SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Ibu dan buku-buku tercatat dalam sejarah Indonesia. Kita mungkin tak terlalu berpikiran ada buku-buku yang turut membentuk dan memberi pengaruh dalam biografi kaum ibu di seantero Indonesia, dari masa ke masa.

Para pembaca novel-novel terbitan Balai Pustaka masa 1920-an bisa membuat catatan tokoh ibu diceritakan Merari Siregar (Azab dan Sengsara), Marah Rusli (Sitti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), dan lain-lain. Di sejarah sastra, ibu adalah tokoh. Ibu adalah pusat pengisahan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada saat orang-orang membaca novel, Soekarno dalam artikel dan pidato sering berseru “Ibu Indonesia”, sejak masa 1920-an. Julukan itu adalah ide dan imajinasi untuk memuliakan ibu. Julukan yang mengajak orang-orang membuktikan pengabdian kepada ibu.

Soekarno mengartikan ibu adalah tanah air. Seruan politik-imajinatif, bersambung sampai masa revolusi. Kita mengingat pengisahan ibu dalam novel-novel dan politik-imajinatif membekali gerak dan pertumbuhan tafsir ibu di Indonesia.

Ekspedisi Mudik 2024

Sejarah besar berlangsung pada 1928. Peristiwa menentukan yang kemudian dikenang dalam peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember. Sejarah belum lengkap untuk dilihat dan dibaca gara-gara sekian sumber sulit ditemukan. Sejarah berpusat perempuan.

Peristiwa dengan tokoh utama adalah para perempuan: menulis, berpidato, dan berdiskusi. Episode turut memuliakan bahasa Indonesia dan pembuktian keaksaraan kaum perempuan dalam arus pergerakan kebangsaan.

Mereka tak seimajinatif Soekarno saat berseru “Ibu Indonesia” dan seindah para pengarang Balai Pustaka tapi berani mengungkapkan ide-ide dalam bahasa Indonesia yang diakui sebabagi bahasa persatuan: tanda memuliakan tanah air.

Monique Soesman (2007) mengingatkan tentu saja bahasa Indonesia yang digunakan dalam berbagi pidato yang disusun oleh para ibu, yang kebanyakan berasal dari Jawa, sarat dengan kata-kata yang dipinjam atau diambil dari bahasa Jawa maupun bahasa Belanda.

Kita mengingat sejarah melalui buku berjudul Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007) yang disusun Susan Blackburn. Buku ini berisi dokumen tulisan yang membuktikan keaksaraan kaum perempuan masa 1920-an saat ingin mengungkap beragam hal.

Tulisan-tulisan jarang dijadikan sumber kutipan-kutipan dalam pamflet, poster, atau spanduk untuk peringatan rutin Hari Ibu. Puluhan tahun peringatan Hari Ibu malah “berjarak” dari keberanian menulis dan berpidato seperti dalam sejarah 1928.

Kita diingatkan bahwa Hari Ibu bermula dari pergumulan sejarah dan tulisan. Pada 1928, Darmo Laksmi membacakan tulisan dalam kongres berjudul Iboe. Saya kutipkan dengan ejaan lama mengacu pesan (selera) sejarah yang bergantung pada kebahasaan seperti dikehendaki Susan Blackburn.

Ta’ akan termashoer kepandaian atau pengetahoeannja jang iboenja atau perempoeannja boekan seorang perempoean jang tinggi djoega pengetahoean atau boedinja. Siapakah jang ternama? Boekan iboe atau isterinja, hanja anak laki-laki atau soeaminjalah. Itoelah soeatoe tanda bahwa kita kaoem perempoen hidoepnja semata-mata akan mengoerbankan diri. Rasa, sempoerna kita berhoeboeng dengan besarnja atau banjaknja koerban kita.

Penjelasan mengandung keluhan tapi mengingatkan posisi perempuan atau ibu pada masa kolonial. Pengaruh-pengaruh Barat sudah terasa saat kaum perempuan masih saja terikat adat atau tata cara tradisional dalam kepemilikan peran dalam keluarga.

Sekian tokoh perempuan bergerak di pendidikan dan pengajaran, pergerakan politik kebangsaan, pers, sastra, dan perniagaan, tapi tetap mendapat serbuan petuah belum meninggikan derajat sosial dan kultural serta pemikiran.

Tulisan terbacakan dalam kongres itu seperti memaklumi kemunculan ungkapan ”pengorbanan ibu”. Masa demi masa, kita terus mendapat tafsir-tafsir tentang “pengorbanan ibu” cenderung berkaitan keragaan dan rumah serta keluarga.

Pada jalan berbeda, para perempuan atau ibu menempuhi sejarah dengan predikat-predikat tak melulu berlatar rumah. Kemunculan mereka dalam sejarah pendidikan, pers, kesehatan, birokrasi, sastra, sains, dan lain-lain memungkinkan pemunculan pengakuan di luar “pengorbanan ibu”.

Episode-episode memiliki peran besar masih sering “terkalahkan” pamor kaum lelaki. Pengaruh dari predikat-predikat di luar rumah jarang tercatat lengkap dalam pemastian tanggung jawab publik. Pada 1952, terbit Kamus untuk Wanita susunan Ch. Sj. Dt. Toemenggoeng. Buku terbitan Balai Pustaka ini masih mementingkan petunjuk atau ajaran-ajaran menjadi ibu cenderung “tradisionalis”.

Peran yang Berubah

Misi penulisan dan penerbitan buku adalah ibu yang mempunyai 1.001 macam kewajiban, yang tidak tahu payah, yang mempunyai rancangan pekerjaan beraneka warna. Ibu, tukang masak, penjaga orang sakit, penghibur, tukang menjahit, pemegang tali pura dan seterusnja. Maka, kamus kecil ini maksudnya ialah akan membantu ibu dalam menjalankan kewajiban sebagai pemimpin rumah tangga.

Deretan kalimat itu menempatkan ibu dalam segala urusan dan peristiwa di rumah. Latar 1950-an belum terlalu memicu pengisahan ibu dalam peran-peran besar di luar rumah. Buku terasa ketinggalan zaman atau gagal peka terhadap tatanan hidup baru di Indonesia.

Buku itu laris. Buku sebagai bacaan kaum perempuan berbarengan dengan penerbitan majalah-majalah khusus perempuan dan keluarga telah marak di Indonesia. Kita mengandaikan terjadi situasi dan selisih pemaknaan dalam tulisan-tulisan dalam buku-buku dan majalah-majalah.

Di buku, perubahan pemahaman mungkin lambat dibandingkan dengan tema-tema tergarap dalam majalah-majalah. Pada 1959, buku susunan Ch. Sj. Dt. Toemenggoeng masuk cetak ulang ketiga. Perubahan pun terjadi meski belum berkaitan peran dan tema kepublikan.

Dalam cetakan ketiga itu ada pemberitahuan bahwa pada cetakan ketiga nama buku ini diubah menjadi Buku untuk Ibu karena isi seluruh buku ini boleh dikatakan adalah nasihat-nasihat untuk ibu dalam pemeliharaan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknja.

Kita tentu bisa membaca itu masih melulu urusan rumah atau keluarga.



Masa demi masa berlalu, buku mengenai perempuan atau ibu perlahan-lahan berubah. Peran-peran perempuan semakin besar dan berpengaruh, tak lagi “disederhanakan” melalui kamus-kamus atau buku petunjuk ibu seperti yang beredar pada masa lalu.

Sejarah telah berubah. Kaum ibu adalah penggerak sejarah, melampaui “pengorbanan ibu”. Di Indonesia, para perempuan menjadi menteri, pemimpin redaksi pers, direktur perusahaan, kepala sekolah, peneliti sains, dan lain-lain. Buku dan majalah terbit di Indonesia tak lagi terlalu “tradisionalis”.

Halaman-halaman untuk keampuhan para ibu mulai terbaca seperti “belokan tajam” dari sejarah perbukuan masa lalu. Saya buktikan dengan membaca buku berjudul Wanita: Dulu, Sekarang, dan Esok (1980) susunan Hajjah Ani Idrus. Misi penulis buku berpatokan seruan Soekarno pada masa revolusi: Nasib wanita di tangan wanita sendiri! Karena itu, perlipatgandakanlah aktivitas wanita pada masa mendatang!

Situasi dan pemaknaan memang berubah setelah Perang Dunia II berakhir. Para perempuan memiliki ide-ide dan posisi-posisi penting dalam arus sejarah Indonesia. Hajjah Ani Idrus mencatat dan menjelaskan sejarah (organisasi) perempuan, lanjutan dari peristiwa 1928: Persatuan Wanita Republik Indonesia (1945), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (1946), Muslimat (1946), Gerakan Wanita Indonesia Sedar (1950), Wanita Demokrat Indonesia (1951), dan lain-lain.

Sejarah bertokoh perempuan dan ibu tak lagi melulu dalam rumah atau keluarga. Sejarah itu bergerak dengan tulisan dan perbuatan. Pada abad XXI, kita semakin mengerti ketokohan ibu, konsekuensi dari pergumulan sejarah dan tulisan sejak puluhan tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya