SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Selama lebih dari setahun terakhir ini, baru sekali saya terbang naik Garuda Indonesia. Selama pandemic Covid-19, terus terang saya tak berani naik pesawat. Mobilitas antarkota selalu menggunakan mobil pribadi karena menghindari risiko tertular penyakit.

Tapi, untuk sebuah urusan ke Bali, April 2021 lalu, saya terpaksa naik pesawat. Solo-Denpasar relatif sulit dijangkau dengan perjalanan darat dalam waktu singkat. Pilihan saya adalah terbang dengan Garuda, bukan maskapai yang lain.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ini karena protokol kesehatan di Garuda relatif lebih ketat. Tempat duduk penumpang dibatasi berselang seling, maksimal 50% dari kapasitas. Karenanya, saya merasa lebih nyaman dan aman.

Selama pandemi Covid-19, perusahaan penerbangan, termasuk Garuda, terjepit dari berbagai sisi. Selain pembatasan jumlah penumpang dalam satu penerbangan, jumlah dan frekuensi penerbangan juga turun drastis akibat pembatasan mobilitas manusia selama pandemi.

Saat ini Garuda hanya mengoperasikan 53 pesawat dari total 142 pesawat. Banyak orang yang tadinya menjadi frequent flyer, tiba-tiba nggak pernah terbang lantaran pandemi. Tentu saja, setelah setahun lebih menghadapi kondisi seperti itu, Garuda babak belur.

Akibatnya, roda komersial perusahaan flagship alias pembawa bendera Indonesia itu benar-benar nyaris berhenti berputar. Bahkan, penjualan kursi Garuda sempat hanya 10% dibandingkan dengan situasi normal.

Terakhir sebelum bulan puasa lalu, sempat bergerak naik 20%-30%. Lalu turun lagi setelah pembatasan perjalanan di seputar Lebaran lalu. Buku Garuda pun berdarah-darah. Rapor Garuda merah karena pendapatan operasional anjlok.

Total pendapatan Garuda hanya mencapai US$1,13 miliar per September 2020. Angka itu hanya sepertiga dari pendapatan selama tiga kuartal pertama tahun 2019 yang mencapai US$3,54 miliar.

Penurunan pendapatan itu tak mampu tertutupi oleh upaya efisiensi dari penghematan beban usaha dan beban operasional. Bahkan, berbagai tunjangan pegawai dan crew udara Garuda pun tidak dibayarkan semenjak pandemi. Namun, maskapai berkode GIAA di Bursa Efek Indonesia itu tetap tekor.

Angkanya nggak main-main. Berdasarkan laporan keuangan kuartal III/2020, perseroan ini mengalami rugi bersih sebesar US$1,07 miliar atau Rp16,03 triliun. Kondisi sampai Mei tahun ini tidak membaik karena pandemi yang berkepanjangan.

Operasional Garuda hanya mampu membukukan pendapatan US$50 juta per bulan, dengan beban biaya hingga US$150 juta setiap bulan. Akibatnya, kerugian Garuda melebihi Rp1 triliun per bulan.

Kondisi ini menyebabkan arus kas Garuda terus tergerus. Manajemen Garuda terpaksa harus menambal operasional dengan membuat pinjaman sedikitnya Rp1 triliun setiap bulan. Kompleksitas masalah yang dihadapi Garuda bertambah karena ada akumulasi persoalan masa lalu, terutama pembiayaan sewa pesawat yang mahal, serta beban operasional yang masih besar.

Anda tahu, dari total 142 pesawat Garuda sebelum pandemi Covid-19, 136 di antaranya adalah pesawat sewa. Hanya enam pesawat yang benar-benar milik perseroan. Beban sewa pesawat yang setahun terakhir pembayarannya ditunda itu menimbulkan masalah baru.

Kini Garuda harus berurusan dengan lessor yang selama setahun terakhir "ditunda" pembayarannya, yang akibatnya hari ini berdampak pada operasional karena pesawat tidak boleh diterbangkan.

Jelas, persoalan yang dihadapi Garuda makin kompleks. Kian rumit akibat rentetan dampak pandemi. Dan, seperti biasa, Garuda menjadi bahan bully-an yang empuk. Semua rapor masa lalu keluar. Sayangnya, bukan yang baik-baik, tetapi yang buruk-buruk.

***

Saya tiba-tiba mengingat percakapan dengan Ignasius Jonan pada tahun 2014. Saat itu, masa tugas Jonan sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia baru saja berakhir.

Nama Jonan kala itu benar-benar melambung, lantaran banyak pihak menganggap CEO yang berlatar belakang finansial itu sukses besar mengubah PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Wajah kereta api berikut prasarananya, termasuk stasiun-stasiun di banyak kota, berubah total. Lebih bersih, nyaman, aman, dan tentu saja PT KAI lebih profitable secara komersial.

Lalu, kami berbincang-bincang ke mana Jonan setelah pensiun dari PT KAI? Saya bercanda dengan Jonan saat itu, bahwa dia akan ditugaskan sebagai Direktur Utama Garuda. Dengan bercanda pula, Jonan bilang nggak mau jadi Direktur Utama Garuda.

"Kalau ngurusin PLN saya pertimbangkan." Begitu kira-kira Jonan berkata. Kenapa? Tentu saya bertanya itu. Jonan menjelaskan kalau PLN mati, seluruh rakyat Indonesia akan menderita, karena tidak ada lampu. Tidak ada energi. Bisnis akan mati suri. Begitu seterusnya. Intinya, efek bergandanya luas sekali.

Dan, dengan bercanda pula, Jonan menambahkan, kalau Garuda berhenti, ekonomi tetap akan berjalan. Manusia tetap akan bisa bepergian naik pesawat, mengingat masih ada pesawat yang lain. Saya jelas mengiyakan logika Jonan. Tapi, tentu saja, bukan berarti sependapat sepenuhnya.

Obrolan sambil lalu itu kemudian berlalu begitu saja. Jonan tidak menjadi Direktur Utama Garuda, tidak pula menjadi Direktur Utama PLN. Malahan, Jonan diangkat menjadi Menteri Perhubungan di kabinet pertama Presiden Joko Widodo, yang membawahi regulasi tidak hanya untuk kereta api tetapi juga Garuda.

Lalu, setelah jeda sejenak karena dicopot dari jabatan sebagai Menteri Perhubungan dalam reshuffle kabinet, Jonan diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang membawahi regulai PT PLN. Semua peristiwa itu nyerempet apa yang kami obrolkan. Serba kebetulan.



***

Sengaja saya ungkit memori percakapan dengan Jonan itu, mengingat hari ini perbincangan mengenai Garuda Indonesia masih terus menjadi trending topic. Yang jelas, masalah Garuda hari ini tentu sudah jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang masalah yang dihadapi setahun yang lalu.

Manajemen Garuda di bawah Direktur Utama Irfan Setiaputra tentu juga terus memutar otak untuk mengatasi berbagai persoalan yang kini membelit maskapai pelat merah itu.

Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan kepada bursa efek Indonesia, Irfan menyebut berbagai langkah yang akan dilakukan emiten berkode saham GIAA tersebut. Di antaranya memulai mengembalikan pesawat sewaan lebih cepat sebelum jatuh tempo masa sewa kepada lessor pesawat, tentu untuk mengurangi beban operasional.

Irfan juga menawarkan opsi pensiun dipercepat kepada seluruh karyawan Garuda yang berminat. Termasuk juga crew udara dan jajaran pilot pesawat. Lantas Menteri Badna Usaha Milik Negara Erick Thohir dikabarkan telah membentuk tim khusus untuk melaksanakan misi menyelamatkan Garuda itu.

Sejumlah opsi penyelamatan Garuda dilakukan. Ada kemungkinan Garuda mendapatkan suntikan modal baru dari pemerintah. Entah bagaimana mekanismenya. Tetapi, bukan tidak mungkin memilih opsi terburuk: maskapai flagship itu dibubarkan.

Yang pasti, penyelamatan Garuda tentu butuh extra effort untuk mencegah opsi terburuk itu terjadi. Bisa pula Garuda sepenuhnya diprivatisasi kalau pemerintah tidak sanggup menyuntik modal lagi. Garuda bisa saja ditawarkan sepenuhnya kepada investor swasta.

Privatisasi penuh bisa jadi menjadi opsi menarik. Prospek Garuda dengan keunggulan layanan, kenyamanan, dan keselamatan memiliki reputasi yang baik. Apalagi, tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai kelihatan.

Begitu mobilitas manusia mulai pulih, tentu akan menghadirkan daya dorong bagi pemulihan bisnis penerbangan. Ini bisa menjadi salah satu alasan pasar penumpang pesawat akan kembali pulih.

Di luar itu, tentu banyak pertimbangan lain dalam rescue mission Garuda tersebut. Peta jalan penyelamatan Garuda bisa saja ditarik dari kepentingan komersial maupun nonkomersial, terutama peran Garuda sebagai flagship nasional.

Mengawinkan dua kepentingan itu akan membuat Garuda berhasil diselamatkan. Tak seperti kata Jonan, saya hari ini justru sepakat maskapai pembawa bendera tersebut perlu diselamatkan. Saya yakin, banyak orang Indonesia yang masih merasa ada Garuda di dada mereka. Nah, bagaimana menurut Anda?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya