SOLOPOS.COM - Petugas medis di Gedung Pinere, RSUP Persahabatan, Jakarta, Rabu (4/3/2020), menangani pasien dalam pengawasan terkait virus corona. (Antara-Hafidz Mubarak A)

Solopos.com, JAKARTA -- Pabrik tekstil dan garmen mengungkapkan proses produksi APD (alat pelindung diri) dan masker terancam berhenti dalam waktu dekat. Padahal permintaan APD dan masker di pasar masih sangat tinggi di tengah pandemi Covid-19.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan saat ini hanya 20 pabrik atau 3 persen dari total pabrik garmen nasional yang memproduksi APD dan masker berstandar medis. Selebihnya, 97 persen pabrik garmen lainnya memproduksi APD dan masker yang tidak berstandar medis.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

"[pabrik garmen] Yang 3 persen ini masih bisa produksi, tapi yang 97 persen ini tidak dan mereka dihadapkan pada tekanan cash flow. Industri harus tetap bayar BP Jamsostek, cicilan bank, dan lainnya," kata Sekretaris Jenderal API Rizal Rakhman kepada Bisnis, Jumat (17/4/2020).

Didesak Kepala Daerah, Luhut Tolak KRL Jabodetabek Dihentikan

Rizal menambahkan parikan garmen saat ini sulit mendapatkan bahan baku. Pasalnya, sebagian besar pusat peritel bahan baku garmen, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Baru, dan Pasar Cigondewah, telah tutup. Dengan kata lain, arus kas industri antara TPT juga tertekan mengingat serapan kain di pasar tersendat.

Adapun, Rizal menyatakan arus kas rata-rata pabrikan saat ini hanya mampu menjaga proses produksi maksimal hingga medio kuartal III/2020. "Sebentar lagi kan bayar THR [Tunjangan Hari Raya], terus kami tidak punya yang. Pasar Tanah Abang tutup, toko-toko ritel tutup."

Rizal menyampaikan utilitas pabrik garmen yang melakukan produksi APD dan masker berstandar medis pun tidak optimum. Pasalnya, pabrikan garmen tersebut hanya menambahkan lini produksi APD dan masker, melainkan hanya mengalihkan produksi dan sewaktu-waktu bisa berhenti.

Puluhan Dokter RSUP Kariadi Semarang Diduga Tertular Covid-19 dari Pasien Bedah

Dengan kata lain, utilitas pabrikan garmen yang memproduksi APD dan masker belum menembus level 90 persen. Utiltias pabrik hanya di sekitar 70-80 persen.

Rizal menilai melemahnya kegiatan produksi pada pabrik garmen dapat membuat proses produksi APD dan masker terhenti dalam waktu dekat.

"Mereka [pabrikan garmen] juga butuh industri weaving dan kain. Kalau supply chain-nya terganggu, pasti mempengaruhi [produksi APD dan masker]. Apalagi, kalau pemerintah jadi memakai APD polyester itu," katanya.

46 Tenaga Medis RSUP Kariadi Semarang Positif Corona, IDI Desak Tes Swab Massal

Hanya Produksi Sampai Juni

Sebelumnya Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta bahkan mengatakan daya guna pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional saat ini berada di level 30 persen. Lalu akan turun ke posisi 20 persen pada bulan depan.

Menurutnya, peralihan lini produksi untuk menghasilkan APD dan masker tidak dapat menutupi kontraksi pasar. Dengan terganggunya arus kas itu, maka produksi APD dan masker pun terancam berhenti dalam waktu dekat.

"Untuk saat ini [produksi APD dan masker] masih aman. [Akan tetapi,] beberapa pabrikan ada yang sudah bicara [hanya mampu menjaga kelangsungan produksi APD dan masker] sampai Juni 2020," kata kepada Bisnis, Kamis (16/4/2020).

13 Pasien Covid-19 Dirawat di 4 RS Kota Solo, Ini Sebarannya

Redma menjelaskan bahwa rendahnya daya guna pabrikan TPT nasional disebabkan oleh masifnya jumlah pabrikan yang menghentikan produksi secara total. Sementara itu, pabrikan yang masih beroperasi memiliki utilitas di ambang batas atau di level 60 persen.

Saat ini, lanjutnya, pabrikan mengalihkan seluruh arus kas yang tersedia untuk memproduksi APD dan masker. Namun demikian, Redma berujar produksi APD dan masker akan berhenti jika daya guna berada di bawah level 60 persen.

Jika pabrik tekstil menghentikan produksi, pabrik garmen tidak akan mendapatkan bahan baku sehingga produksi APD dan masker juga terancam berhenti. Oleh karena itu, Redma menilai bahwa relaksasi dibutuhkan tidak hanya bagi mereka yang saat ini masih berproduksi. Relaksasi juga perlu bagi mereka yang saat ini tutup dan diperlukan untuk kembali beroperasi pasca pandemi Covid-19 berakhir.

2 Staf Milenial Jokowi Dikecam Publik, KSP: Tunggu Keputusan Presiden!

Relaksasi Lamban

Sebelumnya, APSyFI telah meminta beberapa relaksasi kepada pemerintah pada masa pandemi terkait dengan pembayaran rekening listrik, gas, moneter, BPJS Ketenagakerjaan dan perpajakan. Menurut Redma, pihaknya telah menyampaikan surat secara resmi ke beberapa kementerian dan lembaga terkait hal ini, tetapi hingga saat ini masih minim tindak lanjut.

“Karena kami harus prioritaskan pembayaran upah karyawan dan THR [tunjangan hari raya]-nya, kalau semua kewajiban biaya tetap dibebankan, sedangkan pemasukan tidak ada, kami bayar pakai apa? Nanti banyak perusahaan akan pailit,” ujarnya.

Redma berujar telah melakukan dialog dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., dan BPJS Ketenagakerjaan terkait dengan penundaan pembayaran tagihan. Namun, lanjutnya, ketiga badan usaha milik negara tersebut masih belum merespons dialog asosiasi.

Sempat Ditolak, PSBB Kota Tegal Disetujui Menkes Terawan



Selain itu, katanya, sektor perbankan sangat lambat merespons arahan relaksasi pembiayaan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada masa pandemi. "Padahal, ini kan kondisi bencana luar biasa!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya