SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan. (Istimewa)

Solopos.com--Banyak teori tentang peran elite dalam perubahan-perubahan sosial. Beberapa di antaranya adalah Vilfredo Pareto (1884-1923), Max Weber (1864-1920), Charles Wright Mill (1916-1962), dan lain-lain. Teori-teori itu pada prinsipnya mendalilkan perubahan-perubahan sosial digerakkan oleh gagasan-gagasan sekelompok elite yang merumuskan tanggapan yang tepat atas perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Gagasan-gagasan ini biasanya tertulis dalam buku-buku, pidato-pidato, karya-karya seni, dan teknologi.

Mudhofir Abdullah
Mudhofir Abdullah

Setiap peradaban suatu bangsa, memiliki tokoh-tokohnya sendiri (baca: kaum elite intelektual). Mereka menjadi inspirator dalam setiap pikiran dan tindakan masyarakat. Mereka juga memberi roh dan nilai bagi peta jalan sejarah berikutnya. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dalam karya Muqaddimah menyebut peradaban itu seperti makhluk hidup yang mengalami fase kelahiran, fase kanak-kanak, fase matang, dan akhirnya fase kematian.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun, bertahannya sebuah peradaban akan ditentukan oleh respons yang tepat atas tantangan-tantangan di depan. Ini disebut oleh Arnold Toynbe dengan teori Challenges and Response. Herbert Spencer menyebutnya Survival of the Fittest mengikuti jejak pendahulunya dalam teori evolusi, Charless Darwin, dengan istilah natural selectin of the fittest. Teori ini menyebut bahwa yang dapat bertahan hidup adalah yang paling kuat (baca: yang paling mampu dalam beradaptasi dengan lingkungannya).

Berangkat dari teori-teori itu, teori disruptions yang kali pertama dicetuskan Clayton Christensen dalam karya The Innovator’s Dilemma (1997) memperkuat argumen Ibnu Khaldun tentang masa lahir, kanak-kanak, dewasa, dan kematian. Namun, era disruptions terjadi dengan sangat cepat meruntuhkan kemapanan-kemapanan. Temuan sains dan teknologi—terutama teknologi Internet—menjadi pemicu kecepatan, keluasan, dan kemudahan terjadinya disruptions di hampir segala bidang. Teknologi Internet telah memunculkan kekuatan kolaborasi dari pakar-pakar terbaik di segala bidang di seluruh dunia untuk bersama-sama mencari solusi-solusi kehidupan yang lebih mudah, sejahtera, dan berkualitas.

Menyadari zaman yang sangat berbeda ini, cara orang beragama, beriman, beribadah, dan berdakwah tentu harus diberi konteks sosial baru agar tetap relevan dengan perubahan-perubahan. Kaum elite intelektual Muslim dituntut merumuskan tanggapan-tanggapan yang tepat atas tantangan-tantangan yang ada dan selanjutnya menjadi panduan umat. Tanggapan tepat yang disusun dalam serangkaian pendidikan, penerbitan, karya-karya seni, karya-karya teknologi, dan lain-lain akan menjadi peta jalan bagi kemajuan.

Dalam konteks Indonesia, kaum elite muslim tersebar dalam organisasi-organisasi independen seperti NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, Nahdhatul Wathan, dan lain-lain. Mereka dapat menginspirasi pengikutnya untuk berubah dan menangkap spirit zaman dengan terus memperbaiki kualitas hidupnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka miliki harus digerakkan dengan spirit kemajuan dan mengikuti idea of progress. Program pemberdayaan perempuan, ekonomi, literasi kebangsaan, literasi global, sains dan teknologi, harus terus-menerus dijadikan proyek masa depan. Selain itu, kolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan juga akan memperkaya material dan nilai-nilai pandangan dunia muslim. Hanya dengan cara-cara ini, umat Islam dapat melewati masa krisis keruntuhan.

Dengan kekuatan intelektual, ekonomi, karakter, sains dan teknologi yang berkualitas, umat Islam layak berdakwah dengan penuh kepercayaan diri. Kita dapat berdiri sejajar dengan umat-umat lain yang di zaman modern ini telah lebih dahulu menguasai ekonomi, sains, teknologi, dan militer seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika, dan negara-negara Eropa. Sebutan khairu ummah (umat terbaik) seperti disebut dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran [3]: 110 dapat terwujud di era ini jika syarat-syarat di atas dengan konsisten dijalankan dengan baik.

Peta Jalan Peradaban

Di sinilah peran kaum cendekiawan muslim diperlukan menyusun kerangka-kerangka metodologis dan peta jalan peradaban. Belajar dari sejarah Jepang, kemajuan dan keberhasilan bangsa ini bermula dari buku-buku yang dibaca dan diajarkan kepada rakyatnya. Karya-karya Benjamin Franklin dan Viktor Frankle dibaca dan diserap yang kemudian mengispirasi perubahan-perubahan masyarakat Jepang. Dalam seratus tahun sejak perkenalannya dengan Barat, Jepang mampu melakukan terobosan-terobosan sejarah modern dengan kemampuan sains dan teknologi yang tinggi. Padahal pada 1856, bangsa ini masih bodoh, jorok, membuang sampah sembarangan, tidak makan daging, dan lain-lain.

Di dunia Arab modern, Uni Emirat Arab dapat menjadi contoh. Tahun 1968, Sheikh Zayed (penerus Emir Abu Dhabi) dan Sheikh Rasyid (penerus takhta Dubai) bertemu di sebuah tenda berjendela di padang pasir yang panas membahas pembentukan federasi. Mereka bersepakat membangun negara federasi Arab yang kuat, modern, dan mengesampingkan konflik. Kini negara federasi ini menjadi destinasi investasi ekonomi, wisata, mendapat kepercayaan dari berbagai bangsa tanpa rasa takut, dan sangat modern. Ini terjadi berkat peran elite negara tersebut sanggup merumuskan tanggapan yang tepat atas tantangan yang ada.

Tampilnya kaum elite intelektual muslim di panggung sosial, budaya, dan politik dapat berpengaruh jika rumusan-rumusan karya mereka relevan, mengutamakan nilai-nilai keteladanan, berkolaborasi, terbuka, dan berarakter. Kaum elite intelektual, pada dasarnya, adalah para pemimpin umat. Jika doktrin-doktrin agama adalah sebuah “gagasan”, maka daya hidup dan daya dobraknya ditentukan oleh elite-elite intelektual yang menyusun nilai-nilai dan filosofi. Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan “Al-Qur’an berbicara melalui manusia”. Secara hermenetis, pernyataan tersebut dapat dijelaskan makin cerdas dan berwawasan para pembaca Al-Qur’an, maka makna dan implementasinya akan makin cerdas dan berwawasan. Sebaliknya, jika para pembaca Al-Qur’an bodoh, radikal, dan sempit akal, maka makna dan implementasinya bodoh serta radikal.

Di era teknologi tinggi, para elite dan pemimpin umat yang cerdas, berwawasan, dan terbuka sangat dibutuhkan. Charles Maurice de Talleyrand, diplomat Perancis, punya kata-kata yang kuat dan relevan dikutip, “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih hebat ketimbang seratus singa yang dipimpin seekor kambing”. Kita butuh singa-singa yang menggerakkan, memobilisasi, dan merebut peluang-peluang kehidupan sehingga hidup tetap relevan dan tidak terdisrupsi oleh perubahan-perubahan. Dalam garis-garis argumen seperti di ataslah, berbicara pengembangan dakwah menjadi layak dijalani dan tetap relevan.

Mudhofir Abdullah
Guru Besar Pengkajian Islam
Rektor IAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya