SOLOPOS.COM - Tasroh (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (20/7/2017). Esai ini karya Tasroh, aktivis Banyumas Policy Watch dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. Alamat e-mail penulis adalah tasroh@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Saat ini utang pemerintah tercatat Rp3.672,33 triliun. Perinciannya adalah status utang bersumber dari surat berharga negara (SBN) hingga Mei lalu Rp2.943,73 triliun (80,2%) dan pinjaman Rp728,6 triliun (19,8%).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sayangnya, sebagaimana disebutkan Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, 38% utang tersebut merupakan ”kepemilikan asing”. Maknanya adalah jika tidak hati-hati, konsekuensi dari bertambahnya utang lewat SBN bisa runyam.

Konskuensinya di samping dunia perbankan bisa kesulitan likuiditas karena industri ini akan berlomba menaikkan suku bunga, juga berpotensi meningkatkan dominasi asing pada ekonomi nasional!

Ketika berbicara tentang risiko, dampak buruk pengelolaan utang dapat bersifat sistematis, termasuk risiko terhadap daya tahan anggaran negara secara keseluruhan. Terkait hal ini, setelah mendapatkan utang baru pemerintah dituntut bisa mengelola sekaligus mengendalikan penggunaan dana utang pemerintah tersebut.

Isu pemanfaatan dana utang selama ini selalu diperdebatkan berbagai pihak, namun tampaknya belum bisa dibumikan dalam agenda pemerintah itu sendiri. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan pengelolaan utang memang belum benar-benar mampu keluar (out of the box) dari tradisi selama ini, yakni pengalokasian dana utang berbasis tradisi birokrasi turun-temurun.

Ekspedisi Mudik 2024

Hal ini terlihat dari pemanfaatan dana utang dari Bank Dunia kepada pemerintah senilai Rp64 triliun pada 2016 untuk pembiayaan sektor pendidikan, termasuk pemberian dana peningkatan penghasilan bagi kalangan pendidikan, serta pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Dana  untuk pembiayaan infrastruktur tak hanya dari utang pemerintah, tetapi juga dipasok pihak ketiga yang notabene juga berujung pada utang swasta dan atau badan usaha milik negara (BUMN).

Catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menjelaskan di mana pun di dunia ini memang tak satu pun negara yang tidak berutang kepada pihak lain. Jepang, Italia, Inggris, serta Amerika Serikat sebagai negara yang disebut modern pun memiliki utang yang amat besar, tiga kali lipat hingga lima kali lipat lebih besar daripada Indonesia.

Selanjutnya adalah: Sukses mengelola utang…

Pelajaran dari Jepang

Negara-negara tersebut sukses mengelola utang asing/pihak ketiga lantaran mereka mendesaian pemanfaatan utang sebagai modal investasi, yakni penggunaan dana utang untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah yang benar-benar mendorong peningkatan bisnis, dunia usaha, dan masyarakat luas sekaligus sebagai modal produktif pembangunan nasional.

Tiap negara memiliki strategi dan taktik untuk mendayagunakan dana utangan. Dari sekian banyak negara maju yang paling sukses mendayagunakan utang adalah Jepang. Dengan kekuatan internal industri/manufaktur yang terbesar di dunia, industri dan bisnis di Jepang butuh modal dasar yang tidak sedikit.

Setiap tahun sebagaimana disebutkan Japan Times (23 Juni 2017), setidaknya Jepang selalu menambah utang di atas 45% dari produk domestik bruto (potensi ekonominya). Utang Indonesia hanya 28% dari produk domestik bruto.

Dengan beban utang sedemikian besar Jepang masib bisa disebut makmur dari sisi tingkat pendapatan penduduk dan status ekonomi negara itu. Mengapa bisa demikian? Pakar ekonomi Tony Prasetyantono (2017) menjelaskan perbedaan model utang Jepang dengan Indonesia menyebabkan perbedaan produktivitas dari utang tersebut.

Di Indonesia selama ini utang negara diandalkan untuk ”pasar bebas”, di luar kemampuan ekonomi rakyatnya sendiri. Di Jepang, utang pemerintah justru diarahkan menjadi ”utang rakyat” dengan cara perluasan kepemilikan saham-saham perusahaan nasional dan swasta.

Di Jepang rakyat bersama-sama pemerintah mendayagunakan potensi dan peluang investasi domestik sebagai basis pengembangan bisnis dan investasi. Untuk memastikan utang tersebut benar-benar dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dan swasta yang produktif, pemerintah Jepang membangun standardisasi pengalokasian utang secara nasional.

Standardisasi itu diperlukan guna mencapai produktivitas utang yang benar-benar bermakna investasi, yakni menanamkan setiap jenis utang untuk program dan kegiatan yang benar-benar mampu melipatgandakan berbagai sumber daya sebesar-besarnya untuk mendongkrak ekonomi rakyat.

Selanjutnya adalah: Akses luas kepemilikan saham…

Memiliki Saham

Sebagai negara industri, rakyat Jepang semiskin apa pun diberi akses luas untuk terlibat dalam kepemilikan saham-saham blue chip. Sebanyak 90% ibu-ibu rumah tangga dan keluarga di Jepang memiliki saham di berbagai perusahaan swasta Jepang serta menopang proyek-proyek pemerintah melalui kerja sama lintas perusahaan. Dengan cara demikian, setiap rakyat Jepang langsung terlibat dalam mekanisme penggunaan utang dan industri/perusahaan Jepang sebagai basis untuk investasi.

Kita bisa melihat merek-merek global khas Jepang, khususnya di dunia otomotif, seperti Honda, Nissan, Daihatsu, Toyota, Honda, Hino, Suzuki, Mitsubishi, dan merek-merek produk sejenis lainnya kini merajai pasar otomotif dunia sekaligus dikenal sebagai merek bersama rakyat Jepang lantaran saham-saham perusahaan multinasional itu kini melibatkan rakyat Jepang.

Dalam lanskap Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo semestinya lebih fokus pada agenda tata kelola utang agar utang tidak lagi seperti tradisi rezim sebelumnya yang masih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan konsumtif.

Pemerintah harus mulai berani mengarahkan pendayagunaan utang untuk kegiatan produktif, yakni utang sebagai investasi langsung (direct investment). Investasi langsung adalah penanaman modal yang secara langsung mampu menggerakkan potensi dan peluang investasi, menggerakkan sumber daya untuk menghasilkan modal yang lebih besar secara kualitatif atau kuantitatif.

Data Badan Koordinasi Penananam Modal (2017) menunjukkan investasi langsung dari sumber daya domestik justru menurun signifikan. Hal ini konon disebabkan belum terintegrasinya reguasi investasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Banyak investor yang sudah bersepakat untuk merealisasikan investasi di Indonesia melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal, ternyata setelah sampai di daerah (lokasi investasi akan langsung dijalankan) justru sering ”digagalkan” pemerintah daerah.

Kegagalan itu bisa disebabkan kelangkaan lahan, ribetnya prosedur perizinan, serta banyaknya calo yang dibiarkan bergentayangan tanpa pencegahan oleh pemerintah daerah.  Akibatnya dana pemerintah dari utang yang sedianya untuk mendorong pengembangan potensi dan peluang investasi nasional balik kanan dan akhirnya kembali dimanfaatkan untuk urusan yang jauh dari investasi.

Selanjutnya adalah: Penggunaan utang berkait dengan waktu…

Penggunaan Utang

Masa penggunaan utang berkait langsung dengan waktu pemanfaatannya (yang akan menentukan besar bunga secara periodik sesuai perjanjian) maka biasanya tradisi kuno penggunaan utang akhirnya dijalankan. Utang yang sebelumnya hendak menjadi investasi berakhir tragis: habis dipakai untuk kegiatan yang kontra investasi.

Kegiatan kontra investasi itu seperti menutup lubang pendanaan proyek-proyek konsumtif yang bersifat sosial atau bahkan mendanai kegiatan rutin birokrasi. Model pengalihan penggunaan utang demikian inilah yang selama ini dibiarkan seadanya dan baru kelabakan belakangan setelah utang tersebut tak banyak menghasilkan investasi yang produktif!

Untuk menuju ke arah utang sebagai investasi setidaknya diperlukan komitmen dan konsistensi para pengelola utang di setiap lini birokrasi dan dunia usaha nasional untuk bersama-sama menggerakkan utang untuk investasi langsung.



Badan Koordinasi Penanaman Modal (2016) mengelompokkan ragam dan jenis investasi langsung yang dibutuhkan rakyat dan bangsa Indonesia. Modal dasar investasi Indonesia adalah industri rumah tangga skala menengah ke bawah, kelas usaha mikro, kecil, dan menengah.

Terdapat sekitar 18,9 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah aktif yang kini berkinerja bagus, memproduksi barang dan jasa berskala global. Perusahaan-perusahaan kelas usaha mikro, kecil, dan menengah tersebut kini masih terbelit masalah klasik, yakni krisis permodalan dan teknologi.

Pada pos itulah pemerintah selaku regulator tidak hanya wajib menggelar regulasi pro investasi bagi pengusaha/perusahaan lokal tersebut, tetapi sekaligus terlibat dalam peningkatan modal dan asistensi penguasaan teknologi pada manajemen perusahaan domestik tersebut.

Keterlibatan perguruan tinggi dan ahli teknologi terkait mutlak diperlukan. Mereka tidak sekadar menjadi penyedia kawah candradimuka bagi calon-calon tenaga kerja andal dan profesional, tetapi juga didorong untuk melaksanakan riset-riset aplikatif sesuai dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi.

Akademisi dan pakar harus langsung turun gunung menjadi mentor pelaku usaha lokal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka harus terlibat langsung dalam riset-riset pengembangan produk serta standardisasi global produk lokal hingga pengembangan teknologi bisnis dan investasi sehingga terwujud integrasi agenda utang sebagai investasi.

Dengan parameter yang jelas dan outcome utang yang terukur demikian ini, utang dapat meningkatkan modal usaha serta membiayai pengembangan sumber daya perusahaan domestik secara tuntas dari hulu hingga hilir.

Hanya dengan cara demikian utang dapat berevolusi menjadi investasi. Dengan potensi dan peluang investasi nasional Indonesia yang menurut Majalan Forbes (edisi 5 Juni 2017) mencapai Rp19.452,43 triliun dari sumber daya alam kita, tidak mustahil dapat menjadi aset besar yang berpeluang menjadi investasi langsung.

Agenda deregulasi investasi semestinya tidak hanya menyasar pemanfaatan utang kepada swasta/perusahaan nasional, tetapi juga pada pengendalian penggunaan utang bagi proyek-proyek pemerintah sendiri.

Jangan sampai proyek-proyek pemerintah dibiarkan boros dan jauh dari produktivitas yang menyedot alokasi utang itu sendiri sehingga rakyat dan negara ini kembali tercebur ke dalam lubang utang yang sama setiap rezim berganti. Sebelum mengulang kesalahan yang sama, tata kelola utang kini harus diubah secara radikal: utang sebagai investasi.



 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya