SOLOPOS.COM - Warga Tionghoa, Donny Mahesa Wijaya, 42, sedang beraktivitas di rumahnya di Kampung Balong, RT 006/RW 006, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo, beberapa waktu lalu. (Solopos TV/Aji Tulus Pamungkas)

Tradisi Imlek dilakukan oleh warga Tionghoa di Solo.

Solopos.com, SOLO—Anak Kali Pepe yang lebarnya sekitar 2 meter-3 meter menjadi penghubung antara jalan kampung dengan sederetan rumah warga di Kampung Balong, RT 006/RW 006, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu rumah di sana adalah bangunan tua yang oleh pemiliknya dibuatkan jembatan kecil sebagai jalan masuk ke rumahnya. Jembatan di cat warna merah dengan atap yang membuat rumah itu terkesan teduh. (baca: IMLEK 2018: Jelang Imlek, Pengrajin Lampion di Solo Banjir Pesanan)

Ada dua lampion yang menggantung di antara jembatan dengan pintu rumah, yang kini dihuni Donny Mahesa Wijaya, 42.

Ekspedisi Mudik 2024

Sayangnya, warna merah lampion seakan pudar. Mungkin, pemilik rumah memasang lampion itu saat perayaan tahun baru Imlek, beberapa tahun lampau. Rabu (24/1/2018) siang, Donny sibuk dengan mesin amplas. Dia sedang menyelesaikan pesanan puluhan batang sumpit.

”Kebetulan ini ada pesanan sumpit, harus segera selesai. Kalau sudah, baru saya selesaikan pekerjaan lainnya, ya persiapan tahun baru Imlek,” kata Donny, saat berbincang dengan Solopos.com, sembari memperhalus batang sumpitnya, satu per satu.

Ingatan Donny pun kemudian terbawa pada kebiasaan atau tradisi saat neneknya masih hidup dan masih tinggal di rumah tersebut.

Jauh-jauh hari, atau sebulan sebelum perayaan tahun baru Imlek, rumahnya sudah sibuk dengan nuansa perayaan tahun baru. Warga Tionghoa akan bersih-bersih rumah dan mempersiapkan tradisi sembahyang untuk leluhur yang sudah meninggal dunia.

Sembahyang untuk leluhur biasanya dilakukan H-1 Tahun Baru Imlek. Namun, tradisi sembahyang sudah jarang dilakukan di keluarganya saat ini.

”Yang masih rutin melaksanakan itu tante saya di Jakarta. Dengan sembahyang itu kami mendoakan leluhur agar senantiasa tenang di alam sana. Dan itu sebuah tradisi, yang boleh dilakukan, boleh juga tidak dilakukan,” papar Donny.

Meskipun demikian, kenangan dari tradisi itu masih tertinggal di rumahnya. Gudang tempat Donny bekerja menyelesaikan pesanan sumpit dan jodhang untuk tradisi Grebeg Sudiro, semula adalah ruang untuk sembahyang.

Di sana, masih ada meja yang dulu dipakai untuk altar sembahyang dan foto-foto leluhur yang jumlahnya hampir 30 bingkai masih terpasang rapi, tertata memenuhi tembok rumahnya.

Saat tradisi sembahyang masih rutin dilakukan, meja altar itu dipenuhi sesaji, makanan dan minuman, dupa, hingga sloki yang diisi arak beras sebanyak jumlah leluhur yang akan didoakan.

”Setelah sembahyang kami biasanya jamuan dan berkumpul dengan keluarga,” tuturnyA

Saat ini, perkakas tua dan material pekerjaan menumpuk di antara foto-foto tua itu.

”Mungkin sepekan menjelang Imlek nanti kami baru bisa bersih-bersih, saya biasanya rapikan gudang. Istri saya bersihkan rumah,” ungkapnya.

Tradisi sembahyang untuk leluhur juga sudah tidak lagi dilakukan di keluarga Halim Santoso, warga Kampung Cokronegaran, Kepatihan Wetan, Jebres.

”Sejak jenazah eyang diperabukan, sudah tidak ada sembahyang di altar lagi,” tutur Halim.

Dia mengingat saat tradisi sembahyang itu masih dilakukan, altar akan dipersiapkan sepekan sebelum tahun baru Imlek.

Di altar itu akan ada piring berisi kue keranjang, jeruk bali, pisang, potongan tebu. Hingga malam perayaan Tahun Baru Imlek, sajian akan ditambah dengan aneka lauk-pauk, buah-buahan manis yang tidak berduri, arak, dan kepala babi bagi keluarga yang mampu.

Di situlah seluruh keluarga besar akan berkumpul dan makan malam bersama.

Meski tradisi ini tak lagi dilakukan, namun hingga lima belas hari menjelang Cap Go Meh, Halim dan keluarganya akan keliling ke rumah saudara dekat.

”Keliling dari satu rumah ke rumah saudara yang dekat, buat Kiong Hi-Kiong Hi [semacam memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek]. Ini masih berlangsung sampai 15 hari menjelang Cap Go Meh,” katanya.

Kiong Hi juga berlaku jika berpapasan dengan warga sesama keturunan Tionghoa, jadi tidak harus dengan sanak saudara.



Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Solo, Henry Susanto, mengatakan meskipun ada masyarakat Tionghoa yang kini tak lagi sembahyang untuk leluhur saat menjelang perayaan tahun baru Imlek, namun tak sedikit warga yang masih menjaga tradisi itu.

Warga Tionghoa yang masih menjalankan tradisi itu punya tujuan memupuk mental spiritual, selain untuk mengingat dan mendoakan leluhur. Tradisi ini bukan keharusan, jadi untuk beberapa masyarakat tradisi ini sudah tidak lakukan karena dianggap merepotkan.

”Mereka harus membuat sesaji, jamuan dan sebagainya. Selain itu, banyak juga masyarakat Tionghoa yang sudah tidak beragama Konghucu, jadi mereka tidak lakukan sembahyang untuk leluhur,” ujar Henry, yang juga pengurus Klenteng Tien Kok Sie, Pasar Gede, Solo.

Disamping tradisi sembahyang, mendekati perayaan tahun baru Imlek warga Tionghoa akan memoles rumah mereka dengan bersih-bersih.

”Kalau secara spiritual, selain bersih-bersih rumah kami juga harus bersih-bersih diri dalam rangka menyambut tahun baru,” tutur Henry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya