SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Muhammad Wahidi, Peneliti di Lingkaran Metalogi dan Filsafat Islam, Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Islam adalah agama rahmatallil’alamin. Interpretasi rahmatallil’alamin Islam harus inklusif, dinamis, kontekstual pada setiap fase, tak terkecuali Islam yang tetap eksis di tengah modernitas seperti saat ini. Problem-problem kehidupan yang beragam dan kompleks secara otomatis mesti dijawab oleh Islam sebagai roh dan napas umat Islam. Di tengah gencarnya modernitas dan kapitalisme, tak pelak umat Islam dirasuki mental hedonistik-materialistik, sehingga yang terjadi akhir-akhir ini budaya rakus, menelikung, menerima suap, korupsi semakin marak bak jamur di musim hujan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kondisi demikian begitu booming di negeri ini. Korupsi telah menjadi entitas dan menjadi paradigma berpikir para pejabat pemerintahan. Korupsi dijadikan usaha dagang untuk mermperoleh laba lebih banyak dari gaji yang diterima. Tak ayal, frekuensi perilaku korupsi semakin meningkat dari waktu ke waktu. Padahal, Islam secara tekstual mengharamkan pencurian atau pengambilan barang yang bukan haknya.

Pejabat negara seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, salah satu bukti kuat di mana pejabat tidak lagi mempunyai harga diri, moralitas dan pegangan agama. Kehausan memperkaya diri berselimut di atas dasar-dasar Islam yang secara tegas mengajarkan ikhtiar baik. Islam telah mengklasifikasi antara yang hak dan yang batil (alhaq wa albathil), antara yang halal dan dan yang haram (alhalalu bayyinun wa alharamu bayyinun).

Tetapi, Inilah gejala mutakhir yang amat santer dipersoalkan. Hukum negara tidak ampuh untuk memberantas korupsi dan menghukum para pelakunya, karena diakui atau tidak hukum di negeri ini masih menjadi siluman dalam penegakannya. Kadang hukum keras dan kadang lunak tergantung permintaan dan kekuatan uang. Apabila mengacu pada teori hukum rule of law, yaitu persamaan derajat di depan hukum (equality before the law), hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh para penegak hukum. Tetapi, korupsi kadung menjadi sindrom dan penyakit kronis pejabat negara yang undang-undang tidak cukup kuat untuk menyentuhnya.

 

Kritik Islam

Dalam perspektif Islam, korupsi sebagai hal munkar dan melaknat pelaku korupsi. Korupsi disebut munkar karena mengakibatkan kerusakan dan kemiskinan. Secara terminologis korupsi berasal dari bahasa latin corruption yang bermakna perubahan atau penurunan korelasinya dengan kekuasaan dan uang. Lebih luas korupsi juga berarti penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Istilah korupsi dalam islam banyak kemiripan meskipun tidak sepadan, seperti, ghulul (pengkhianatan kebijakan), risywah (upah atau suap), alhirabah (merampas harta hak orang lain), dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut secara umum dalam Islam sebagai bagian dari sikap koruptif yang dilarang dalam Islam. Meurut Syed Hosein Alatas, korupsi amat erat dengan penyuapan dan nepotisme yang berhubungan dengan kebijakan publik di bawah kepentingan privat dengan pelanggaran norma-norma dan kesejahteraan.

Kesejahteraan sebuah negara akan tersendat ketika dilanda penyakit korupsi. Uang negara diselinap suap untuk kepentingan pribadi, kelompok, tidak untuk kepentingan publik dan kesejahteraan sosial. Transaksi suap menyuap untuk memudahkan sebuah persoalan juga menjadi bagian dari perilaku korupsi, karena akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Perilaku semacam ini yang amat dibenci oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda “siapa saja yang telah aku angkat dalam suatu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi” (HR. Abu Daud). Pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang berhubungan dengan jabatannya. Makna pemberian karena jabatan akan menjurus pada penyalahgunaan wewenang yang memang diharapkan oleh si pemberi.

Nabi Muhammad telah mengajarkan pemberantasan korupsi semasa hidupnya. Beliau tampil sebagai insan kamil dengan keteladanan membenci pencurian, pengambilan harta orang lain yang bukan haknya. Dalam sebuah riwayat, Nabi memerintahkan kepada para sahabat untuk menyalatkan sahabat yang mati dalam perang khaibar, “salatkanlah kawanmu itu”. Para sahabat kaget atas perintah Nabi. Padahal, orang yang mati dalam perang dalam menegakkan agama islam (fisabilillah) ia mati syahid dan tidak usah disalatkan karena dosanya telah diampuni. Kemudian Nabi bersabda ”kawanmu itu korupsi”.

Itulah kritik yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat sekaligus kritik Islam. Korupsi amat dibenci dan tidak dapat ditoleransi sedikit pun. Korupsi sebagai penyebab kemiskinan, kemelaratan, kemunafikan, kejahatan yang berantai sehingga korupsi harus diberantas sampai keakarnya.

 

Budaya Antikorupsi

Upaya untuk memberantas korupsi tentu tidak mudah. Harus dengan kerja keras dan konsisten, yaitu salah satunya dengan membudayakan perilaku antikorupsi. Budaya antikorupsi yang patut mendapat apresiasi adalah khalifah kedua, Umar bin Khattab. Pada suatu saat beliau terlambat menjadi khatib salat Jumat “maaf saya terlambat karena kemeja ini, saya mesti menunggu kering karena saya tak memiliki kemeja lain.”

Keterlambatan Sayyidina Umar karena 21 tambalan kemejanya, bukan karena yang lain. Satu kemeja bukan berarti beliau tidak mampu untuk membeli, tetapi gambaran kesederhanaan sebagai seorang pemimpin di tengah gelimangan harta dan kekuasaan.

Budaya antikorupsi yang juga diperlihatkan Umar, ketika beliau menolak sebuah hadiah makanan dari gubernur Azerbaijan. Penolakan tersebut atas dasar beliau tidak butuh dengan makanan tersebut karena amat mewah dan mengirim kembali makanan tersebut diiringi pesan “takutlah kepada Allah dan kenyangkan rakyat lebih dahulu dengan makanan yang biasa kamu makan”.

Tidak hanya Umar, budaya antikorupsi juga dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Pada malam hari, di tengah kesibukan beliau mengurusi urusan negara, putranya mengajak mendiskusikan suatu persoalan dan beliau mematikan lampu. Sang putra bertanya “kenapa lampu dipadamkan? Bukankah lebih baik berbincang-bincang dengan lampu terang?”

Khalifah Umar menjawab, “lampu yang kita pakai adalah milik negara, minyak milik negara, lebih baik kita menyalakan lampu milik kita, uang kita”. Sebuah jawaban yang amat simpel tetapi menunjukkan suatu komitmen diri seorang pemimpin bagaimana menempatkan sebagai pribadi dan sebagai pejabat sebuah negara. Sifat dan sikap seperti ini yang harus dibudayakan oleh pemimpin negara dalam upaya memberantas korupsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya