SOLOPOS.COM - Suasana produksi gitar di Fajar Musik milik Sugiyono, di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Sabtu (20/4/2024). Penjualan gitar di Kampung Gitar menurun drastis sejak pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu. (Solopos.com/Ahmad Kurnia Sidik)

Solopos.com, SUKOHARJO – Kecamatan Baki, merupakan salah satu sentra produksi dan penjualan alat musik petik di Kabupaten Sukoharjo. Lokasi tepatnya di Desa Mancasan dan Desa Ngrombo.

Anda akan melihat  banyak tumpukan gitar, ukulele, ataupun biola di depan rumah warga di kedua desa tersebut, seperti saat Solopos.com bertandang ke sana pada Sabtu (20/4/2024) siang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tak hanya itu, tampak pula di pinggir jalan banyak tugu atau patung yang menggambarkan alat musik petik itu. Baik Desa Mancasan maupun Desa Ngrombo sebagian besar warganya merupakan perajin ataupun penjual alat musik. Karena itu pula, kedua desa itu mendapat julukan sebagai Kampung Gitar.

Melansir laman kemenparekraf.go.id yang diakses pada Sabtu, (20/4/2024), sebagian besar warga Kecamatan Baki menggantungkan hidupnya dari membuat berbagai alat musik petik sejak 1975. Kemampuan memproduksi itu dimiliki oleh warga secara turun-temurun.

Alat musik buatan warga di sana bahkan bisa menyentuh pasar internasional. Salah satunya produk yang dibuat Sugiyono, perajin asal Desa Ngrombo pemilik Fajar Musik.

“Sekitar tahun 2008 hingga 2010 gitar yang kami buat sempat laku di pasar internasional. Ada beberapa negara yang menyerap produk kami seperti Italia, Singapura, Timor-timur, Malaysia,” jelas Sugiyono saat ditemui Solopos.com di kediamannya, Sabtu.

Sugiyono bercerita mulanya ia hanya pegawai di salah satu pabrik gitar di desanya. Namun, saat krisis moneter menerjang, ia harus kehilangan mata pencahariannya dan beralih menjadi petani. “Tahun 1998, saat terjadi krisis moneter, tempat saya kerja sebagai perajin gitar gulung tikar. Saya beralih menjadi petani setelah itu,” ungkap dia.

Ia tak lama menjadi petani. Pada 2002, ketika perekonomian sudah kembali normal, ia kembali bekerja sebagai rumah produksi gitar. “Saya lantas merasa memiliki kemampuan untuk buka usaha [produksi gitar] sendiri. Namun sebelum itu, saya sadar harus punya jaringan. Jadi, saya kerja sebagai sales di salah satu rumah produksi gitar, sekaligus mempersiapkan diri dan jaringan untuk buka usaha sendiri,” jelas dia.

Tahun 2005, Sugiyono mulai membuka usaha produksi gitarnya yang diberi nama Fajar Musik. Nama itu diambil dari nama anak keduanya.

Usahanya berkembang dengan cepat hingga ia mampu memiliki 15 karyawan untuk memproduksi beragam alat musik petik dan gesek seperti gitar, ukulele, biola, dan sebagainya. Di masa jayanya pada 2008 hingga 2010, Sugiyono mampu mengekspor gitar buatannya ke berbagai negara.

“Saat itu, sekali kirim ke luar negeri bisa mencapai 1.000 gitar. Bahkan pernah lebih. Untuk periode pengirimannya memang enggak tentu, tergantung pesanan,” kata dia.

Pengiriman produk ke luar negeri ia hentikan lantaran mendapat pendanaan guna menyediakan alat musik petik untuk sekolah-sekolah di berbagai penjuru Indonesia.

“Ekspor saya hentikan karena saat itu, seingat saya, ada program dari Kemendikbud, Menterinya Anies Baswedan, untuk menyediakan alat musik petik. Saya salah satu yang mendapat hibah untuk proyek itu, makanya saya fokus ke sana dan menolak pesanan lain,” kata dia.

Saat itu umah produksi gitarnya hanya menerima pesanan dalam jumlah besar. Dan wlayah pemasarannya menjangkau berbagai daerah.

“Setelah hibah kementerian itu selesai, produksi di sini tetap berjalan dengan memasok ke toko-toko alat musik di berbagai daerah, bahkan sampai Sumatra. Sekali keluar dari sini saat itu minimal 10 hingga 15 lusin per hari.” ungkap dia.

Gitar buatan Sugiyono dijual dengan harga bervariasi tergantung jenis dan kualitas. Untuk gitar akustik, harganya di rentang Rp130.000 hingga Rp600.000. Sementara untuk gitar elektrik mulai Rp900.000 hingga Rp3 juta. Selain gitar, ada juga alat musik pukul Kajon yang dibanderol Rp300.000.

Penjualan Anjlok karena Pandemi

Pendemi Covid-19 yang sempat mewabah mulai 2020 lalu mengakibatkan bisnis Sugiyono dan sejumlah perajin alat musik petik lainnya anjlok. “Saat pandemi, khususnya 2021 hingga awal 2023 lalu, produksi gitar menurun drastis sekitar 60%-70%. Dan itu berlanjut hingga sekarang. Yang mengalami bukan cuma saya, tetangga lainnya di sini juga mengalami hal sama, kehilangan pasar setelah pandemi,” kata dia.

Akibatnya, Sugiyono juga harus merumahkan sebagian besar karyawannya dan kini menyisakan tiga orang saja. Untuk jangkauan pasarnya pun semakin menyempit karena banyak toko-toko musik langganannya gulung tikar.

Saat ini, pengiriman gitar hanya mampu dilakukan 3 kali dalam sebulan dengan jumlah yang juga relatif lebih sedikit, yakni 5 lusin sampai 10 lusin dalam sekali pengiriman. Berbeda dengan sebelum pandemi yang mampu mengirim gitar setiap hari.

“Setelah pandemi, saya telepon toko musik yang jadi pelanggan saya, mereka rata-rata menghentikan pesanan. Alasannya karena ada yang belum laku ada juga yang gulung tikar. Saya enggak bisa apa-apa kalau begitu,” kata Sugiyono.

Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu perajin gitar di Desa Ngrombo, Habib Adani. Ia menyampaikan pesanan alat musik petik di tokonya, Oza Guitar Shop, juga menurun sekitar 55% dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Namun, ia juga optimis pesanan alat musik petik setelah Lebaran akan kembali stabil.

“Penjualan saat ini mengalami penurunan sampai 55% dibandingkan sebelum pandemi. Tapi kayaknya setelah Lebaran ini bakal naik kembali. Karena di toko saya ada beberapa pesanan,” kata Habib, sapaan akrabnya, saat dihubungi Solopos.com, Sabtu.

Ia juga bercerita bahwa pesanan menurun bukan hanya untuk alat musik jenis gitar, namun juga ukulele, biola, dan sebagainya juga menurun. “Mungkin semua perajin alat musik di sini mengalami hal sama. Setelah pandemi, pesanan menurun,” ungkap dia.

Sementara itu, salah satu warga yang tinggal di Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan, Solo, Adi Prastiyanto, mengaku bahwa ia sudah beberapa kali membeli gitar langsung ke perajin di Desa Ngrombo ataupun Desa Mancasan.



Adi juga bercerita semasa kuliah dahulu ia kerap mengantarkan temannya membeli gitar ke kedua desa itu. “Kebetulan saya kan aslinya [warga] Sukoharjo, jadi sedikit tahu daerah itu. Teman-teman yang mau beli gitar itu rata-rata pendatang. Biasanya mereka beli gitar untuk pribadi, kadang-kadang untuk organisasi,” jelas Adi.

Menurutnya harga gita di Sukoharjo lebih murah dan pilihannya beragam. Soal kualitas, menurutnya, tinggal pintar-pintarnya pembeli memilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya