SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto Abdi dalem mempersiapkan sesaji saat akan digelar doa keselamatan untuk proses peremajaan cat pada prasasti penghormatan masyarakat Tionghoa di Yogyakarta yang dipasang di sisi timur Bangsal Trajumas, Komplek Keraton Ngayogyakarta, Kamis (16/10/2014). Karena pendudukan Jepang dan Agresi Militer Belanda II maka prasasti itu baru dapat dipersembahakan pada 18 maret 1952 sebagai bentuk penghormatan dan terimakasih atas penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 18 maret 1940.

Harianjogja.com, JOGJA-Prasasti persembahan dari masyarakat Tionghoa Jogja yang terletak di depan Tepas Dwarapura, Kraton Jogja pada Kamis (16/10/2014) diperbaiki. Upaya ini dilakukan sebagai simbolisasi dapat diraihnya harapan baru di masa depan.

Sebelum dilakukan perbaikan, Mas Riyo Bupati Anom Danusasminto melakukan ritual berupa pembakaran dupa di depan batu prasasti persembahan dari masyarakat Tionghoa. Selain itu, terdapat pula sesaji berupa buah-buahan seperti pisang raja, nanas dan jajanan pasar di antaranya wajik, jadah, jenang putih. Dalam sesaji itu disertakan pula selembar uang Rp1.000.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sesaji buah sebagai simbol pengharapan semoga apapun itu berbuah kebaikan,” ujar Danu.

Begitu ritual selesai dilakukan, pengecatan prasasti dilakukan. Kendati demikian, pengecatan tidak dilakukan pada prasasti persembahan tersebut, melainkan pada dua prasasti tambahan. Prasasti tambahan itu dibangun pada 2007, sebagai terjemahan isi prasasti persembahan yang ditulis dengan huruf kanji Tionghoa dan Jawa. Satu prasasti tambahan itu berbahasa Indonesia, dan satu lainnya berbahasa Inggris.

Bernie M Liem,menantu dari salah seorang pemberi prasati tersebut, Liem Ing Hwie, mengatakan perbaikan prasasti persembahan hanya dilakukan pada bagian konstruksi penyangganya dengan relief naga sebagai simbol tolak bala. Lebih jauh, Liem menyampaikan  prasasti itu diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat dinobatkan sebagai Raja pada 1940. Karena saat itu masih perang, prasasti baru dibangun pada 1952.

“Itu tanda penghormatan masyarakat Tionghoa kepada HB IX. Kini kami berharap masyarakat Tionghoa tetap dapat hidup rukun di Jogja,” ujarnya

Tan Hae Ping, perajin batu nisan asal Semarang yang melakukan pengecatan prasasti itu mengatakan prasasti persembahan pada HB IX tersebut perpaduan dari ukiran khas Jawa dan Tiongkok. Hal ini terlihat dari bagian muka yang terdapat relief gajah, naga liong dan burung hong.

“Itu simbol laki- laki dan perempuan, sedangkan gajah adalah bukti digunakannya hewan itu sebagai kendaraan kala itu,” ujarnya.

Sedangkan pada bagian belakangnya bertuliskan huruf jawa. Menurut dia, batu dikirim langsung dari China. Batu prasasti itu adalah batu yang biasa untuk makam, yang ketika membeli relief naga liong dan burung hong sudah menjadi satu paket. Karenanya, dapat dipastikan ukiran Jawa itu ditambah sendiri oleh perajin asal Jawa.

“Batu dari Cina pori-porinya tak selonggar batu sini, sehingga lebih awet,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya