SOLOPOS.COM - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Penny Kusumastuti Lukito (depan) seusai konvensi nasional Kemandirian Nasional dalam Penyediaan Bahan Baku Obat Bahan Alam sebagai Upaya Peningkatan Mutu dan Daya Saing Produk dan Grand Launching Virtual Expo IEBA di Best Western Solo Baru, Sukoharjo, Kamis (4/8/2022). (Solopos.com/ Magdalena Naviriana Putri).

Solopos.com, SUKOHARJO – Pengusaha jamu di Indonesia soroti pemenuhan bahan baku obat alam dan juga kualitas produk yang ada di dalam negeri. Mengingat sebanyak 25% bahan baku obat bahan alam di Tanah Air masih harus mengimpor dari luar negeri.

Direktur PT Industri Jamu Borobudur Rachmat Sarwono, mengatakan masih banyak yang harus dipenuhi agar Indonesia menjadi negara pengekspor berstandar internasional. Di antaranya berkaitan dengan penyimpanan dan pengeringan bahan baku obat alam.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

“Kalau penyimpanannya bagus otomatis standar kita bisa tinggi dan negara yang rewel tentang bakteri bisa menerima,” jelas Rachmat.

Hal itu disampaikan saat konvensi nasional Kemandirian Nasional dalam Penyediaan Bahan Baku Obat Bahan Alam sebagai Upaya Peningkatan Mutu dan Daya Saing Produk dan Grand Launching Virtual Expo IEBA di Best Western Solo Baru, Sukoharjo, Kamis (4/8/2022).

“Di China, jamu yang sudah kering rempah-rempahnya kalau ekspor tidak jalan disimpan di temperature 16 derajat umur bahan bisa bertahan lebih dari satu tahun. Tetapi kalau di Indonesia umurnya pendek,” tambah dia.

Baca juga: Belum Mandiri, Indonesia Bergantung Impor Bahan Baku Obat Bahan Alam

Berdasarkan pengalamannya mengekspor ke beberapa negara, Jepang menjadi negara yang sulit menjadi destinasi ekspor. Hal itu berkaitan dengan mutu dan kualitas Indonesia yang harus sesuai standar internasional.

“Kami yang paling banyak [destinasi ekspor ke] Rusia dan Jepang. Jepang tidak gampang lo, rewel sekali. Menurut pemeriksaan dia kalau tidak sesuai standar harus di reject. Reject-nya bukan dikembalikan lo, tetapi dimusnahkan,” keluhnya.

Namun, jika produk sudah diterima di Jepang hingga tiga kali pengiriman, pemeriksaan selanjutnya tidak terlalu ketat.

Rachmat berharap pembibitan dan penanaman terus bisa dikembangkan.

“Kalau bisa terus dikembangkan, seperti tanaman yang bermanfaat jangan hanya di kebun. Misalnya di pinggir jalan bukan hanya ditanam bunga tetapi bisa juga ditanami pohon-pohon yang bisa dijadikan obat jamu,” jelasnya.

Baca juga: Kekinian Banget! Kafe Di Pasar Nguter Sukoharjo Ini Sajikan Jamu Dengan Nama-Nama Unik

Sementara itu Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Bahan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Yuli Widiyastuti mengatakan selain berkaitan dengan ekspor bahan baku obat alam di Indonesia juga masih impor sebanyak 25%.

“Kami siap mendukung [kemandirian bahan baku] mengingat potensinya besar, 25% [import bahan baku] bisa kita gantikan dengan short change. Dengan potensi Indonesia saya kira itu perlu di dukung dari proses budidaya hingga pascapanen. Juga teknologi ektraksi yag ramah lingkungan,” kata Yuli.

Sementara itu, Periset BRIN, Chaidir mengatakan permasalahan teknologi sudah cukup selesai. Namun permasalahan saat ini berkaitan dengan tata niaga karena margin ke petani masih terlalu kecil sehingga perlu diatur bagaiman model ekonominya.

“Salah satunya insiatif dengan pola kemitraan IEBA [industri ekstrak bahan alam] dengan UMKM [usaha mikro kecil dan menengah] yang menyediakan bahan baku simplisia [bahan alam untuk obat]. Saya kira inisiatif ini sudah paling bagus, dengan pola logistik terpusat dengan sistem anchor industry,” kata dia.

Jika persoalan tata niaga bisa di kelola, hal itu dapat membantu mencapai mutu anchor industry dengan harga yang menguntungkan untuk petani. Menurutnya jika sudah masuk dalam aspek bisnis, pasar menentukan keberjalanan.

Baca juga: Mengemuka di Semarang, Impor Obat Tradisional Lebih Besar Ketimbang Ekspor

“Kalau industri sudah membina UMKM itu sudah bagus dan ideal. Tetapi kalau terus di support oleh pemerintah tetapi mekanisme pasar tidak berjalan ya akan mati juga,” jelasnya.

Sementara, untuk mengurangi beban IEBA dia berharap pemerintah turut mendorong dan mendukung secara regulasi terkait status Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

Sehingga tidak hanya kalangan swasta tetapi unit UPT atau koperasi atau penelitian dan pengembangan (litbang) daerah bisa memiliki fasilitas ekstrak bahan alam yang memiliki sertifikasi CPOTB seperti Good Manufactory Proses (GMP).

Biasanya yang mendapat sertifikat itu hanya swasta sementara menurutnya di daerah, pemerintah daerah harus bertindak membangun unit bisnis yang lebil dinamis dan bukan berbentuk birokrasi.

Baca juga: Masyarakat Makin Percaya Produk Herbal

“Untuk bisnis seperti UPT, BUMD [badan usaha milik desa] dan litbang daerah yang bisa membangun itu dan Dinkes memberi izin untuk menjual ke UKM [usaha kecil dan menengah]. Tidak harus menunggu IEBA yang skala besar yang penting bahan baku simplisia,” kata dia.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya