SOLOPOS.COM - Penjual kerupuk lempeng, Riyem, menggendong keranjang berisi kerupuk di Jl. Prambanan, Kota Madiun, Rabu (2/9/2020). (Abdul Jalil/Madiunpos.com)

Solopos.com, MADIUN -- Dengan tubuh rentanya, Mbah Riyem menggendong keranjang yang berisi penuh kerupuk lempeng di Jl Prambanan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Rabu (2/9/2020) siang. Nenek-nenek berusia 80 tahun itu pelan-pelan berjalan menyusuri jalanan aspal yang panas.

Kondisi badannya yang sudah membungkuk tidak menghalanginya menawarkan kerupuk yang terbuat dari nasi itu kepada pelanggan. Setiap ada pelanggan yang membeli, nenek-nenek ini akan berhenti dan melayaninya. Setelah selesai, ia akan kembali melanjutkan berjualan dengan berjalan kaki.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setiap berjualan, warga Jl. Gajah Mada, RT 001, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo ini hanya memakai caping untuk melindungi dari terik matahari. Sedangkan kakinya hanya beralaskan sandal jepit yang sudah semakin menipis.

Tambah 2 Pasien Positif, Total Kasus Covid-19 di Ponorogo Tembus 294

Ekspedisi Mudik 2024

Kerutan di wajah dan rambut yang sudah memutih menjadi bukti bahwa Riyem sudah tidak muda lagi. Di usianya yang sudah memasuki delapan dekade, Riyem tidak ada angan-angan untuk berhenti berjualan kerupuk. Karena dia sadar tidak ada yang menjadi tumpuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dia juga tidak ada keinginan untuk menjadi pengemis untuk mendapatkan sesuap nasi. Baginya, mencari uang dari berjualan kerupuk lebih berharga dari sekadar meminta-minta.

“Ya bersyukur diberi kesehatan, jadi bisa berjualan. Saya tidak pernah meminta-minta,” kata Riyem saat berbincang dengan Madiunpos.com.

Riyem bercerita dirinya sudah berjualan kerupuk sejak tahun 1969. Sejak awal selalu berjualan kerupuk dengan keliling berjalan kaki. Pernah suatu waktu, ia beralih berjualan nasi pecel di kios. Tetapi baru sepekan, ia tidak tahan dan beralih berjualan kerupuk keliling lagi.

Sebatang Kara

Mbah Riyem ini sudah sejak tahun 1970-an menjanda ditinggal cerai suaminya. Sejak itu, ia berkomitmen tidak menikah lagi hingga sekarang. Dia pun tidak dikaruniai seorang anak oleh Tuhan. Jadilah ia hidup sebatang kara.

“Saya beli rumah tahun 1975 di Jl. Gajah Mada. Saat itu harga rumah masih Rp150.000. Saya beli rumah dengan uang sendiri. Tapi ya rumahnya jelek,” ujarnya mengenang masa lalu.

Ada 27 Kasus Baru dari Klaster Covid-19 Bawaslu Boyolali, Ini Peta Sebarannya

Setiap hari, Riyem berjualan kerupuk lempeng dan kerupuk lumping dengan berjalan kaki. Sehari, ia bisa kulakan kerupuk hingga Rp200.000. Ia keluar dari rumah pukul 08.00 WIB kemudian berjualan di Pasar Winongo.

Setelah berjualan di pasar, Mbah Riyem kemudian berjualan dengan jalan kaki. Untuk rutenya, biasanya dari Jl. Gajah Mada, kemudian melewati Jl. Prambanan, melewati Jl. Yos Sudarso, dan rute terakhir di Jl. Sematera. Setiap hari, rata-rata nenek renta ini menyusuri jalan sepanjang sekitar 2 km.

“Saya biasanya jualan sampai di Jl. Sumatera. Setelah itu pulangnya naik becak,” kata Riyem.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya