SOLOPOS.COM - Na'imatur Rofiqoh/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Gajah itu ternyata masalah. Judul berita di Harian Solopos itu serius banget, ”Gajah Rasa Zebra” Bikin Anak Sulit Paham. Pembaca juga sulit paham apakah gajah itu sebentuk permen vitamin yang memiliki rasa seperti (daging) zebra?

Ternyata itu hanya salah satu patung penyambut pengunjung di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Solo. Harian Solopos edisi 18 Januari 2020 memberi kabar terancamnya pengetahuan binatang di kalangan anak-anak gara-gara patung gajah yang dicat belang hitam putih seperti zebra.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pengunjung digoda gajah berkulit belang, bukan gajah hidung belang, sebelum bertemu gajah asli yang berkulit kelabu. Patung seharusnya dicat seperti warna aslinya supaya anak-anak tidak bingung. Begitu kata Ari, lelaki yang bersama istri dan dua anak berkunjung di TSTJ.

Ada orang tua yang khawatir anak-anak bakal gagal membedakan gajah orisinal dan tiruan meski di mata anak-anak bertemu gajah yang sungguh berjalan, makan, minum, dan ber-”treeettt…” menyapa ramah.

Orang tua yang protes (mungkin) agak lupa, yang menyapa mereka di depan TSTJ adalah sebuah patung gajah, bukan seekor spesies gajah. Patung, seperti bentuk kesenian lain, boleh dihadirkan melenceng dari wujud asli demi merangsang estetika dan kepekaan rasa pada pusparagam konteks yang melingkupi bertaut masalah sosial, ekonomi, dan kultural sehari-hari.

Beberapa orang tua sering meremehkan kemampuan berlogika anak bertaut dengan pengalaman visual. Anak-anak tidak ada menjadi linglung saat mengikuti petualangan Bona dan Rong Rong dalam serial cerita bergambar Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang di Majalah Bobo. Di serial yang terbaru, Rong Rong si kucing pensiun digantikan Kaka burung kakaktua. Bona masih sama. Kulitnya merah jambu, bukan kelabu. Anak-anak tahu, gambar gajah tidak sama dengan gajah.

Orang tua yang akrab dengan Majalah Bobo dan mewariskan bacaan masa kanak-kanak itu kepada generasi sesudahnya tidak khawatir mengikuti cerita Bona yang bisa mengubah belalai menjadi rok dansa, topi, tangga, parasut, atau kostum pesta.

Film tentang Gajah

Bona memiliki belalai yang tak terhingga panjangnya, tapi anak-anak tidak marah, tidak kecewa. Gajah kecil bernama Bona malah jadi teman berbagi imajinasi bertabur suka. Saya belum pernah mendengar demonstrasi orang tua di depan kantor Majalah Bobo menuntut pergantian warna kulit Bona agar seperti gajah pada umumnya.

Daripada demonstrasi, para orang tua malah berbahagia mengajak anak-anak menyaksikan gajah kecil bernama Dumbo di bioskop. Di film Dumbo (2019), gajah kecil bernama seperti judul filmya itu memiliki telinga yang tidak biasa. Mulanya, telinga yang ngglambreh sampai ke mata kaki dan membuat Dumbo sering terjungkal itu dicandra sebagai cacat.

Situasi itu berbalik saat telinga bisa dikepakkan seperti sayap dan meniscayakan Dumbo terbang. Kehadiran gajah terbang membuat kelompok sirkus milik Max Medici yang nyaris mati melambung kembali. Cerita gajah terbang tidak merusak pemahaman anak-anak tentang binatang.

Anak-anak, dengan rida orang tua, malah sepulang menonton film tentang gajah itu membawa cerita tentang persahabatan dan permusuhan manusia dan hewan, keluarga, dan cinta kasih. Kita jadi ragu-ragu memilih siapa yang bermasalah dalam soal gajah di TSTJ: orang tua atau gajah.

Penggandaan semesta hewan ke pusparagam bentuk bertaut kehidupan manusia telah dilakukan sejak zaman purba. Gajah muncul di gua-gua purbakala sebagai dokumentasi cara hidup homo sapiens kuno. Gajah juga menjadi tokoh dalam cerita-cerita dan film, bisa bertindak serupa manusia, ’hanya” untuk memberi cermin tentang kehidupan manusia sendiri.

Saya ingat Ganesha, dewa berwujud gajah, sebagai simbol pengetahuan dan kecerdasan yang tidak hanya menjadi sesembahan umat Hindu. Patung Ganesha juga dipasang sebagai maskot di banyak lembaga pendidikan.

Menengok lagi masa lalu, gajah jadi saksi penting kekejaman dan kasih manusia bertaut dengan alam dan binatang. Elizabeth D. Inandiak dalam Merapi Omahku (2010) mengisahkan saat ke Gunung Merapi pada 1998, ia melihat sebatang pohon beringin besar di pertigaan jalan yang disebut pohon gajah.

Tokoh Antagonis

Pada mulanya ia setengah tak percaya melihat pohon yang semestinya tidak bisa hidup di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu. Dia mendengar ”kebenaran” kisahnya kemudian. Semula, jumlah gajah jauh lebih banyak daripada manusia.

Manusia-manusia yang hidup dari lautan mulai menanam padi dan membentangkan permusuhan dengan para gajah atas dalih kebutuhan lahan dan pangan. Pemburu gajah paling menangan, Barata, menyelamatkan gajah terakhir dari perburuan setelah kesedihan menimpa dirinya.

Demi menyelamatkan si gajah terakhir, ia mengubah gajah itu jadi pohon beringin dan hiduplah ia di cabang-cabangnya. Sang Picasso Jawa, Heri Dono, yang memberi ilustrasi untuk buku Elizabeth, memberi ruang pada gajah di jagat seni rupa Indonesia yang sepi dari gajah.

Gajah tampaknya sulit jadi binatang penting dibanding celeng ala Djoko Pekik atau burung-burung ala Widayat. Gajah jadi dalih untuk pusparagam kepentingan spesies manusia dalam rentang waktu yang panjang.

Gajah hadir sebagai tokoh yang sering antagonis dalam kitab tebal penaklukan manusia atas alam. Bertaut dengan manusia, gajah lebih sering berada di posisi musuh, pengganggu, pembunuh, pencuri, seperti yang terbaca dalam judul-judul berita ini: Dua Ekor Gajah Mencuri Beras dan Minyak, Dapur Rumah Warga Ambruk; Belasan Gajah Sumatera Mulai Masuk Permukiman Warga; Viral, Gajah Liar Masuk Kompleks SD Lalu Makan Sawit dan Bunga, Orang tua Siswa Panik; dan Konflik Manusia dengan Gajah di Aceh Terus Meningkat.

Jika kita cukup lapang hati untuk mengaku sebagai spesies yang setara dengan gajah dalam berbagi hidup di planet bumi, ternyatalah betapa kita antroposentris. Waktu demi waktu, gajah-gajah semakin terdesak oleh spesies manusia.

Mereka terpaksa ”mencuri” demi mempertahankan kedaulatan hidup yang sepertinya tak jua jadi milik mereka sepenuhnya. Andaikata mereka boleh bikin undang-undang hak asasi gajah. Ketika hutan yang jadi rumah mereka hancur oleh perkebunan sawit, pertambangan, permukiman, atau kebakaran sebab perubahan iklim, para gajah tak bisa menuntut siapa pun seperti para orang tua protes kepada  tukang cat yang salah mewarnai patung gajah di TSTJ.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya