ini merebak setelah baru-baru ini seorang remaja berumur 15 tahun di Cipinang Muara, Jakarta Timur, menjadi viral di media sosial. Ia diduga menjadi korban persekusi oleh anggota ormas. Polisi pun menindak kasus yang beredar melalui video itu.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi memiliki arti perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah waga untuk disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Maraknya persekusi menurut sebagian orang adalah imbas dari kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sehingga banyak yang menyebut tindakan tersebut sebagai Efek Ahok atau The Ahok Effect. Dalam kasus ini, persekusi berarti perburuan sewenang-wenang terhadap individu atau warga oleh sekelompok orang atau pihak.
Individu atau warga tersebut dianggap telah melakukan penghinaan terhadap ulama atau seseorang dan agama. Secara garis besar, pola persekusi dalam kasus yang muncul belakangan ini adalah pertama, pemburuan identitas pelaku dugaan hate speech. Kedua mengintruksikan massa untuk memburu target yang identitas, foto, dan alamatnya telah diketahui. Setelahnya diikuti pola ketiga yakni aksi penggerudukan ke kediaman/kantor terduga pelaku. Keempat, terduga pelaku bakal diminta menandatangani permintaan maaf bermaterai. Pada proses tersebut sekelompok orang itu biasanya merekam (yang lantas disebarkan). Pola berikutnya, terduga pelaku juga bisa digelandang ke kepolisian untuk dijerat pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Pasal 156a KUHP.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Aksi persekusi ini lebih marak terjadi di media sosial (medsos), seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Ajakan melakukan persekusi pun menjadi gejala yang meresahkan akibat perbedaan pemahaman. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, mengatakan pelaku persekusi dapat terkena hukuman pidana karena juga dianggap melanggar UU ITE.

Mengutip situs Kominfo, Rabu (7/6), Rudiantara menjelaskan sesuai dengan UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU ITE Nomor 11/2008, melakukan tindakan mengancam dan menakut-nakuti pada pribadi dapat dikenakan sesuai dengan pasal 27 ayat 4 dan diatur sanksinya dalam Pasal 45. Sementara Pasal 27 ayat 4, berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”. Pada Pasal 45 tertulis hukuman maksimal adalah 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp miliar.

Rudiantara mengimbau kepada masyarakat agar tidak lantas dengan mudah menebarkan pesan-pesan yang diviralkan yang isinya untuk melakukan ancaman. Sementara untuk penanganan akun-akun yang menyebarkan ancaman persekusi, Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan aparat kepolisian.

Lebih lanjut, dikatakannya bila ada orang kedapatan dapat memicu kebencian, penghinaan atau pencemaran nama baik, lebih baik lewat prosedur hukum, bukan main hakim sendiri. Pria yang disapa Chief RA ini berharap masyarakat dengan bijak menggunakan media sosial dan tidak perlu membagikan informasi yang tidak jelas yang mengundang kegaduhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya