SOLOPOS.COM - ilustrasi

Harianjogja.com, SLEMAN—Sejumlah aktivis, mantan aktivis, hingga dosen mengakui redupnya gerakan mahasiswa di Jogja. Sejumlah organisasi mahasiswa tak dimobilisasi secara masif untuk memengaruhi situasi politik nasional. Kepedulian mahasiswa terhadap situasi terkini dinilai cenderung menurun. Padahal, peran mahasiswa sebagai salah satu kelompok kelas menengah sangat penting dalam perubahan politik di Indonesia. Apa saja penyebab gerakan mahasiswa saat ini tidak terasa?

Budaya Populer Menggerogoti
Syahrul Aksa, dosen STMD APMD menilai budaya populer menggerogoti kekuatan gerakan mahasiswa. Keberadaan kelompok diskusi yang membahas persoalan negara sudah tidak seperti belasan tahun silam ketika dirina masih kuliah.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

“Perbedaan paling terasa adalah sekarang mahasiswa enggan membaca buku atau literatur sehingga terjadi pendangkalan dalam memahami setiap soal persoalan. Malah di kelas pun suasananya juga pasif. Ini berlaku di beberapa kampus,” ujar Syahrul beberapa waktu lalu.

Ingin Cepat Lulus
Widihasto Wasana Putra, mantan aktivitas Front Mahasiswa Peduli Rakyat (Fampera) mengatakan mahasiswa sekarang cenderung ingin cepat lulus dan cari kerja.

“Sehingga kurang menaruh perhatian dalam merespons isu- isu sosial,” ujar dia kepada Harianjogja.com, Sabtu (11/10/2014).

Kondisi itu menurut dia tak luput dari sistem pendidikan yang membatasi tahun kelulusan mahasiswa. Belum lagi, biaya kuliah kian mahal.

“Akibatnya, pasti mahasiswa ditegur orang tua kalau tidak lulus. Mereka menjadi pragmatis,” kata mahasiswa Fisipol Atma Jaya Jogja angkatan 1993 tersebut.

Ospek Ajang Balas Dendam
Selain itu, kegiatan di kampus tidak mengasah kepekaan sosial maupun politik mahasiswa. Widihasto Wasana Putra, mantan aktivitas Front Mahasiswa Peduli Rakyat (Fampera) mencontohkan ospek yang hanya menjadi ajang balas dendam dari seniornya. Menurutnya mahasiswa baru hanya dikerjain untuk berpakaian atau membawa barang yang aneh-aneh dan hal.

“Seharusnya koginisinya yang digembleng, seperti berani pidato, melatih jiwa kepemimpinan, atau dilatih untuk menganalisisi persoalan sosial,” ujarnya.

Ada Perubahan Situasi Politik
Aktivis mahasiswa era-1980, Brotoseno menilai perubahan situasi politik turt mengubah wajah gerakan mahasiswa.

“Ketika zaman Soeharto [Orde Baru], kami mengkritik pemerintah sedikit, pasti ditangkap. Tetapi ketika zaman SBY [Susilo Bambang Yudhoyono], kritik tidak dianggap,” ungkap Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Jogja tersebut.

Selain itu, pada saat dia menjadi mahasiswa, ada satu tujuan besar, yakni menghentikan pemerintahan otoriter. Dalam situasi saat ini, imbuhnya, gerakan mahasiswa harus lebih radikal dan independen, tidak dipimpin dan tidak dikomando oleh siapapun kecuali oleh hati nurani mahasiswa.

Terima Orderan
Gejala yang menggerogoti kekuatan gerakan mahasiswa juga tumbuh di Jogja. Andie, Kartolo, mantan aktivis mahasiswa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan sejumlah aktivis mahasiswa sekarang tak lagi murni bergerak berdasarkan pemikiran dan pertimbangan sosial dan politik. Beberapa aktivis mahasiswa menerima order demonstrasi dari pihak tertentu.

“Kami terjejut ketika mendengar ada mahasiswa yang berdemonstrasi karea dibayar. Mereka bilang kalau hanya tangan kosong [tanpa uang], tidak bisa menjamin dapat peserta aksi,” ujar dia.

Menurut dia biaya setiap demonstrasi yang diikuti 100 mahasiswa sekitar Rp6 juta. Biaya tersebut untuk keperluan konsolidasi jaringan, rapat-rapat guna mendiskusikan isu yang akan diusung dan logistik pergerakan

Siapakah Musuh Terbesar Itu?
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM Aditya Herwin Dwi Putra menegaskan tidak ada yang berubah dari semangat mahasiswa dalam mengobarkan pergerakan. Meski demikian, ketiadaan musuh bersama menjadi alasan  mengapa aksi-aksi mahasiswa saat ini hanya berskala kecil.

“Kalau enggak ada pihak yang bisa dibilang sebagai musuh bersama, BEM susah memobilisasi kekuatan yang besar,” paparnya.

Aditya juga menyadari kekuatan unsur mahasiswa di Jogja saat ini terpecah, terutama menyangkut isu UU Pilkada. Meski banyak yang mengecam DPR, tapi ada juga unsur BEM kampus lain yang mendukung keputusan DPR.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya