SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ahmad Djauhar (JIBI/SOLOPOS/dok)

Sebagai umat Islam, merupakan anugerah luar biasa apabila beroleh kesempatan menyambut dan melaksanakan kegiatan ibadah di bulan Ramadan. Betapa tidak. Di bulan yang amat menjanjikan itu, kesempatan terbuka lebar bagi setiap pemeluk Islam untuk memperbanyak amal demi memperoleh semaksimal mungkin karunia, berkah, bahkan ampunan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selain menjalani ibadah puasa atau pengekangan diri serta ”menambang” sebanyak mungkin pahala, Ramadan juga merupakan bulan penyadaran bagi siapa pun, tak peduli dia seorang pemulung sampah, pekerja profesional, seorang pejabat tinggi atau bahkan tertinggi suatu negara, untuk merenung, mengingati, serta mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan selama ini.

Terlebih bagi para penyelenggara negara yang tak lain adalah pengemban amanah rakyat, Ramadan merupakan saat tercantik untuk tidak hanya berkontemplasi, melainkan menyadari sepenuh hati mengapa dirinya saat ini dapat menduduki posisi atau amanah tersebut. Sudahkah dia—yang selama ini mengambil haknya—telah menjalani kewajiban yang dipikulnya dengan konsisten?

Mengapa sebagai penyelenggara negara dirinya tidak, atau belum, berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan rakyat dari kungkungan kemiskinan, ketidakmampuan memperoleh akses pendidikan dan kesehatan yang layak, serta jauh dari jangkauan rasa aman dan adil ketika menghadapi masalah hukum?

Saat ini, seperti terpapar di berbagai media massa, begitu banyak penyelenggara negara yang justru mengambil keuntungan demi dirinya sendiri dan/atau kelompoknya. Di mana ada kesempatan, selalu berusaha untuk memperoleh bagiannya terlebih dahulu, meski dia/mereka ini sepenuhnya sadar belum tentu bagian tersebut merupakan haknya.
Justru tidak jarang mereka ini mengetahui dengan pasti sebuah program yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi tidak didorong dengan sepenuh hati agar anggarannya segera cair. Dengan berbagai cara, yang tentunya tidak halal, seseorang (atau bahkan beberapa orang) penyelenggara negara berusaha menghambatnya hingga yakin bahwa dia (mereka) kebagian persentase dari program tersebut.

Seorang rekan, pelaksana berbagai proyek pemerintah, mengeluhkan betapa praktik penggelembungan nilai proyek kini semakin gila-gilaan. ”Untuk proyek pengadaan peralatan impor, terutama, karena tidak ada produk padanannya di dalam negeri, mereka bisa seenaknya menaikkan harga beli. Contoh untuk produk yang seharusnya Rp 1 miliar, bisa dibengkakkan menjadi Rp 5 miliar. Edan betul.”

Tidak sulit untuk memahami bagaimana seorang mantan pengurus inti sebuah partai politik (Parpol) penguasa bisa terlibat dalam ratusan proyek berbasis APBN, sehingga dijuluki sebagai ”menteri pekerjaan umum bayangan”, karena dia benar-benar bertindak sebagai pengendali anggaran banyak proyek pemerintah. Dengan kekuasaan sebagai orang kuat Parpol—yang sedikit banyak tentu digunakan sebagai senjata untuk menekan berbagai kontraktor pelaksana aneka proyek itu—tidak sulit memperoleh saham fiktif penggarapan proyek-proyek tersebut. Sedikit banyak pula, sang operator lapangan ini tentu saja menyetor hasil ngobyek-nya itu ke pundi-pundi Parpol, sehingga Parpol memiliki dana yang cukup atau bahkan berlebih untuk membiayai program pencitraan tokoh-tokohnya.

Tentu saja pencari rente pembangunan nasional seperti itu sudah lupa bahwa Parpol tempatnya berkiprah itu seharusnya memiliki tugas utama untuk mengangkat bangsa ini dari keterbelakangan. Karena dana itu diperoleh secara tidak halal, maka virus lupa-amanah tadi pun menjangkiti hampir semua pengurus Parpol.

Tak kunjung maju
Pola umum seperti itu ternyata dipraktikkan pula oleh Parpol lain, sehingga tidak heran mengapa dari dulu hingga sekarang pembangunan bangsa ini tidak kunjung maju, karena ratusan triliun rupiah dana yang seharusnya dapat untuk memajukan serta menyejahterakan rakyat digarong oleh kepentingan segelintir orang.

Merujuk taksiran begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo beberapa tahun silam, tingkat kebocoran anggaran pembangunan di Indonesia sekitar 30%. Artinya, jika nilai APBN 2011 ini sekitar Rp 1.200 triliun, dapat diperkirakan Rp 400 triliun di antaranya tidak sampai sasaran karena digerogoti oleh para koruptor.

Hal yang lebih mengherankan adalah banyak di antara penyelenggara negara yang menganggap kebocoran seperti itu biasa-biasa saja, dan mereka pun akhirnya ikut beramai-ramai menjarahnya. Tidak sedikit di antara mereka ini yang semasa mahasiswa aktif mengecam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) orang-orang pemerintahan. Tapi, begitu mereka menduduki kursi penyelenggara negara, seakan lupa idealisme memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka kini setali tiga uang dengan pihak yang dulu mereka serang itu. Sejarah senantiasa berulang. Tidak sedikit di antara pelaku KKN tersebut yang dulunya sangat vokal menentang praktik laknat itu.

Bahkan, di antara mereka kini menjadi kaya raya hanya karena aktif sebagai pengurus atau cuma anggota Parpol tanpa memiliki pekerjaan tetap. Kekayaan mereka sangat tidak wajar apabila diperhitungkan dari pendapatan mereka yang semata-mata dari aktivitas sebagai penyelenggara negara. Mereka menjadi kaya raya, tapi perikehidupan rakyat yang pernah mereka suarakan itu tetap saja memrihatinkan.

Karena itu, momentum Ramadan inilah saat terbaik untuk menyadari betapa jalan yang mereka tempuh selama ini mungkin tidak lurus. Selalu masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri, sehingga pada gilirannya mampu memenuhi tugasnya sebagai pengemban amanah rakyat. Bukankah semua kelak harus mempertanggungjawabkan perilaku selama hidup ini di hadapan Tuhan?

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya