SOLOPOS.COM - Tembok Keraton Kartasura. (Dok Solopos)

Solopos.com, SOLO — Geger Pecinan di Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Keraton Kartasura tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Kota Solo pada 17 Februari 1745 lalu. Setelah peristiwa itu, Keraton Kartasura rusak sehingga penguasa saat itu, Paku Buwono (PB) II memutuskan mencari lokasi baru untuk pusat pemerintahan kerajaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seperti diketahui, pusat Kerajaan Mataram kemudian dipindahkan ke Desa Sala di tepi Sungai Bengawan Solo dengan raja bertakhta di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Mengenai Geger Pecinan, ada dua tokoh sentral, yakni PB II, penguasa Mataram Islam yang berafiliasi dengan Belanda dan Sunan Kuning yang memimpin pasukan gabungan Jawa-Tionghoa.

Cerita berawal dari pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740. Kebijakan Gubernur Jenderal Batavia saat itu, Adriaan Valckenier, membuat banyak orang Tionghoa eksodus.

Baca Juga: Sejarah Solo: Saat Keraton Pindah 1745, Amerika Masih Koloni Inggris

Warga etnis Tionghoa itu pergi ke daerah timur, di kawasan pesisir. Setelah itu mereka mulai masuk ke daerah pedalaman dan menggalang kekuatan untuk melawan Belanda.

Menurut ketua komunitas pencinta dan pegiat sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, menuturkan kabar memberontaknya orang-orang Tionghoa kepada Belanda didengar PB II yang merupakan penguasa Kerajaan Mataram Islam di Kartasura.

“Saat itu Paku Buwono II menganggap, mungkin menurut persepsinya saat itu, seperti yang tertera di banyak sekali manuskrip, menjadi satu potensi kekuatan yang bisa digunakan untuk mengusir Belanda,” terangnya saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (2/2/2022).

Baca Juga: Sama-sama Kerajaan Mataram, Apa Perbedaan Keraton Solo dan Yogyakarta?

Pasukan Tionghoa Kuasai Benteng Belanda di Kartasura

Dengan pertimbangan itu, PB II bersedia bergabung dan membantu perlawanan orang-orang Tionghoa. Menurut Dani, saat itu PB II sempat mengirim pasukan perangnya yang dipimpin Patih Pringgoloyo.

Walau beberapa pertempuran berhasil dimenangi, pada akhirnya Belanda yang memenangi peperangan. Kondisi itu membuat PB II khawatir kekalahan dalam peperangan akan berefek pada legitimasinya sebagai raja.

“Akhirnya PB II disarankan beberapa penasihatnya supaya melakukan rekonsiliasi dengan pemerintahan Belanda. Sikap PB II berbalik arah [membelot ke Belanda] dan malah menumpas pemberontakan orang-orang Tionghoa yang memberontak kepada Belanda,” urainya menceritakan sejarah Geger Pecinan di Kartasura.

Baca Juga: Asal Usul Keraton Solo, dari Kartasura Rusak Jadi Surakarta

Dani menjelaskan pada waktu itu orang-orang Tionghoa yang melakukan pemberontakan pada Geger Pecinan sempat mencapai jantung pemerintahan di Kartasura. Bahkan dikisahkan mereka sudah berhasil menguasai benteng Belanda di Kartasura.

“Di Babad Giyanti diceritakan bahkan mereka sudah berhasil menguasai benteng Belanda di Kartasura. Tapi karena situasi berubah, di medan perang kalah terus, PB II berbalik arah untuk menyelamatkan kekuasaannya,” katanya.

Penumpasan orang Tionghoa yang memberontak memunculkan ekses politik di Kerajaan Mataram. Banyak sekali pembesar kerajaan itu yang tidak menyetujui sikap PB II yang membelot mendukung Belanda.

Baca Juga: Pemkab Sukoharjo Didesak Revitalisasi Kawasan Keraton Kartasura

Mereka menggunakan salah satu kekuatan di Mataram untuk melakukan perlawanan. Putra Pangeran Tepasana, RM Garendi, yang masih remaja dijadikan simbol perlawanan terhadap Mataram. RM Garendi adalah keponakan PB II sekaligus cucu Amangkurat III.

Pembalasan PB II

Menurut Dani, kerabat Kerajaan Mataram Kartasura yang membantu RM Garendi salah satunya RM Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian menjadi Mangkunagoro I. Pangeran Sambernyawa menyimpan dendam terhadap Mataram Kartasura. Mereka lalu bergabung dengan laskar Tionghoa.

Berdasarkan informasi di laman Wikipedia yang menceritakan Geger Pecinan, pada 30 Juni 1742, pasukan Sunan Kuning atau RM Garendi berhasil menjebol benteng Keraton Kartasura. Penjebolan itu dilakukan dengan menggunakan meriam yang bekasnya bisa dilihat hingga sekarang.

Baca Juga: Ronggowarsito, Peramal Ulung dari Keraton Solo

PB II dan keluarganya dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff, pemimpin tentara kolonial VOC di Kartasura. Mereka melarikan diri ke Magetan melalui Gunung Lawu. Pada 1 Juli 1742, Sunan Kuning dinobatkan sebagai penguasa Keraton Kartasura dengan gelar Sunan Amangkurat V.

Setelah berkuasa, Amangkurat V bermaksud menggempur pasukan Belanda di Semarang. Ia mengirim 1.200 prajurit gabungan etnis Jawa dan Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko).

Namun, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat V di Welahan. Kondisi Amangkurat V yang kehilangan banyak pasukan dimanfaatkan PB II merebut kembali Keraton Kartasura.



Baca Juga: Sosok Sunan Kuning, Tokoh Jawa-Tionghoa Penantang Kolonialisme Belanda

Pada 26 November 1742, PB II dibantu Cakraningrat IV dari Madura menyerang Kartasura dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda dari arah Ungaran dan Salatiga. PB II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dan memaksa Amangkurat V atau Sunan Kuning meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke selatan bersama pasukannya.

Pada 1743, Amangkurat V terpisah dari rombongannya dan terjebak di Surabaya. Di sana, ia ditangkap oleh VOC dan ditawan ke Semarang lalu ke Batavia dan akhirnya diasingkan ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).

Siapa Sunan Kuning?

Laman Wikipedia menulis Sunan Kuning atau Amangkurat V atau Raden Mas Garendi yang lahir 1726 adalah cucu Amangkurat III dari Kerajaan Mataram Islam. Dia adalah putra dari Pangeran Tepasana. Saat Geger Pecinan di Kartasura terjadi, RM Garendi masih berusia 14 tahun dan 16 tahun saat diangkat menjadi raja.

Baca Juga: Sunan Kuning Si Penyebar Islam di Semarang, Begini Riwayatnya

Masa kecil Sunan Kuning diwarnai konflik berdarah yang mengakibatkan kematian ayahandanya. Setelah sang ayah wafat, Raden Mas Garendi dibawa lari menyelamatkan diri oleh pamannya bernama Wiramenggala.

Mereka melintasi Gunung Kemukus menuju Grobogan. Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Garendi lantas dipungut anak oleh He Tik.

Dalam Babad Kartasura II yang diunggah laman arpus.sragenkab.go.id, diceritakan Raden Mas Garendi sebagai remaja berparas tampan. “Akan halnya Raden Mas Garendi, memang rupawan. Kebagusannya sudah terkenal di mana-mana, apalagi banyak ceritera-cerita yang turut meramalnya. Bahwasanya seorang bangsawan yang bijaksana, lagipula baik hatinya. Adalah tidak mustahil, banyak kawula yang mengabdikan diri pada Raden Mas Garendi,”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya