SOLOPOS.COM - Ilustrasi Banjir (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO — Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Pemerintah Kota Solo, menggelar diskusi virtual bertema Penanganan Banjir dan Genangan di Kota Solo, Rabu (2/3/2022) pagi.

Dalam kesempatan itu, para narasumber mengidentifikasi penyebab kemudian membahas solusi masalah banjir dan genangan di Kota Solo. Perwakilan dari DPUPR Solo, Sihono, mengatakan Solo memiliki 68 pintu air atau sarana pengontrol tinggi muka air.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu sebagai penanda Solo memang sejak dulu diidentifikasi sebagai kawasan rawan genangan dan banjir. Selama ini ia mengakui banjir dan genangan air di Solo kian susah diprediksi. Misalnya beberapa tahun lalu daerah Banyuanyar, Banjarsari.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Peta Banjir Solo Bergeser, Giliran Laweyan dan Serengan yang Langganan

Kala itu selama tiga jam air naik dengan ketinggian dua meter. Padahal kawasan di Solo tersebut bukan masuk zona rawan banjir. Alhasil petugas sempat kewalahan.

Sihono kemudian memetakan permasalahan makro yang dialami Solo selama ini. Genangan dan banjir disebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan hujan ekstrem, perubahan guna lahan baik di kota maupun kabupaten sekitar Solo.

Selain itu daya dukung lahan kota sangat terbatas sehingga tekanan kebutuhan akan perumahan mengarah pada lahan-lahan kawasan lindung. Sementara secara mikro, masalah banjir Solo disebabkan maraknya hunian di atas saluran dan penutupan saluran terbuka, serta sedimen maupun sampah yang menggunung.

Baca Juga: Kisah Heroik Hanra, Hanyut Dan Meninggal Saat Selamatkan Warga Dari Banjir Solo 1966

Infrastruktur Pengendalian Banjir

Namun, dari sisi infrastruktur, Pemkot Solo mengklaim telah melakukan berbagai upaya pengadaan sarana pengendali banjir, mulai dari pengadaan rumah pompa, hingga alat berat.

“Mengingat dana kami terbatas, selama ini kegiatan diprioritaskan pada kawasan genangan atau banjir yang memiliki implikasi luas. Dalam melakukan kegiatan pembangunan sekaligus dilakukan upaya-upaya penertiban,” tambahnya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) PUPR, Jarot Widyoko, dalam acara itu menegaskan banjir di sejumlah tempat disebabkan banyak faktor. Mulai dari topografi daerah, masyarakat yang acuh tak acuh hingga alih fungsi lahan sehingga menyebabkan kurangnya daerah resapan air.

Baca Juga: Telan 155 Korban Jiwa, Begini Kedahsyatan Banjir di Soloraya pada 1966

Berdasarkan data yang ia paparkan, secara nasional luas lahan berhutan turun 3,2% selama sembilan tahun. Sebanyak 98,7 juta ha pada 2011 menjadi 95,5 juta ha pada 2020. Sementara, tutupan lahan didominasi untuk permukiman warga.

Secara nasional, Kementerian PUPR memiliki empat arahan kebijakan. Dimulai dari optimalisasi, pemeliharaan, operasi, dan rehabilitasi.

Lahan Kritis

“Kondisi lahan kritis makin banyak. Semua harus bergerak bersama, PUPR enggak bisa kendalikan banjir sendiri. Bagaimana caranya, ya mulai dari diri sendiri,” tegas Jarot

Diskusi tentang penanganan banjir di Solo itu menghadirkan enam narasumber. Selain Sihono dan Jarot Widyoko, ada Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Iis Widya Harmoko.

Baca Juga: Penuh Misteri, Pembantaian Libatkan PKI di Solo Terhenti Banjir 1966?

Kemudian Kepala BBWS Bengawan Solo Agus Rudyanto, Direktur Sungai dan Pantai Kementerian PUPR Bob Arthur Lombogia, Direktur Yayasan Arkom Indonesia Yuli Kusworo. Serta Dekan Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Solo Sholihin As’ad.

Acara yang dibuka oleh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, tersebut berlangsung hampir lima jam dengan dimoderatori Pemimpin Redaksi Solopos Media Group, Rini Yustiningsih. Dalam acara itu, para narasumber menegaskan masalah banjir dan genangan di Solo tak bisa diselesaikan hanya satu pihak.

Partisipasi Masyarakat

Harus dilakukan upaya bersama antara stakeholder pemerintah dengan partisipasi warga. Saat sesi pembahasan materi, Yuli Kusworo mengatakan kondisi saat ini bukan lagi perubahan iklim, melainkan krisis iklim. Pergantian cuaca yang cukup ekstrem memerlukan penanganan yang cepat dan tepat.

Baca Juga: Ngeri! Banjir Bandang 16 Maret 1966 Nyaris Tenggelamkan Seluruh Wilayah Solo

Sementara kunci utama yang diperlukan yakni bergerak bersama. Perbaikan lingkungan tak bisa dikerjakan sendirian. Melainkan kerja kolaborasi antara stakeholder pemerintah serta masyarakat sebagai. Menurut Yuli, masyarakat kota jadi salah satu kunci.

Senada, Dekan Fakultas Teknik UNS Solo, Sholihin As’ad, membenarkan partisipasi warga sangat penting dalam penanganan banjir maupun bencana lainnya.

Selain itu yang juga penting adalah kerja kolaborasi semua pemangku kepentingan, adaptasi masyarakat dan pemerintah terhadap fenomena alam. Juga adanya sistem yang terpadu dari hulu ke hilir. Disusul budaya kesadaran lingkungan, serta budaya tanggap bencana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya