SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Agus Fatchur Rahman (JIBI/SOLOPOS/Fetty Permatasari)

Rumah berdinding batu kali Jl Aipda KS Tubun 43, Kuwungsari, Sragen Kulon, Sragen, itu terlihat masih dihiasi deretan karangan bunga ucapan selamat atas pelantikan si empunya rumah, Agus Fatchur Rahman, sebagai Bupati Sragen periode 2011-2016. Namun sepertinya Agus santai-santai saja.
Saat dijumpai, dia terlihat asyik membolak-balik setumpuk undangan pernikahan sembari mengisap rokok dari pipa berwarna kuning gading. Sesekali, ia tampak menyeruput teh dari cangkir mungilnya yang bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah jambu. “Saat saya jadi wakil bupati, saya tidak pernah merasa jadi pejabat. Kalau sore berkaus oblong dan blue jeans saya naik pit onthel atau Vespa ke wedangan,” ujarnya sambil menunjuk skuter kesayangannya yang bernomor polisi AD 6383 BE.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Agus lalu bercerita bagaimana suka citanya nongkrong di wedangan. Bagi Agus, nongkrong di wedangan kian membangkitkan gairahnya untuk melayani masyarakat. Di sana semangat egalitarian, kebersamaan dan kesederajatan tercipta begitu saja. Strata sosial lenyap. Orang berkeluh kesah apapun sebebasnya. Setiap orang merasa punya daya dan berhak bersuara tentang apa saja, gratis. Dan, detik-detik dramatik bagi Agus adalah ketika ada seseorang mengritik kinerja pemerintahan Sragen di hadapannya tanpa orang itu tahu bahwa dia adalah orang nomor dua di Pemkab Sragen.

Dari sanalah sempat terbesit ide di benaknya memproklamasikan ideologi baru bernama “warungisme”. Ia menilai konsep itu menjadi sebuah ideologi khas dari masyarakat Jawa dan masih dinikmati banyak orang. “Tapi di tingkat substansi, orang mulai tidak paham. Ideologi warungisme sebetulnya menjadi antitesisnya dunia gemerlap. Makanya saya menyebut wedangan sebagai Dugem. Biasanya teman-teman sudah tahu kalau saya SMS diminta menyusul ke Dugem, ha ha ha,” katanya tergelak.

Avonturir
Bagi Agus, selain dari kebiasaannya nongkrong di wedangan sejak belia, semangat-semangat itu sebetulnya meletup karena pengaruh masa lalunya. Lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Siti Nuryati-Sjamsuri yang bekerja sebagai PNS, sejak kecil Agus hobi berpetualang.

Ia menyebut hobinya itu avonturir, istilah bahasa Belanda untuk petualangan. Di SD, kisah avonturir Agus dimulai dari seringnya ia menumpang kereta api dari Sragen ke Solo maupun Madiun dengan teman-temannya. Di SMP dia tak berbeda. “Kalau sudah sampai di Madiun, kongkow sebentar lalu balik lagi,” kenangnya.

Agus juga tak pernah bosan mengikuti segala rupa kegiatan yang bersentuhan dengan petualangan alam di Pramuka. Agus mengaku mulai menemukan wadah sebagai kristalisasi hidup berpetualang saat duduk di SMA. Sekitar 1978, ia dan teman-temannya di SMA membuat kelompok pecinta alam. Saat itu, organisasi pecinta alam masih jarang. “Kami ke Lawu itu sampai tanpa hitungan. Lalu mengembara ke mana-mana sampai Merbabu, Merapi, Sindoro dan Slamet,” kenangnya.

Di SMA, Agus juga sempat mengayuh sepeda sampai ke Surabaya bertiga dengan temannya. Bahkan di Surabaya, Agus dan ketiga kawannya itu menyeberang ke Bangkalan. “Ketika liburan sekolah Kelas II SMA, saya pernah ke Bali dengan nggandhul-nggandhul kereta api, truk dan saat itulah kali pertama saya ke Bali,” ungkap lelaki yang sejak 2005 mulai hobi berkendara motor trail ini.

Dari dunia petualangan itu, ia merasa ketika orang miskin mau melakukan mobilitas vertikal, modalnya harus genep. Artinya taruhlah ia tidak terlalu pandai, harus ditutupi dengan kemampuan lain seperti kemampuan menggalang persaudaraan.

Meski mengaku tak punya minat jadi PNS, ia menerima tawaran teman ayahnya untuk bekerja di Kantor Kementerian Agama Sragen. Kenangan yang tak terlupakan bagi Agus, SK pengangkatannya menjadi PNS ia “sekolahkan” di bank untuk membeli skuter yang hingga kini masih dirawatnya. ”Dulu warnanya merah marun, sempat ganti cat warna hijau dan belum setahun ganti cat putih,” kisahnya.

Terbiasa hidup berpetualang, Agus merasa pekerjaannya sebagai PNS kurang menantang. Di luar pekerjaannya, ia lalu menjadi aktivis Partai Golkar. Pada 1997, ia malah menjadi anggota DPRD Sragen. Namun, baru setahun menjabat, reformasi bergulir dan terbitlah aturan yang melarang PNS menjadi anggota legislatif.

Agus lebih memilih melepas pekerjaan PNS-nya meski tanpa uang pensiun maupun pesangon. Saat itu, pangkatnya sudah IIIC dengan jabatan sebagai Kepala Urusan Umum Depag Sragen. “Sejak itulah saya jadi politisi tenan. Sampai detik ini pun saya tidak punya naluri untuk berbisnis,” ungkapnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Fetty Permatasari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya