SOLOPOS.COM - Ilustrasi keluarga harmonis. (Freepik)

Solopos.com, SOLO – Fenomena penyebaran berita palsu dan disinfomasi menjadi kelaziman di era digital. Unggahan konten viral yang kadung ramai dibumbui komentar menjadi perbincangan. Padahal boleh jadi konten tersebut unggahan lawas yang sengaja disebar untuk memanaskan situasi.

Persebaran hoaks tersebut ternyata merenggangkan hubungan antar anggota keluarga loh. Enggak percaya? Aziza, 21, mahasiswi tingkat akhir di kampus negeri ini kerap dibuat “panas” gara-gara unggahan video di Whatsapp grup keluarga besarnya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Terutama pas tahun politik kemarin. Banyak banget yang share hoaks capres ini lah, yang kubu sebelah juga konter pakai hoaks lain lah. Akhirnya panas,” ujar dia ketika mengobrol dengan Solopos.com, Selasa (24/9/2019).

Tak hanya gerah melihat informasi keliru menyebar dan jadi obrolan tante dan omnya. Aziza merasakan obrolan yang semula hanya mencuat di grup Whatsapp tersebut lambat laun merembet ke meja makan saat sesi makan malam keluarga intinya.

“Akhirnya aku enggak tahan bilang dong ke bapak dan ibu. Bapak, informasi hoaks yang itu benarnya seperti ini lho. Yang keliru bagian ininya lho. Ya, walaupun mereka kadang lebih percaya omongan pakde atau bude yang dianggap lebih ngerti ketimbang anak kecil kayak aku,” jelasnya.

Aziza mengatakan hubungannya dengan kerabatnya pernah renggang ketika mereka terlibat perang komentar terbuka di grup Whatsaap, pada Pemilu 2019. Dari kejadian tersebut, beberapa sepupunya akhirnya meninggalkan grup.

“Ya, dari situ aku lebih baik jadi silent reader saja. Malas, turn back hoax kalau ujung-ujungnya dimusuhi,” beber dia.

Kendati sudah malas “perang” dengan keluarga sendiri di grup Whastapp, Aziza emoh tinggal diam ketika bapak, ibu, atau adiknya yang duduk di bangku SMA menjadi korban hoaks atau disinformasi. “Kalau bapak, ibu, atau adik kena hoaks; baru aku mati-matian ngeyel ngasih pengertian,” ujar dia.

Selain Aziza, Tyas, 33, juga pernah merasakan panas dingin hubungan dengan keluarganya lantaran hoaks. “Ibuku kan baru dua tahun pegang telepon pintar. Belum fasih untuk menyaring informasi benar atau keliru. Jadi gampang banget percaya. Untung kadang-kadang tanya,” tutur dia.

Tyas menyatakan awal mula memberi tahu ibunya bahwa informasi yang didapatkan keliru tidak gampang. Terutama untuk berita atau informasi politik dan agama.

“Dulu pernah tak bilangin langsung. Malah jadi aku dianggap sesat sama ibu. Terus metodenya diganti pelan-pelan. Malah manjur. Biasanya kalau nemu info yang enggak benar, aku tanya dulu ibu dapat dari share siapa. Habis itu aku ajari cara ngecek faktanya kayak gimana. Ya, enggak gampang memang. Tapi dari situ ibuku jadi belajar,” jelasnya.

Sedangkan Laras, 29, merasakan mengedukasi keluarga besarnya untuk melek informasi dan hoaks bukan perkara mudah. “Ujung-ujungnya aku jadi dimusuhin. Bikin kekerabatan kita renggang. Masalahnya orang terlanjur kejebak hoaks dan tidak membuka pikiran pada pandangan lain,” kata dia.

Alih-alih terjebak konflik terbuka ketika melihat hoaks dan disinformasi menyebar serta jadi obrolan di lingkungan terdekatnya, Laras memilih jalur damai dengan cara diam. Salah satu topik yang sering jadi pemicu adalah soal politik.

“Kayaknya enggak ada pilihan lain. Daripada perang dan aku jadi ngerasa lelah kelahi sama keluarga atau kenalan terdekat. Kalau lagi punya energi ya nyempetin ngasih fakta. Kalau udah, ya kutinggal kabur,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya