SOLOPOS.COM - Maryono, 53, warga Dusun Delok, Desa Botok, Kecamatan Kerjo, Karanganyar, berjualan koran selama 17 tahun di pinggiran Jl. Veteran Sragen. Foto diambil, Jumat (16/9/2016). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

HUT ke-19 Solopos diperingati dengan berbagai kegiatan.

Solopos.com, SRAGEN – Sebagai tamatan SD, Maryono, 53, tidak pernah menyangka bakal bisa menguliahkan anak pertamanya hingga lulus. Ada kebanggaan yang luar biasa saat dia menghadiri wisuda Fetika Putri Marfuah pada 2013 lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Anak saya bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu 3,5 tahun di Jurusan PGSD UMS. Bagi saya, punya anak bergelar sarjana itu kebanggaan karena saya sendiri hanya lulusan SD,” ujar Maryono kala ditemui Solopos.com di pinggir Jl. Veteran Sragen, Jumat (16/9/2016).

Selama 17 tahun lamanya, Maryono menggantungkan hidup pada keramaian di Jl. Veteran Sragen. Di bawah pohon palm, tak jauh dari Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sragen, rezekinya mengalir dari hasil jualan koran, majalah serta tabloid. Sembari melayani pembeli, warga Dusun Delok, Desa Botok, Kecamatan Kerjo, Karanganyar, itu menceritakan pengalaman hidupnya sebelum memilih berjualan koran.

“Setelah lulus SD pada 1976, saya sempat ikut bekerja di rumah juragan ampyang di Solo. Saat itu, saya dibayar Rp1.800/bulan. Pernah juga jadi buruh tukang batu dengan bayaran Rp1.500/hari. Pernah juga menjadi kondektur truk dan merantau ke Jakarta sebagai tukang batu. Saat itu, biaya tiket bus Sragen-Jakarta hanya Rp4.000,” kenang Maryono sambil terkekeh.

Pada 1999, Maryono mencoba keberuntungan baru dengan berjualan koran, salah satunya Solopos. Saat itu, koran Solopos baru menginjak usia 2 tahun. ”Seingat saya, koran Solopos saat itu masih seharga Rp600. Sebagai awalan, saya hanya mengambil 10 eksemplar koran Solopos dari agen koran [Harno] yang tak lain masih adik ipar saya sendiri,” ujarnya.

Pekerjaan anggota keluarga Maryono terbilang unik. Selain dia dan adik iparnya, masih ada empat orang anggota keluarganya lain yang juga berjualan koran. Empat anggota keluarga berjualan koran dengan membuka kios atau lapak di pinggir jalan, sementara dua anggota keluarga lainnya berjualan koran dengan cara keliling.

”Total ada enam anggota keluarga saya yang berjualan koran. Tidak heran kalau ada pertemuan sesama loper koran, kami bisa saling bertemu,” ungkapnya.

Selama 17 tahun berjualan koran, Maryono bisa memahami bagaimana permasalahan yang dihadapi media cetak. Kemajuan teknologi informasi sedikit banyak mempengaruhi minat warga untuk membeli koran dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya dia bisa menjual hingga 50 eksemplar koran Solopos. Sekarang, dia hanya mampu menjual 20-25 koran Solopos.

”Anak sekolah zaman sekarang itu sudah tidak lagi butuh koran. Dulu saya sempat kewalahan melayani remaja yang ingin membeli koran saat jam pulang sekolah. Sekarang, mereka bisa mengakses informasi dengan cara membuka internet di HP sehingga merasa tidak perlu membeli koran,” jelasnya.

Meski mengalami penurunan pelanggan, Maryono tidak mengeluh. Dia bersyukur bisa menguliahkan anak pertamanya hingga lulus pendidikan sarjana dari hasil jualan koran. ”Gusti Allah itu maha adil. Pas butuh uang untuk biaya kuliah anak, Alhamdulillah rezeki lancar sampai dia lulus kuliah. Belakangan, rezeki dari hasil jualan koran sedikit kurang lancar. Tapi, untunglah anak saya sudah lulus kuliah,” paparnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya