SOLOPOS.COM - Siswa mengenakan baju ada saat mengikuti fashion show,di halaman SD Negeri Kepatihan Solo, Kamis (18/4/2024). Kegiatan yang diikuti 136 siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 6 dan sejumlah guru tersebut dalam rangka memperingati Hari Kartini. (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Solopos.com, SOLO — Peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April mengingatkan pada sosok seorang pejuang emansipasi perempuan bernama Raden Ajeng Kartini.

Kartini yang lahir 21 April 1879 merupakan sosok perempuan yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ayah Kartini bernama R.M.A.A. Sosroningrat sedangkan ibunya adalah M.A. Ngasirah.

Ibunda Kartini merupakan istri pertama Sosroningrat namun bukan yang utama karena peraturan pemerintah kolonial kala itu mengharuskan seorang bupati beristri bangsawan.

Sosronigrat kemudian menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam).

Perkawinan Sosroningrat dengan Ngasirah melahirkan delapan anak yakni R.M. Slamet Sosroningrat; P. Sosroboesono; R.M. Panji Sosro Kartono; R.A. Kartini; R.A. Kardinah; R.M. Sosro Mulyono; R.A. Sumatri Sosrohadi Kusumo, R.M. Sosrorawito.

Sementara perkawinan Sosroningrat dengan Moerjam melahirkan tiga anak yakni R.A. Sulastri Hadisosro; R.A. Roekmini dan R.A. Kartinah.

Saudara-saudara Kartini kemudian tercatat sejarah tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan besar bagi cita-cita perdamaian dan kemajuan bangsa.

Kakaknya Sosroboesono menjadi Bupati Ngawi, Jawa Timur yang dikenal sebagai pionir pertukangan di daerahnya.

Sementara itu Sosrokartono terkenal karena kemampuan intelektualnya yang berkaliber internasional.

Ia pernah menjadi koresponden majalah Times, Chicago Daily News, dan New York Herald Tribune.

Sosrokartono juga dikenal sebagai tokoh yang selalu menyuarakan perdamaian di Eropa melalui kongres-kongres dan seminar di Eropa.

Pahlawan Nasional

Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan (SK) Presiden RI Nomor 108/5/1964.

Tanggal lahirnya juga ditetapkan sebagai hari nasional.

Lahir pada 21 April 1879, Kartini meninggal dunia di usia muda yakni 25 tahun pada 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah.

Tentang sosok pahlawan nasional yang meninggal di usia sangat muda yakni 25 tahun itu bisa dibaca dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan kumpulan pemikiran perempuan ningrat asal Jepara, Jawa Tengah itu.

Buku tersebut diterbitkan oleh sahabat Kartini di Belanda, JH Abendanon, dari kumpulan surat Kartini pada awal abad ke-20 sejak gadis Jepara itu masih berusia 10 tahun.

Buku berjudul asli Door Duisternis tot Licht diterbitkan pada tahun 1911, sebagai bentuk penghargaan luar biasanya untuk sang sahabat yang meninggal di usia sangat muda.

Buku tersebut lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Sementara itu Agnes Louise Symmers menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princes.

Saat berpulang seusai melahirkan anak pertamanya tersebut, masih banyak cita-cita Kartini soal emansipasi perempuan di Indonesia yang belum terwujud.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang akhirnya menjadi mahakarya sastra yang sangat berharga bagi sejarah pergerakan emansipasi perempuan di Indonesia.

Dikutip dari sejumlah literatur, Kartini yang lahir pada tahun 1879 adalah seorang wanita Jawa yang hidup pada masa ketika perempuan masih sangat terbelakang dan terkungkung dalam tradisi patriarki.

Kartini mengekspresikan kegalauannya itu dalam surat-suratnya kepada sejumlah sahabatnya di Eropa, terutama kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminisme yang tinggal di Belanda.

Dalam surat-suratnya, Kartini mengekspresikan keinginan dan impian untuk menjadi wanita modern yang bisa belajar dan berkarya di luar rumah seperti halnya kaum laki-laki tanpa harus terbatasi oleh tradisi dan budaya.

Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal.

Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang
inferior bila dibandingkan kaum laki-laki.

Surat-surat Kartini mengeksplorasi tentang kondisi pendidikan untuk kaum perempuan pada masa itu yang masih sangat memprihatinkan.

Stigma yang mengakar kuat kala itu, perempuan diidentikkan dengan sumur (mencuci), dapur (memasak) dan kasur (seksual) sehingga tak pernah mendapatkan pendidikan tinggi.

Peranan wanita hanya berkutat pada tiga hal macak (bersolek), masak (memasak) dan manak (melahirkan).

Perempuan diistilahkan sebagai kanca wingking (teman di belakang), yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang.

Karena stigma marjinal tersebut, bagi masyarakat Jawa ketika itu wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.

“Itu yang didobrak Kartini. Bagi Kartini, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kebebasan bagi wanita Indonesia di masa mendatang,” tulis Sudrajat, peneliti sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), seperti dikutip Solopos.com dari karyanya berjudul Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya, Sabtu (20/4/2024).



Kartini juga mengkritik tradisi Jawa yang dianggap merugikan perempuan seperti adat poligami dan perjodohan yang sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keinginan perempuan yang bersangkutan.

Gadis di usia belasan tahun dijodohkan oleh orang tua mereka dengan laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya.

Surat-surat yang ditulis oleh Kartini, sebagaimana digambarkan dalam buku Buku Habis Gelap Terbitlah Terang, memperlihatkan kecerdasan, keberanian, dan kegigihan seorang wanita muda yang ingin berjuang untuk hak-haknya.

Kartini menunjukkan keberaniannya mengkritik budaya patriarki Jawa yang sangat mengatur hidup wanita Indonesia.

Kegigihan mendiang Kartini ini yang membuat pemerintah menghadiahinya gelar pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Buku ini juga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan sosial dan budaya Indonesia pada awal abad ke-20, serta memberikan gambaran tentang sejarah perjuangan perempuan Indonesia.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang banyak dikupas oleh berbagai tulisan baik dari Indonesia maupun mancanegara.

Salah satu pembahasan terbaik adalah The Letters of R.A. Kartinic A Pioneer in the Emancipation of Indonesian Women yang ditulis oleh Agnes Louise Symmers.

Pembahasan lainnya ditulis oleh Harsja W. Bachtiar, Kartini: The Complete Works yang ditulis oleh Joost Coté.



Tragedi Kartini

Sejarawan UNY Sudrajat mengatakan refleksi kritis Kartini tentang keadaan kaum wanita pada zamannya merupakan embrio tumbuhnya nasionalisme meskipun sifatnya masih samar.

Kartini dalam surat-suratnya menyebut, keadaan wanita Indonesia pada zaman itu sangat memprihatinkan karena terbelenggu oleh hukum adat yang sangat bias terhadap gender.

Pada zaman Kartini wanita merupakan makhluk inferior bila dibandingkan pria.

“Mereka tidak diperkenankan untuk tampil dalam kegitan-kegiatan publik. Mereka juga tidak mendapat pendidikan secara layak. Di samping itu adanya kawin paksa merupakan sebuah pemberangusan terhadap kebebasan gadis-gadis untuk menentukan sendiri calon suaminya,” katanya.

Kartini juga mengkritisi maraknya poligami yang dilakukan oleh para bangsawan Jawa pada masa tersebut, termasuk ayah dan kakak-kakaknya.

Menurut Kartini itu semua merupakan sebuah konstruk budaya yang sangat tidak adil.

Sayangnya Kartini sendiri tidak berdaya untuk menghadapi semua keadaan tersebut. Ia harus memendam keinginannya untuk melanjutkan studinya ke Eropa hingga akhir hidupnya.

Kartini juga harus menjalani masa pingitan serta menikah dengan laki-laki yang merupakan pilihan orang tuanya.

“Inilah dilema perjuangan Kartini, di mana dia harus mengalahkan komitmen dan idealismenya demi menjaga
keharmonisan dengan ayahnya,” lanjut Sudrajat.



Meski harus wafat di usia muda dengan cita-cita yang belum tercapai, setidaknya generasi sekarang bisa mengambil pelajaran dari pemikiran Kartini tentang nasionalisme.

Nasionalisme Kartini bisa dilihat dari idenya meningkatkan derajat bangsa, solidaritas sosial serta persatuan di antara kaum muda.

Nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam surat-suratnya.

Dalam suratnya berbahasa Inggris kepada sahabat penanya yang tinggal di Eropa, Stella Zeehandelaar pada tanggal 12 Januari 1900, Kartini mengutip pandangan ayahnya dalam sebuah nota yang dikirimkan kepada
pemerintah Hindia Belanda.

“Ayah mengatakan dalam catatannya bahwa pemerintah tidak bisa menyediakan nasi untuk setiap orang Jawa, dan memastikan bahwa ia mampu mengambil bagian di dalamnya. Tapi itu bisa memberinya sarana untuk mencapai tempat itu dia bisa menemukan makanannya. Sarananya adalah pendidikan. Ketika pemerintah menyediakan sarana pendidikan bagi masyarakat, ibaratnya meletakkan obor di tangan mereka yang mana memungkinkan mereka menemukan jalan bagus yang menuju ke tempat di mana nasi disajikan. Dari situ Anda akan belajar sesuatu tentang kondisi masyarakat saat ini. Ayah ingin melakukan apapun yang dia bisa untuk membantu orang-orang dan tentu saja, saya ikut serta di sisinya,” tulis Kartini seperti dikutip Hildred Geertz dalam bukunya berjudul Letters of A Javanese Princess: Raden Adjeng Kartini” tahun 1964.

Di mata Kartini, satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan pendidikan.

Menurut Kartini, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan lain-lain berakar dari ketidaktahuan masyarakat tentang cara menghadapinya.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk meningkatkan derajat hidupnya. Oleh karenanya pendidikan mutlak dibutuhkan untuk membuka cakrawala pemikiran bangsa ini dan sekaligus memberdayakan rakyat untuk kesejahteraan dan kemakmurannya sendiri.

“Oleh karenanya Kartini kemudian sangat antusias mendirikan sekolah khususnya sekolah wanita,” kata Sudrajat.



Indonesia pantas berterima kasih kepada JH Abendanon yang mengabadikan pemikiran-pemikiran Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht).

Sebab jika tidak, generasi sekarang takkan pernah tahu tentang pemikiran dari pejuang emansipasi perempuan Indonesia tersebut.

Tanpa adanya buku tersebut, Kartini takkan diketahui pernah memperjuangkan emansipasi.

Kartini hanya akan menjadi seperti perempuan-perempuan lain di masa itu, yang lahir lalu menikah di usia muda lalu meninggal dunia.

Kartini menjalani nasib dari apa yang ditentangnya tersebut. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi karena tidak mendapat izin dari orang tua.

Praktis sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan hanya sampai di Europese Lagere School yang membuatnya pandai berbahasa dan sastra Belanda.

Ia langganan membaca surat kabar yang terbit di Semarang, De Locomotief; membaca buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli; serta De Stille Kracht karya Louis Coperus.

Di saat yang sama, meski baru berusia 12 tahun Kartini sudah rutin menulis untuk majalah perempuan yang terbit di Belanda bernama De Hollandsche Lelie.

Hingga akhir hayatnya, cita-cita Kartini untuk melajutkan sekolahnya ke Belanda tak pernah tercapai.

Sang ayah tidak mengizinkan Kartini sekolah di Belanda, kendati dirinya mendapat dukungan dari rekan-rekan penanya di negara tersebut, terutama Stella Zeehandelaar.

Kartini juga mengalami nasib seperti perempuan-perempuan sebayanya di masa itu, yakni menjalani masa pingitan sebagai persiapan menikah di usia 11 tahun.

Laki-laki yang kemudian menjadi suaminya juga merupakan pilihan ayahnya yang tidak ia kenal sebelumnya.

Suryanto Sastroatmodjo dalam bukunya berjudul Tragedi Kartini menulis, realitas budaya Jawa yang harus dijalani Kartini merupakan tragedi bagi perempuan yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964 ini.

“Ia harus berhadapan dengan realitas budaya Jawa di mana dia harus mengalami masa pingitan pada umur 11 tahun dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Inilah tragedi yang dialami oleh Kartini, sesuatu yang sangat ditentangnya namun terpaksa diterima demi rasa hormat dan patuh kepada ayahnya,” katanya.

Sayangnya, perjuangan berat Kartini untuk emansipasi perempuan Indonesia di masa sekarang mengalami reduksi makna.

Peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April sering diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak menyasar pada substansi perjuangan sang pahlawan.

Tomy F. Awuy dalam bukunya Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan (2005) mengkritik semaraknya perayaan di sekolah dengan busana tradisional berupa kain kebaya dan aneka lomba.

Namun menurutnya, kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak berarti merupakan sebuah ekspresi dari pendalaman nilai-nilai perjuangan Kartini.

“Namun kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak berarti merupakan sebuah ekspresi dari pendalaman nilai-nilai perjuangan Kartini. Bahkan momentum tersebut terkadang diselipi dengan hal-hal yang tidak selaras dengan nilai-nilai perjuangan Kartini seperti kontes kecantikan, untuk kemudian pemenangnya dipilih menjadi Putri Kartini,” tulisnya.

Bagi pemenang lomba, ujar dia, memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan job-job yang menggiurkan, seperti menjadi model atau bintang sinetron misalnya.

“Bagi yang tidak cantik meskipun memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa, jangan harap untuk dapat menjadi juara,” kritiknya.

Kritikan terhadap perayaan Hari Kartini yang identik dengan formalitas belaka juga datang dari Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kepala Pusat Studi Wanita UGM, Dr. Widya Nayati, M.A., mengatakan Hari Kartini seharusnya tidak diisi dengan aktivitas yang hanya bersifat formalitas.

Menurutnya, Hari Kartini memiliki makna yang mendalam dan menjadi momen refleksi bagi warga Indonesia.

Seharusnya peringatan itu harus dijadikan teladan dan hari libur bukanlah menjadi refleksi keteladanan perjuangan Kartini.

“Sering kali saat peringatan hari besar hanya sekadar upacara tapi tidak masuk hati. Sekadar hari libur bukan menjadi refleksi yang menjadikan kita lebih hebat,” ucapnya seperti dikutip dari situs resmi UGM.

Ia berpendapat, dengan peringatan Hari Kartini generasi sekarang mengetahui sekilas tentang sosok R.A Kartini serta kalimatnya yang terkenal “habis gelap terbitlah terang”.

Namun tidak banyak orang yang tahu tentang profil, capaian, serta catatan sejarah tentang sosok Kartini.

Ia mengungkapkan, Kartini menjadi teladan seorang insan muda yang tekun mencari ilmu dan membagikannya bagi banyak orang, memanfaatkan kesempatan yang ia miliki untuk belajar dan berdiskusi bagi kepentingan dan kemajuan banyak orang.

Teladan ini menurutnya perlu ditiru oleh banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak muda maupun orang tua.

“Bayangkan pada abad itu dengan keterbatasan yang ada beliau mampu belajar banyak dan mau melakukan sesuatu tidak hanya untuk dia sendiri tetapi juga untuk teman-temannya. Tapi sekarang banyak orang egois hanya mencari ilmu untuk dirinya sendiri,” ucapnya.

Menurutnya, peringatan Hari Kartini yang umumnya dilakukan dengan mengenakan busana daerah tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan penghayatan yang benar.

Pemahaman keteladanan para pahlawan akan menimbulkan kesadaran serta dorongan untuk ikut berperan menjadi Kartini masa kini, yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya