SOLOPOS.COM - Ilustrasi ikon negara Indonesia. (Freepik)

Solopos.com, SOLO – Hasil studi terbaru menunjukkan bahwa semua orang yang mengklaim diri sebagai pribumi atau orang Indonesia asli tidak benar. Sebab berdasarkan jejak genetika yang ditinggalkan nenek moyang dalam setiap sel orang Indonesia membuktikan bahwa mereka adalah pendatang.

Oleh sebab itu klaim sebagai orang Indonesia asli terbukti tidak memiliki dasar ilmiah. Klaim itu dibuktikan oleh Sarie Febriane yang menunjukkan hasil tes DNA menunjukkan bahwa di dalam tubuhnya mengalir jejak moyang berbeda, yaitu dari Asia Tenggara (93,7%) dan Asia Timur (6,25%).

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

“Gen dari Asia Tenggara itu ada dari Thai, Malaysia, Kamboja, Burma. Semuanya 61,56%. Tapi Vietnam paling besar, yaitu 32,19%. [Gen] Vietnamnya gede banget!” ungkap jurnalis surat kabar Kompas ini, seperti dikutip dari Suara.com, Senin (16/8/2021).

Hal serupa juga dialami Wahyu Aspriyanti, yang menduga DNA-nya merupakan percampuran antara Tionghoa atau Timur Tengah. Namun rupanya di dalam darahnya mengalir campuran Filipina, Indonesia dan Melayu (64,9%). Ada pula potongan DNAnya dari Thailand dan Kamboja (33,3%).

Baca juga: Kisah Super Mom Berjuang MengASIhi di Tengah Pandemi Covid-19

Dia juga terkejut saat mengetahui ada bagian DNA-nya yang berasal dari etnis Mesoamerican dan Andean sebesar 1,8%. “[Wilayah itu] itu kayak Peru, Bolivia, Argentina, dan lain-lain, serta Andean,” jelasnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Keragaman gen itu semakin menguatkan pandangan bahwa tidak ada manusia Indonesia yang murni atau asli.

“Semua orang Indonesia adalah migran [pendatang],” kata peneliti genetika manusia dan evolusi dari Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, akhir Juli lalu.

Kesimpulan seperti ini menguatkan temuan-temuan sebelumnya pada pengetahuan arkeologi dan linguistik yang mengindikasikan bahwa nenek moyang orang Indonesia adalah pendatang.

Hasil studi genetika Eijkman Institute, yang melibatkan 70 populasi etnik di 12 pulau di Indonesia, membuktikan adanya pembauran beberapa leluhur genetik dari periode dan jalur berbeda.

Baca juga: Inilah Deretan Rumah Cebol di Demak yang Terancam Tenggelam

Migrasi Pendatang

Pradipta mengatakan pencampuran genetika di Indonesia berkaitan erat dengan aktivitas migrasi orang-orang dari daratan Asia — dimulai sekitar 50.000 tahun silam — ke wilayah yang kini disebut Indonesia.

Pengembaraan manusia modern (homo sapiens) ke Indonesia merupakan bagian kisah epik para leluhur yang keluar dari Afrika — Out of Africa — ke seluruh dunia kira-kira 150.000 dan 200.000 tahun silam.

“Tidak hanya sekali (gelombang migrasi ke Indonesia), tapi berkali-kali. Kompleks sebenarnya, cuma kita menggeneralisir kurang-lebih ada empat gelombang kedatangan,” sambung dia.

Sejak dahulu kala, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Sebelum menuju Pasifik atau ke Australia, mereka melalui atau memilih menetap di Indonesia.

Baca juga: Berawal dari Penasaran, Pria Mojosongo Solo Ini Jajal Bisnis Konsentrat Daun Kelor Sampai Dijual ke Hong Kong

Gelombang pertama, kira-kira 50.000 tahun silam, melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda — Kalimantan, Sumatra dan Jawa masih menyatu — dan mengembara sampai Papua dan Australia. Pada masa itu, daratan Papua dan Australia masih menyatu yang disebut Paparan Sahul.

“Orang-orang yang ‘keluar dari Afrika’ adalah yang pertama kali datang, ke wilayah [yang sekarang disebut] Indonesia, yang mendiami Papua dan Australia,” ungkap Pradip.

Gelombang kedua adalah orang-orang dari wilayah daratan Asia Tenggara sekitar 30.000-40.000 tahun lalu.

Para ahli mengkategorikan para pengembara ini dalam kelompok bahasa Austronesia, seperti Vietnam, Kamboja dan sekitarnya. “Mereka masuk ke Kalimantan, Sumatra, Jawa,” ungkap Pradip.

Kemudian, sekitar 5.000 atau 6.000 tahun lalu, gelombang ketiga berdatangan dari wilayah China selatan dan Formosa (kini disebut Taiwan).

Menurut Pradip, kaum imigran ini bergerak ke selatan, melalui Filipina, Kalimantan, Sulawesi, dan bergerak ke barat ke Sumatra dan ke Mentawai.

“Adapun yang bergerak ke timur, masuk ke Maluku, Papua bagian pantai, hingga mengembara ke Hawaii,” paparnya.

Baca juga: Siapa Sosok di Balik Baliho Puan Maharani di Klaten?

Dan, gelombang keempat, terjadi pada masa sejarah antara abad ketiga dan 13, yaitu ketika pedagang China, Arab dan India berdatangan ke wilayah yang kini disebut Indonesia.

“Sekarang jejak genetiknya [imigran gelombang kempat] sangat jelas, dan bisa kita lihat jejaknya di populasi-populasi yang ada di Indonesia,” ungkap Pradip.

Namun demikian, Pradip menggarisbawahi, di antara gelombang kedua dan ketiga, serta antara gelombang ketiga dan keempat, masih ada pola migrasi yang disebutnya “masih misterius” sampai sejauh ini.

“Ini yang sedang kita dalami dengan pendekatan DNA purba dari bukti-bukti fosil sekian ribu tahun silam,” tandasnya.

Dalam perjalanannya, saat penyebarannya berlangsung di wilayah Indonesia, terjadilah pembauran antar manusia dengan latar perbedaan secara DNA.

Baca juga: 6 Cara Membersihkan Rumah Setelah Isolasi Mandiri

Asal-Usul Manusia Indonesia

Seperti terekam dalam acara kajian sains ‘Asal Usul Manusia Indonesia’ yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eijkman Institute dan Historia.id, dua tahun silam, pembauran itu membuat komposisi gen ikut berubah — selain tampilan fisik, kebiasaan, bahasa dan bahasa.

Periode perubahan gen masyarakat Indonesia disebutkan berlangsung selama ribuan tahun. Selain hubungan pernikahan, perubahan itu disebabkan aspek lingkungan, kebiasaan, makanan, dan aneka jenis interaksi lainnya.

Acara diskusi dan pameran ‘Asal-Usul Orang Indonesia’ itu mendapat sorotan media secara luas, karena pihak penyelenggara juga menampilkan hasil tes DNA sukarelawan seperti Najwa Shihab, Grace Natalie, Ayu Utami hingga Ariel Noah.



Saat acara itu digelar, situasi perpolitikan di Indonesia masih diwarnai isu agama, ras dan etnisitas akibat perhelatan pilpres yang membuat masyarakat terpecah. Inilah yang mendasari digelarnya acara itu.

“Situasi politik kita dan kenyataan masyarakat Indonesia yang beragam itu sangat rentan konflik,” kata Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah Historia, salah-seorang penggagasnya.

Baca juga: Gunung Merapi Erupsi Pagi ini, Boyolali dan Magelang Diguyur Hujan Abu

Faktanya, sebagian politikus menggunakan sentimen agama dan etnis sebagai komoditi politik. Hal ini, menurut Bonnie, bertentangan dengan Konstitusi yang tidak mengakui ras, etnis atau agama tertentu saja.

“Tidak ada [warga] asli, pribumi, non-pribumi. Seorang individu diakui sebagai WNI karena status hukumnya, karena dia memang WNI. Jadi kewarganegaran kita jelas, tidak mengakui satu ras, etnis, agama tertentu,” kata Bonnie kepada BBC News Indonesia, akhir Juli lalu.

Bonnie lantas teringat proyek pseudo sains yang digagas Adolf Hitler untuk melegitimasi ras Arya lebih unggul dari ras-ras lainnya. Proyek rezim fasis Nasi Jerman itu berusaha mencari asal-usul kemurnian.

“Nah, sebaliknya, justru kami mencari asal-usul keberagaman,” sambung dia.

Di sinilah, penyelenggara memulai proyeknya dengan memilih beberapa warga Indonesia dari berbagai latar untuk diuji DNA-nya.

“Kami membutuhkan satu metode pengujian yang secara sainstifik itu hampir kecil kemungkinan untuk dibantah atau dipatahkan,” ungkap Bonnie saat ditanya kenapa memakai metode uji DNA.



“Kenapa tidak terbantahkan? Karena ini [DNA] ada dalam tubuh Anda. Bagaimana membantah apa yang ada di dalam tubuh Anda sendiri,” tambahnya, seraya tertawa kecil.

Baca juga: Semlidhut… Kuliner Pindang Kambing Ini Hanya Ada di Wonogiri Hlo

Jika memakai pendekatan sejarah, Bonnie khawatir akan diputar balik, karena “sejarah itu perspektif dan selalu ada bias politik.”

Kesimpulan dari uji tes DNA tersebut, menurutnya, bahwa wilayah yang disebut Indonesia sejak dahulu kala merupakan tempat persilangan dan membuka peluang bagi orang-orang untuk saling berinteraksi.

“Dan terjadilah kawin-mawin sehingga, menurunkan orang Indonesia sekarang. Contoh Najwa Shihab, yang dia sendiri mengaku ketika sekolah diejek yang sangat rasialis, onta Arab, atau apalah, ternyata dia cuma 3% Arabnya, sebagian besar dia dari Asia selatan,” tambah Bonnie.

Dengan kata lain, kesimpulan hasil uji tes DNA itu, membuktikan bahwa keberagaman itu tidak hanya dalam level masyarakat, tapi ada pada level seseorang sebagai seorang individu.

“Setidaknya, kita punya sesuatu untuk dibuktikan secara sainstifik bahwa di dalam tubuh kita mengalir berbagai macam genetika.”





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya