SOLOPOS.COM - Sumber: presentasi Ignatius Haryanto

Solopos.com, SOLO – Salah seorang tokoh pers Indonesia yang selalu disebut ketika membahas sejarah perkembangan pers Indonesia setelah kemerdekaan adalah Mochtar Lubis. Pertanyaan mendasar dalam konteks kiwari adalah apakah realistis membayangkan jurnalis seperti Mochtar Lubis pada situasi saat ini?

Pertanyaan berikutnya, apakah realistis membayangkan ada institusi pers seperti Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis pada situasi sekarang? Jikalau Mochtar Lubis masih hidup, apa kritik utama dia kepada pemerintahan sekarang?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jikalau Mochtar Lubis masih hidup, siapa saja yang akan kena kritiknya hari ini? Jikalau Harian Indonesia Raya masih terbit, apakah tradisi menulis April Mop akan terus berjalan? Pertanyaan-pertanyaan itu dikemukakan peneliti media dan pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, dalam diskusi daring mengenang 100 tahun Mochtar Lubis. Penjelasan lengkap tersaji di Menelaah dan Memaknai Jurnalisme ala Mochtar Lubis pada Era Kiwari.

Ekspedisi Mudik 2024

Perairan Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, diselimuti cairan cokelat berbentuk seperti gel yang diduga ingus laut atau lendir laut (sea-snot) akibat perubahan iklim sejak Rabu (27/4/2022). Fenomena serupa pernah terjadi di Laut Marmara, Turki, pada tahun lalu. Cairan tersebut tidak berbau minyak dan tidak bercampur sempurna dengan air laut.

Di sekitar area pencemaran ditemukan beberapa ikan dalam keadaan mabuk, bahkan mati. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bima melalui Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menjelaskan hasil pengamatan sementara perihal fenomena cairan mirip busa jeli (jelly foam) berwarna cokelat susu yang mengambang di permukaan perairan Teluk Bima. Duduk perkara bisa dibaca di Viral! Ingus Laut di Teluk Bima dan Turki, Alarm Perubahan Iklim.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, golongan oposisi kiri menjadikan Kota Solo sebagai wild west atau daerah liar untuk mengalihkan perhatian guna merebut kekuasaan. Seorang anggota tentara pelajar menyebut saat itu seorang suporter sepak bola saja membawa senapan saat menyaksikan pertandingan sepak bola antarkampung.

Peristiwa paling menonjol pada era wild west di Solo itu antara lain pembunuhan Panglima Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto serta penculikan dan pembunuhan dr. Moewardi. Julianto Ibrahim dalam Bandit Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta (2004) menjelaskan masa-masa itu. Cerita lengkap bisa dibaca di Solo Wild West ala Koboi, Nonton Sepakbola Bawa Senapan.

Jumlah penonton televisi (TV) terus merosot dari tahun ke tahun. Migrasi ke TV digital dan perbaikan kualitas program siaran diharapkan meningkatkan jumlah penonton TV. Kemajuan teknologi membuat perubahan gaya hidup orang Indonesia, termasuk dalam menggunakan media.

Hal itu pun tercermin dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan mayoritas orang Indonesia paling sering menggunakan media berbasis Internet, mulai dari media sosial, Whatsapp, hingga laman berita daring. Data lengkap tersaji di Jumlah Penonton TV Sudah Menurun Sebelum Migrasi TV Digital Dimulai.

Konten-konten premium di kanal Espos Plus menyajikan pembahasan dengan sudut pandang tajam, komprehensif, dan berdata lengkap. Konten premium berupaya menyajikan jurnalisme yang berkualitas. Silakan mendaftar terlebih dulu untuk mengakses konten-konten premium tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya