SOLOPOS.COM - Wahyu Seto Aji (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Satu  dasawarsa terakhir pelestarian cagar budaya menunjukkan peningkatan. Individu, komunitas, maupun organisasi peduli cagar budaya kerap membagikan di media sosial aktivitas mereka berupa praktik baik seputar pelestarian cagar budaya.

Aktivitas yang mereka lakukan, antara lain, bersih-bersih situs, penemuan objek diduga cagar budaya, atau sekadar mengunjungi bangunan bersejarah sembari membongkar kisah masa lalunya. Momen tersebut menarik simpati karena melibatkan akar rumput yang datang dari beragam latar belakang pendidikan, generasi, dan gender.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Fenomena itu patut mendapatkan apresiasi sebab kesadaran dan partisipasi masyarakat meningkat. Hal itu bisa terwujud berkat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang memberi kesempatan masyarakat luas terlibat dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Undang-undang Cagar Budaya terbaru itu menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menitikberatkan subjek pelestarian cagar budaya pada pemerintah  dan memiliki ruang lingkup terbatas. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan berperan meningkatkan tren positif pelestarian kebudayaan.

Undang-undang Cagar Budaya berfokus pada peninggalan berwujud benda seperti struktur, bangunan, situs, dan kawasan cagar budaya. Undang-undang Pemajuan Kebudayaan hadir menjawab persoalan kelestarian warisan budaya tak benda. Warisan budaya tak benda dibagi menjadi 10 unsur yang dinamakan objek pemajuan kebudayaan.

Unsur-unrus itu adalah adat istiadat, bahasa, manuskrip, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat, ritus, kesenian, teknologi tradisional, dan tradisi lisan. Dua undang-undang itu paket lengkap yang diberikan negara sebagai pengakuan dan penghargaan khazanah budaya Indonesia.

Legitimasi dari negara tersebut juga menempatkan masyarakat sebagai penggerak kebudayaan dan menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional. Kebudayaan memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, tetapi jumlah cagar budaya dan warisan budaya tak benda yang ditetapkan pemerintah serta partisipasi dan kesadaran masyakarat terhadap pelestarian budaya bukanlah indikator penentu kinerja pembangunan kebudayaan.

Dalam rangka menyusun data dan informasi dalam pembangunan kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional serta Badan Pusat Statistik meluncurkan indeks pembangunan kebudayaan (IPK) pada 2018.

IPK disusun berdasarkan konsep culture development indicators (CDIs) ala UNESCO. Konsep tersebut memuat serangkaian dimensi dan indikator yang menyoroti kontribusi kebudayaan terhadap pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta membantu individu dan masyarakat untuk memperluas pilihan hidup, dan beradaptasi pada perubahan.

IPK adalah instrumen untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan. IPK bukan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan untuk mengukur kinerja pembangunan kebudayaan. IPK memuat tujuh dimensi, yaitu ekonomi budaya, pendidikan, ketahanan sosial budaya, warisan budaya, ekspresi budaya, budaya literasi, dan kesetaraan gender.

Tujuh dimensi itu menunjukkan pembangunan aspek budaya memiliki ruang lingkup luas dan lintas sektor. Ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh dalam praktik metodologi penghitungan IPK. Dengan merujuk CDIs dan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, terdapat 40 indikator awal penyusun IPK yang penilaian dan penghitungannya dilaksanakan secara trilateral, antara Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pusat Statistik.

Bobot tertinggi dari tujuh dimensi IPK pada dimensi warisan, budaya sebesar 25%. Disusul dimensi pendidikan dan ketahanan sosial budaya sebesar 20%. Berikutnya, dimensi ekonomi budaya, ekspresi budaya, dan budaya literasi sebesar 10%. Bobot terendah pada dimensi gender, sebesar 5%.

Sosialisasi Minim

IPK nasional terakhir tercatat pada 2021 dengan rentang 0—100 sebesar 51,90. Data pada 2021 menunjukkan penurunan poin daripada tahun sebelumnya, yaitu 53,74 pada 2018; 55,91 pada 2019; dan 54,65 pada 2020. Hal itu, tentu menjadi catatan bagi seluruh pihak untuk memperbaiki pembangunan kebudayaan pada tahun selanjutnya.

Pertanyaan mendasar ialah apakah IPK sudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas, khususnya pemangku kebijakan di daerah? IPK tentu belum setenar indeks pembangunan manusia (IPM) yang telah lama menjadi alat ukur kemajuan suatu daerah.

IPM telah terakomodasi menjadi salah satu komponen pembangunan yang termuat dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Dibutuhkan sosialisasi kepada pemangku kebijakan sektoral di daerah agar IPK dapat dipahami dan diimplementasikan sebagai alat ukur.

Sosialisasi menjadi upaya signifikan agar sinkronisasi pusat dan daerah lebih kuat sehingga asas desentralisasi dijalankan sesuai tujuan pembangunan. Implementasi IPK oleh pemangku kebijakan di daerah berperan besar bagi pembangunan nasional.

Pertama, IPK dapat menjadi komponen pelengkap di samping IPM yang dimasukkan dalam rencana pembangunan daerah sehingga ukuran keberhasilan pembangunan lebih berkualitas, objektif, dan terarah. Kedua, urgensi keberadaan IPK merupakan basis data yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Data yang memuat angka memiliki kekuatan dan kepentingan strategis sehingga membantu pengambil kebijakan memformulasikan arah pembangunan kebudayaan yang lebih konkret dan tepat sesuai kondisi masing-masing daerah. Ketiga, IPK mendorong masyarakat luas melek data sehingga secara tidak langsung membantu peningkatan literasi bangsa.

IPK sebagai basis data berperan menjadi pisau bagi daerah dalam menghadapi sejumlah persoalan, khususnya kebudayaan yang bersifat lintas sektoral. Bank Dunia (2014) mengidentifikasi sejumlah isu/masalah yang mengancam pembangunan di daerah, antara lain, persepsi masyarakat tentang masalah lingkungan, pembangunan yang tidak berdasarkan prioritas, serta kesenjangan antara kebijakan dan praktik.

Oleh karena itu, sudah waktunya daerah termotivasi menguatkan fondasi budaya dalam rangka pembangunan nasional. Pembangunan harus berdampak pada karakter agar masyarakat memiliki sikap tangguh dan kreatif dalam menghadapi dinamika sosial. Dengan demikian, manusia sebagai subjek kebudayaan lebih adaptif terhadap perubahan zaman.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Januari 2023. Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Pertama Dinas Pendidikan Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Semarang untuk wilayah Tengaran)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya